KH Raden Mamun Nawawi, seorang ulama dari Cibarusah, Bekasi, tidak hanya dikenang akan kepakarannya dalam bidang ilmu falak, tetapi juga perjuangannya melawan penjajah. | DOK BLOGSPOT

Khazanah

KH Raden Ma’mun Nawawi, Pejuang dari Cibarusah

KH Raden Ma’mun Nawawi atau Mama Cibogo berperan besar dalam pelatihan Laskar Hizbullah.

OLEH MUHYIDDIN

Dahulu, Cibarusah masuk wilayah Bogor, tetapi kemudian menjadi bagian dari Kabupaten Bekasi. Kecamatan Cibarusah merupakan salah satu daerah di Tanah Air yang sarat akan sejarah perjuangan. Wabilkhusus menjelang Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, reputasinya terus berkibar.

Mulai Februari 1945, di sanalah para santri digembleng oleh tokoh-tokoh agama dan perwira. Mereka mengikuti pelatihan intensif agar berjiwa patriotik dan piawai menggunakan senjata api. Pada akhirnya, pemuda-pemuda Muslim itu menjadi kekuatan Laskar Hizbullah yang disegani.

Membicarakan Cibarusah tidak lengkap tanpa mengulas ketokohan seorang ulama-pejuang, KH Raden Ma’mun Nawawi atau yang akrab disapa Mama Cibogo. Ia dikenang sebagai salah satu dai yang ahli ilmu falak. Dalam dunia pendidikan, alumnus Tebuireng itu juga mendirikan Pondok Pesantren al-Baqiyatus Sholihat. Lembaga itulah yang menjadi arena untuk pelatihan Laskar Hizbullah di Cibarusah.

Kiai Raden Ma’mun Nawawi merupakan putra seorang pedagang sekaligus guru mengaji, Kiai Raden Anwar. Adapun ibunya bernama Siti Romlah. Saudara-saudaranya bernama Rukiyah, Endeh, H. Yahya, Siti Iyok, Endang, Dimiyati, dan Abdul Salim.

Dari garis ayahnya, Kiai Ma’mun Nawawi merupakan seorang habib karena nasabnya tersambung hingga ke Nabi Muhammad SAW. Ia adalah keturunan ke-12 dari Sunan Gunung Djati atau ke-11 dari raja pertama Kesultanan Banten, Maulana Hasanuddin. Menyadari silsilah tersebut, dirinya pun bertekad untuk menjadi seorang ulama yang alim dan tawaduk.

Sejak kecil, Nawawi sangat giat dalam belajar. Ia dibimbing langsung oleh ayahnya hingga berusia delapan tahun. Bapaknya membekali dirinya dengan dasar-dasar ajaran Islam. Setelah itu, anak lelaki ini kemudian menempuh studi di sebuah sekolah rakyat (SR), yakni pendidikan formal yang berlaku pada masa pemerintahan Hindia Belanda.

Di sekolah tersebut, Nawawi menjadi lulusan terbaik. Itu membuktikan bahwa dirinya memiliki keunggulan dalam menyerap ilmu-ilmu umum, tidak hanya agama. Setelah itu, putra daerah Cibarusah ini tak langsung melanjutkan pendidikannya ke pondok pesantren. Ia ingin terlebih dahulu membantu ayahnya dalam berniaga, terutama menjual buku-buku pelajaran.

photo
ILUSTRASI Pondok pesantren yang diasuh Mama Cibogo di Cibarusah dikenal sebagai tempat pelatihan Laskar HIzbullah. - (DOK NU)

Tidak lama setelah menamatkan pendidikan dasarnya di usia 13 tahun, barulah kemudian Nawawi nyantri di Pesantren Plered, Purwakarta. Lembaga tersebut saat itu diasuh KH Tubagus Ahmad Bakri as-Sampuri atau Mama Sempur. Gurunya ini merupakan salah satu ulama yang berpengaruh, setidaknya di seantero Banten dan Jawa Barat.

Nawawi menjadi santri Mama Sempur hingga tujuh tahun lamanya. Kecerdasan dan akhlaknya selama mondok diakui oleh seluruh santri, baik junior maupun senior, dan tentunya pimpinan pesantren. Karena itu, tak heran jika pemuda ini kemudian diangkat menjadi menantu Mama Sempur.

Setelah belajar kepada mertuanya itu, Nawawi muda lantas melanjutkan rihlah keilmuannya ke Tanah Suci. Di Masjidil Haram, Makkah al-Mukarramah, dirinya belajar kepada banyak ulama, baik lokal maupun yang berasal dari Nusantara. Di antara guru-gurunya adalah Sayyid Alwi al-Maliki dan Syekh Mukhtar bin Atharid al-Bughuri al-Batawi.

Nawawi memperdalam ilmu agama di kota kelahiran Nabi SAW itu selama dua tahun, yakni 1937 sampai 1939. Selama itu, ia belajar kepada 13 muallif atau pengarang kitab. Selain itu, santri yang selalu disiplin dalam memanfaatkan waktu ini juga menjadi murid kesayangan. Salah satu guru yang membimbingnya ialah Syekh Muhamad Baqir bin Nur al-Jogjawi al-Makki, seorang dai di Masjidil Haram yang berasal dari Yogyakarta.

 
Nawawi memperdalam ilmu agama di kota kelahiran Nabi SAW itu selama dua tahun, yakni 1937 sampai 1939.
 
 

 

Setelah belajar di Makkah, Nawawi pulang ke Tanah Air. Pada 1942, ia merasa masih harus menuntut ilmu-ilmu agama. Maka, dirinya pun kembali menjadi santri di beberapa pesantren di Tanah Jawa. Salah satu tujuannya adalah Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Di sana, alumnus Makkah ini belajar langsung kepada Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari.

Di Tebuireng, keilmuan Nawawi diakui oleh pendiri Nahdlatul Ulama (NU) tersebut. Bahkan, ketika dirinya menyatakan niat hendak keluar dari Tebuireng, Mbah Hasyim menyembelih seekor sapi. Itu sebagai bentuk syukur karena memiliki murid secerdas KH Nawawi.

Selain itu, ia pun sempat belajar di pondok pesantren asuhan Syekh Ikhsan Jampes, Kediri. Dari sana, langkah kakinya berlanjut ke Pondok Pesantren Lirboyo dan Pondok Pesantren Tremas Pacitan. Setelah belajar di tiga pesantren tersebut, ia kemudian menekuni ilmu falak. Guru utamanya dalam hal ini ialah KH Manshur bin Abdul Hamid al-Batawi.

Tokoh Betawi sekaligus pejuang kemerdekaan ini tinggal di Jembatan Lima, Jakarta. Guru Mansur—demikian sapaan akrabnya—juga terkenal sebagai pengarang kitab Sullam an-Nayirain. Buku tersebut berisi banyak penjelasan tentang ilmu falak. Di bawah bimbingannya, Kiai Nawawi mampu mempelajari dan menguasasi kitab tersebut hanya dalam kurun waktu 40 hari.

Tak heran jika Guru Mansur memandangnya sebagai murid paling cerdas. Nawawi pun diangkat satu level lebih dari teman-teman sebayanya. Selain belajar kepada mubaligh Jakarta itu, putra daerah Cibarusah ini juga menimba ilmu dari sejumlah ulama Betawi lainnya, seperti Habib Usman dan Habib Ali Kwitang.

 
Dari semua pelajaran ilmu agama yang sudah didalami, ilmu falak menjadi yang ditekuninya.
 
 

 

Namun, dari semua pelajaran ilmu agama yang sudah didalami, ilmu falak menjadi yang ditekuninya. Bahkan, kepakaran itulah yang akhirnya menjadi ciri khas Kiai Nawawi. Kemampuannya menyuguhkan data valid sehingga memprediksi jitu suatu fenomena benda-benda langit. Reputasinya diakui banyak ulama segenerasi. Bahkan, pesantrennya dikenal sebagai “Pesantren Falak.”

Tidak hanya itu, di kampung kelahirannya di Cibogo juga memiliki kalender sendiri dalam perhitungan awal bulan dan tahun. Alhasil, kalender ini bisa memprediksi kapan awal bulan puasa dan hari lebaran. Ketika masyarakat butuh rujukan untuk bercocok tanam, memulai puasa dan Idul Fitri, maka rujukan utamanya adalah Kiai Nawawi alias Mama Cibogo.

Setelah belajar kepada para ulama di Jakarta, reputasinya kian dikenal banyak orang. Oleh sanak keluarganya, dirinya dianggap telah mampu mengembangkan dakwah yang sudah mentradisi dari generasi-generasi dahulu. Mertuanya, Tubagus Bakri, lalu memintanya untuk mendirikan sebuah pondok pesantren di daerah Pandeglang, Banten. Namun, saat upaya itu baru berjalan sekitar dua tahun, datang permintaan lain. Kali ini, ayahnya meminta kepadanya untuk mendirikan sebuah pesantren di Cibogo, Cibarusah.

Akhirnya, para santrinya yang semula belajar di Pandeglang pun ikut diboyong Kiai Nawawi ke Cibogo. Pesantren yang belakangan didirikannya ini diberi nama al-Baqiyatus Sholihat. Pembangunannya bermula pada Rajab 1359 H/1938 M, saat sang kiai baru berusia sekitar 25 tahun.

Turut berjuang

Sehari-hari, ulama ini berfokus mengurus pesantrennya. Namun, pengajian yang diadakannya tidak hanya terbuka bagi para santri setempat. Setiap Selasa pagi, Mama Cibogo juga membuka pengajian bagi para ustaz atau kiai kampung. Tiap Rabu, ia memberikan pengajian kepada orang-orang yang sudah lanjut usia. Jumat pagi, pengajian dibuka untuk kalangan ibu-ibu. Adapun hari Ahad untuk masyarakat umum.

Selain sibuk dengan menebar ilmu-ilmu agama, Kiai Ma’mun Nawawi juga mempunyai pernanan penting dalam catatan sejarah kemerdekaan Indonesia. Berbekal kedekatan dengan sang guru, Mbah Hasyim Asy’ari, dan anak gurunya itu, KH Abdul Wahid Hasyim, ia pun turut serta dalam perjuangan kaum santri demi mengusir penjajah dari Indonesia.

Mbah Hasyim melihat, daerah Cibarusah, khususnya pondok pesantren yang diasuh Kiai Nawawi, sangat strategis. Karena itu, Cibarusah pun didaulat menjadi tuan rumah pusat pelatihan Laskar Hizbullah.

Dalam buku Peranan KH Raden Ma’mun Nawawi dan Laskar Hizbulloh (2019), dijelaskan bahwa Mbah Hasyim menugaskan Mama Cibogo untuk melakukan pembinaan mental terhadap para santri, yang lantas menjadi anggota Laskar Hizbullah.

 
Di Cibarusah, mental mereka ditempa agar teguh berjuang, juga kemampuan membela diri dan menggunakan pelbagai persenjataan.
 
 

 

Di Cibarusah, mental mereka ditempa agar teguh berjuang, begitu pula dengan kemampuan membela diri dan menggunakan pelbagai persenjataan. Khususnya pada periode 1945-1949, sang mubaligh berperan signifikan sebagai penasihat rohani dan kebatinan para pemuda pejuang kemerdekaan, yakni “lulusan” pelatihan di Cibarusah.

Tercatat, pelatihan itu diikuti sekitar 500 pemuda dan santri. Setiap pesantren se-Jawa dan Madura mengirim lima orang utusan untuk mengikuti sesi tersebut. Para santri asuhan Mama Cibogo berjumlah ratusan orang. Mereka pun mendapat pelatihan militer sebagai bekal menghadapi tentara musuh. Wabilkhusus, kelak setelah Proklamasi 1945, musuh mereka adalah pasukan Belanda yang hendak menjajah lagi Tanah Air.

Pelatihan perdana Laskar Hizbullah tersebut dilaksanakan pada 28 Februari 1945. Momen ini dipimpin langsung Kiai Abdul Wahid Hasyim. Ada pula beberapa tokoh lain yang hadir di sana, seperti KH Zainul Arifin dan KH Noer Alie. Pembukaan pelatihan ini disaksikan Gunseikan, para perwira Jepang, pimpinan pusat Partai Masyumi, dan para Pangreh Praja. 

Sang alim yang produktif menulis

KH Raden Ma’mun Nawawi tidak hanya dikenang sebagai tokoh Laskar Hizbullah pada zaman revolusi. Sosok atau yang akrab disapa sebagai Mama Cibogo ini juga merupakan ulama yang teguh di jalan syiar Islam.

Tidak hanya dakwah dengan lisan, tulisan-tulisan pun menjadi alat baginya menebar ilmu-ilmu agama. Mubaligh kelahiran Desa Cibogo, Cibarusah, Kabupaten Bekasi (dahulu bagian dari Bogor), ini sangat produktif dalam menulis kitab-kitab islami. Bahkan, jumlah karyanya mencapai puluhan buah.

Dalam buku Peranan KH Raden Ma’mun Nawawi dan Laskar Hizbulloh (2019), dijelaskan bahwa Mama Cibogo sejak kecil sudah akrab dengan dunia literasi. Sebagai anak-anak, dirinya pernah membantu ayahnya berjualan kitab-kitab.

Seiring dengan itu, kecintaannya terhadap membaca pun tumbuh. Menginjak masa remaja, ia mulai melatih kemampuannya dalam menulis. Hingga akhirnya, saat berusia dewasa sang alim tidak hanya sibuk mengasuh pesantren, tetap juga berkarya.

Mama Cibogo memiliki kebiasaan untuk mencatat apa saja yang diperolehnya dari hasil membaca kitab-kitab. Ia rajin menelaah karya-karya ulama terdahulu. Bila ada bagian tulisan yang dianggapnya penting, maka itu kemudian dinukilnya sebagai bahan referensi menulis. Selama hidupnya, setidaknya ada 63 kitab tulisan Mama Cibogo. Di antaranya, ada yang ditulis dengan aksara Arab dan berbahasa Sunda.

 
Mama Cibogo memiliki kebiasaan untuk mencatat apa saja yang diperolehnya dari hasil membaca kitab-kitab.
 
 

Beberapa hasil karyanya adalah At-Taisir fi Ilmi al-Falak, Hikayat al-Mutaqaddimin, Idha’ al-Mubhamat, dan Kasyf al-Humum wal Ghumum. Selain itu, ada pula Majmu’at Da’wat, Risalah Zakat, Syair Qiyamat, Bahjatul Wuduh Fi Hadits Awfatil Fuluh, serta Risalah Syurb ad-Dukhan.

Sejak berakhirnya perang kemerdekaan, Mama Cibogo memang fokus mengembangkan pesantrennya dan menulis kitab. Ia akrab dengan alim ulama Betawi, semisal KH Muhammad Thohir Rohili, Habib Ali Kwitang, dan Guru Mansur. Dengan mereka, dirinya sering berdiskusi tentang beragam topik.

Mama Cibogo wafat dalam usia 63 tahun. Ia kembali ke rahmatullah pada 26 Muharram 1395 atau 7 Februari 1975. Hingga akhir hayatnya, sang mubaligh meninggalkan 40 anak dan empat orang istri.

Seorang ulama besar asal Bekasi yang juga pahlawan nasional, KH Noer Ali, menjadi imam shalat jenazahnya. Pemakaman almarhum diiringi lautan manusia yang sangat berduka atas kepergiannya.

Pondok Pesantren Al-Baqiyatus Sholihat merupakan salah satu dari beberapa peninggalan KH Ma’mun Nawawi. Pesantren tertua di Bekasi tersebut kini diasuh oleh salah satu dari putranya sendiri, yaitu KH Jamaluddin Nawawi. Saat ini umur Pondok Pesantren Al-Baqiyatussolihat sudah 83 tahun. Pesantren yang berdiri di atas tanah seluas 2995 m2 ini tetap eksis dan terus mencetak generasi Muslim yang saleh dan berilmu.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Pesantren Al Baqiyatussholihat (albaqiyatussholihat)

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat