Ribuan mahasiswa memadati Jalan Gerbang Pemuda menuju depan Gedung DPR/MPR, Jakarta, Senin (30/9/2019)). Aksi mahasiswa ini untuk mendesak DPR membatalkan revisi UU KUHP dan UU KPK. | ANTARA FOTO

Nasional

RKUHP Dinilai Masih Bermasalah

Praktisi hukum menilai masih banyak pasal dalam RKUHP yang masih bermaslah.

JAKARTA -- Sejumlah praktisi hukum menilai masih banyak pasal dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Pidana (RKUHP) yang masih bermasalah. Tiga pasal di antaranya menjadi sorotan tajam, yaitu pasal tentang ilmu gaib atau santet, pasal tentang advokad, dan pasal penyerangan kehormatan presiden.

Pakar hukum dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Purwokerto Prof Hibnu Nugroho menilai rumusan pasal yang berkaitan dengan kekuatan gaib perlu dihapus dari RKUHP. "Kalau kita lihat di dalam Pasal 252 RUU KUHP, itu kan orang yang mengaku santet. Kalau mengaku santet, berarti kan ada dugaan yang bisa menyantet. Ini menurut saya, pasal yang trouble (bermasalah)," kata Hibnu, Rabu (23/6).

Ia menjelaskan, pasal itu bermasalah karena saat ini semua pembuktian dilakukan secara forensik. Namun, Pasal 252 itu justru mengedepankan adanya pengakuan santet. "Berarti nanti jangan-jangan hakimnya juga (harus) tahu santet, advokatnya tahu santet, jadi peradilan santet," kata dia.

Menurut dia, seacara logika maupun forensik, santet tidak bisa dibuktikan karena merupakan ilmu gaib. Ia mencontohkan, seseorang yang sakit gosong, secara medis memang sakit. Tetapi orang mengatakan sebagai korban santet yang dibuktikan dengan adanya kayu, paku, dan sebagainya.

"Kita antara percaya dan tidak percaya, apakah ini tidak merisaukan ke depan," katanya.

Dalam rumusan Pasal 252 ayat (1) RUU KUHP disebutkan, setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib dan karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, atau penderitaan mental dapat dipidana paling lama 3 tahun atau denda paling banyak Rp 200 juta.

Dalam pejelasan pasal tersebut, ketentuan itu dimaksudkan untuk mengatasi keresahan masyarakat yang ditimbulkan oleh praktik ilmu hitam yang secara hukum menimbulkan kesulitan dalam pembuktiannya.

Pakar hukum Unissula Semarang, Jawade Hafidz juga menilai pasal santet itu sangat subjektif dan obscure (tidak jelas). Sebab, belum ada alat ukur yang bisa membuktikan praktik santet.

Sementara, dalam Pasal 184 KUHAP, ada lima alat bukti yang menjadi dasar membuktikan perbuatan pidana yang masih debatable, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.

Pakar Hukum Pidana Suparji Ahmad menyorot polemik pemidanaan bagi advokat yang tercantum dalam Pasal 282 dan Pasal 515 draf RKUHP. Ia menegaskan, pasal tersebut perlu dikaji ulang baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis. "Dari segi filosofis, urgensi aturan ini perlu didalami lebih jauh. Apakah memang marak terjadi praktik kecurangan oleh advokat yang merugikan pihak lain? Ini perlu ada data yang konkrit dan eksplisit," katanya, kemarin.

Secara yuridis, pasal itu cenderung bertentangan dengan UU advokat, yakni Pasal 15 UU 18/2003. Pasal tersebut menekankan advokat bebas dalam membela perkara kliennya sepanjang berpegang pada kode etik profesi.

Sedangkan, pasal 16 UU yang sama menyebutkan advokat tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik.

Alih-alih memidanakan advokad, ia menilai perlu adanya sanksi bagi pihak kepolisian yang melakukan salah tangkap. "Padahal ini banyak terjadi," kata Suparji.

Menghambat demokrasi

Pasal lain yang disorot dalam beleid tersebut adalah Pasal 218 dan 219 tentang Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden. Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) memandang pasal itu berpeluang menghambat hak atas kebebasan menyatakan pikiran dengan lisan, tulisan, dan ekspresi.

Pasal itu juga dapat menciptakan perlakuan privilege hukum secara diskriminatif kepada rakyat. Pasal itu juga tidak sejalan dengan Putusan MK Nomor 013-022/PUU-IV/2006 yang menyatakan inkonstitusionalitas Pasal/Delik 134, 136 bis, 137 KUHP yang mengatur penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat Presiden atau Wakil Presiden.

"Kami memandang rumusan pasal penyerangan kehormatan atau harkat martabat Presiden dan Wakil Presiden sebaiknya dikeluarkan dalam rancangan KUHP guna menjamin konstitusionalitas KUHP di masa depan," tegas Direktur PSHK FH UII, Allan FG Wardhana, kemarin.

Selain itu, Pasal 218 dan 219 dinilai tidak sejalan dengan prinsip negara hukum yang demokratis. Salah satu unsur negara demokrasi adalah adanya keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan pemerintah.

"Partisipasi ini dapat berupa tindakan penyampaian pendapat maupun kritik dalam bentuk yang beragam, baik secara tertulis maupun lisan," terang Allan.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat