Petugas beraktivitas di area loket saat pemberlakuan penutupan tempat wisata dan hiburan di Bandung Zoological Garden, Kota Bandung, Jumat (18/6). Pemerintah Kota Bandung kembali melakukan penutupan tempat wisata dan hiburan selama 14 hari ke depanmenyusu | REPUBLIKA/ABDAN SYAKURA

Kisah Dalam Negeri

Yang Terjangkit dan Merasa Diabaikan

Sejumlah warga terjangkit Covid-19 mengeklaim tak mendapat perhatian semestinya.

OLEH M FAUZI RIDWAN

Lonjakan Covid-19 terjadi di sejumlah daerah, mengantarkan Indonesia kembali pada masa-masa lonjakan awal 2021 lalu. Ranjang-ranjang di berbagai rumah sakit penuh terisi, kematian terus meningkat. Republika meliput situasi  kebingungan dan keresahan itu di akar rumput. Berikut tulisan bagian pertamanya.

Naufal Rabani (31 tahun), salah seorang warga Cicadas, Kelurahan Cikutra, Kota Bandung, mau tak mau keluar rumah membeli makan untuknya dan istri saat sedang menjalani isolasi mandiri (isoman), pekan lalu. Meski khawatir menularkan kepada yang lain, saat itu, tidak ada sama sekali yang dapat dimintai pertolongan untuk membeli makanan.

Ia bersama istrinya, Shelly, dinyatakan positif Covid-19 usai menjalani uji usap antigen di waktu yang berbeda dan tempat berbeda, yaitu pada Sabtu (5/6) di salah satu klinik di Kota Bandung dan Senin (7/6) di Puskesmas Padasuka. Di puskesmas, istrinya menjalani uji usap PCR setelah dinyatakan positif Covid-19 berdasarkan uji usap antigen pada Sabtu lalu, sementara ia menjalani uji usap antigen di puskesmas dengan hasil positif Covid-19.

Sebelum dinyatakan positif Covid-19 berdasarkan uji usap antigen, istrinya mengalami demam dan kurang enak badan sehari setelah menengok tetangga yang baru sembuh dan pulang dari rumah sakit pada awal Juni. Tidak lama berselang, setelah pulang kerja, ia pun tiba-tiba sakit demam. Hingga akhirnya, keduanya memilih untuk berobat ke dokter di salah satu klinik kesehatan.

photo
Petugas kesehatan membawa pasien Covid-19 ke ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD) di Rumah Sakit Khusus Ibu dan Anak (RSKIA), Kota Bandung, Rabu (16/6/2021). - (REPUBLIKA/ABDAN SYAKURA)

“Dokter menyuruh untuk istirahat total dan diberi obat. Tiga hari kalau nggak sembuh disuruh balik lagi. Ternyata, setelah tiga hari, saya sembuh. Istri masih terus batuk dan meriang. Akhirnya, dibawa ke klinik dan dokter nyuruh antigen. Hasilnya istri positif dan disarankan untuk ke puskesmas,” ujarnya saat dihubungi, Ahad (13/6). 

Saat mengetahui istrinya positif Covid-19, ia pun langsung mengungsikan kedua anaknya ke rumah mertua. Ia berinisiatif memberitahukan informasi itu kepada RT dan RW setempat hingga akhirnya dilakukan penyemprotan disinfektan di lingkungan. 

Namun, saat menanyakan langkah apa yang harus dilakukan pasca istrinya positif Covid-19, ia mengeklaim, tidak ada perhatian dari aparat kewilayahan. “Pas istri saya di antigen positif, hanya disemprot disinfektan. Saya harus bagaimana, bingung. Pas antigen positif, malah teman-teman dan keluarga yang perhatian, pemerintah setempat mah cuek,” kata Naufal dengan nada gusar.

Ia mendengar selentingan agar warga tidak melewati rumahnya karena tahu istrinya positif Covid-19.

Singkat cerita, pada Senin (17/6), ia menemani istrinya berangkat ke puskesmas untuk menjalani uji usap PCR. Di sela-sela menunggu istrinya dites, ia turut dites uji usap antigen dengan hasil positif Covid-19 yang sempat membuatnya tertekan. Hasil uji usap PCR milik istrinya keluar kurang lebih tiga hingga empat hari pascates.

photo
Tenaga kesehatan membawa jenazah pasien Covid-19 menuju mobil ambulans di RSUD Provinsi Jawa Barat Al Ihsan, Baleendah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Kamis (17/6/2021). - (ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi)

Naufal bingung, apakah harus langsung menjalani isolasi mandiri menemani sang istri yang sudah terlebih dahulu isolasi mandiri sejak dinyatakan positif Covid-19 pada Sabtu (5/6) lalu atau harus ke rumah singgah. Ia menanyakan hal tersebut kepada pihak puskesmas, termasuk menyangkut kebutuhan makan sehari-hari.

Udah Pak, karena rumah singgah penuh waiting list jadi Bapak di rumah saja,” ujarnya menirukan petugas puskesmas. “Katanya ‘kalau makan mah Bapak keluar weh’. Jadi saya sendiri pakai masker tidak apa-apa, kan saya posisinya di antigen positif,” ujarnya menjelaskan percakapan dengan petugas puskesmas. “Itu yang disayangkan, kan saya takut menularkan ke yang lain,” katanya. 

Setelah menjalani isolasi mandiri bersama istri beberapa hari, pada 10 Juni ia berinisiatif untuk menjalani tes uji usap antigen kembali dengan hasil yang menggembirakan, yaitu negatif Covid-19. Sementara, hasil uji PCR istrinya yang keluar pada tanggal 11 kemarin dari Puskesmas Padasuka sama dengan hasil antigen yang dites pada Sabtu (5/6) lalu, yaitu positif Covid-19.

Kekhawatiran lain sempat ia utarakan kepada RT, RW, dan puskesmas karena di lingkungannya banyak masyarakat yang mengalami gejala sakit demam, meriang, dan tidak enak badan, tapi responsnya biasa-biasa saja. Ia menduga, banyak masyarakat yang memilih tidak berobat atau uji usap antigen bahkan PCR karena takut dinyatakan positif Covid-19. Selain itu, ketika diharuskan menjalani isolasi mandiri, mereka kebingungan memenuhi kebutuhan sehari-hari.

photo
Sejumlah santri yang terkonfirmasi positif Covid-19 beraktivitas di Pondok Pesantren Yatim dan Dhuafa Al Kasyaf, Kampung Sukamaju, Cileunyi, Kabupaten Bandung, Rabu (16/6). - (REPUBLIKA/ABDAN SYAKURA)

Kisah kurang mengenakkan lainnya menimpa Rizal (27), warga Cempaka Arum, Gedebage, Kota Bandung, yang juga seorang jurnalis di Kota Bandung. Ia merasakan gejala Covid-19, yaitu hilang indra penciuman, sakit demam, dan sesak napas. Ia yang pernah dinyatakan positif Covid-19 dua kali berdasarkan uji usap PCR mengalami hilang indra penciuman sejak Senin pekan lalu.

Dalam kondisi tersebut, ia memilih untuk mengobati sendiri dengan paracetamol. Seiring waktu, ia merasa kondisi kesehatannya makin tidak enak. Hingga akhirnya, pada Jumat lalu ia berinisiatif menghubungi salah seorang kenalannya di humas Dinas Kesehatan Kota Bandung dan menjelaskan kondisinya. 

Hari berikutnya, ia langsung menghubungi Puskesmas Cempaka Arum. Ia mengaku, menghubungi puskesmas sekitar pukul 06.00 WIB dan mendapatkan penjelasan akan dihubungi oleh salah seorang petugas.

“Ditanya gejala yang dialami apa saja. Setelah itu, nunggu dihubungi baru sekitar pukul 12.00 WIB, lumayan lama. Mungkin lagi sibuk atau gimana,” katanya. Ia mengatakan, pada Sabtu (12/6) siang dihubungi oleh dokter yang langsung menanyakan gejala yang dialami dan kondisi kesehatan.

“Saya ditanya kondisi gimana, saya bilang udah lima hari hilang penciuman dan minta di-swab karena ada teman yang positif. Ditanggapinya, ya nanti dibuatkan laporan terus minta KTP dan kartu keluarga. Kalau demam, disuruh minum paracetamol. Saya sempat bilang sakit ulu hati terus kalau malam ada apa-apa saya harus hubungi ke mana, dijawabnya disaranin minum omeprazole,” ujarnya menjelaskan percakapan dengan dokter puskesmas.

photo
Seorang santri yang terkonfirmasi positif Covid-19 berjemur sembari menghirup minyak kayu putih di Pondok Pesantren Yatim dan Dhuafa Al Kasyaf, Kampung Sukamaju, Cileunyi, Kabupaten Bandung, Rabu (16/6/2021). - (REPUBLIKA/ABDAN SYAKURA)

Rizal pun sempat ditanya dokter mengapa baru melapor ke puskesmas padahal sudah lima hari mengalami gejala. Ia merasa gejala yang dialaminya hanya sakit demam biasa. Dokter menyarankan, jika makin merasa berat atau kondisi kesehatan menurun agar pergi ke IGD rumah sakit.

Ia sempat menanyakan jadwal pelaksanaan uji usap PCR ke dokter. Namun, jawaban dokter tersebut tidak disangka-sangka. Ia mengatakan, akan terlebih dahulu memproses laporannya, terlebih pada Sabtu dan Ahad merupakan waktu di luar jam kerja efektif. 

“Si dokter bilang ‘kalau ingin cepat, tidak sabar, tidak seusai prosedur silakan tes mandiri’. Bukan saya nggak sabar, saya ikuti prosedur saja,” katanya. Pascakejadian tersebut, Ahad (13/6) dini hari, ia merasa kondisinya makin menurun, sakit demam, mual, dan mencret yang membuat panik.

Rizal mengatakan, akhirnya memaksakan pergi ke salah satu rumah sakit swasta untuk tes uji usap antigen dalam kondisi sakit. Hasilnya, ia dinyatakan positif Covid-19. Pihak rumah sakit pun menyarankan agar dites kembali dengan PCR untuk memastikan hasil tes dan menanyakan apakah akan dirawat atau tidak.

Dengan kondisi tubuh lemas dan sendirian, ia memilih untuk melakukan isolasi mandiri di rumah. Selanjutnya, ia mengatakan, akan melaporkan kondisinya kepada pihak RT dan RW. Ia menjelaskan, sebelumnya tidak melapor kepada RT dan RW sebab khawatir akan terjadi geger di lingkungan rumahnya, terlebih ia belum mengetahui apakah positif terpapar Covid-19 atau tidak. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat