Prof KH Didin Hafidhuddin | Daan Yahya | Republika

Refleksi

Menunda Pelaksanaan Ibadah Haji

Kewajiban melaksanakan ibadah haji dikaitkan dengan syarat bagi orang yang mampu.

OLEH PROF KH DIDIN HAFIDHUDDIN

Tahun ini merupakan tahun kedua sebagian besar umat Islam di seluruh dunia tertunda keinginan dan cita-citanya yang mulia ingin melaksanakan rukun Islam yang kelima, yaitu menuju Baitullah Haram Makkah al-Mukarramah untuk beribadah haji. Salah satu penyebab utamanya adalah pandemi Covid-19 yang masih merajalela di berbagai belahan dunia. 

Bahkan, untuk tahun 1442 H ini, Pemerintah Arab Saudi sebagai Khadimul Haramain (pelayan kedua kota suci: Makkah dan Madinah) hanya akan melayani 60 ribu jamaah haji dari penduduk asli Saudi atau yang menetap di Saudi. Salah satu alasannya, adanya kekhawatiran rombongan jamaah yang sedang beribadah, karena bergerombol dan berdesak-desakan akan menjadi klaster baru Covid-19. Tentu hal itu akan berakibat negatif yang merusak citra pelaksanaan ibadah haji.

Jika ukurannya jumlah jamaah haji dua tahun lalu, sebelum pandemi Covid 19, maka yang tertunda melakukan ibadah haji tahun 2021 ini sekitar 2 juta jamaah kali dua tahun: sekitar 4 juta jamaah. Bisa dibayangkan, jumlah itu akan semakin membesar andaikan tertunda bertahun-tahun.

 
Jika ukurannya jumlah jamaah haji dua tahun lalu, maka yang tertunda haji tahun ini sekitar 2 juta jamaah kali dua tahun: sekitar 4 juta jamaah.
 
 

 

Kita berharap dan berdoa mudah-mudahan tahun yang akan datang 1443 H, Allah SWT akan memberikan anugerah dan pertolongan-Nya kepada kaum Muslimin sehingga ibadah haji akan berlangsung sebagaimana biasa, seperti sebelum terjadi pandemi Covid-19. Seluruh kaum Muslimin harus sungguh-sungguh memohon kepada-Nya sekaligus mempersiapkan teknisnya secara matang dan terukur.

Kepada kaum Muslimin yang tertunda pelaksanaan ibadah hajinya, tahun yang lalu dan juga tahun sekarang, mudah-mudahan diberikan kesabaran dan keikhlasan menerimanya, dan tidak berputus asa dalam menerima realitas takdir Allah SWT yang terjadi.

Firman-Nya dalam QS Yusuf (12) ayat 87 yang artinya: “Dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.”

Juga Firman-Nya dalam surah al-Hadiid (57) ayat 22 dan 23: “Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah (22). (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berdukacita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.”

Salah satu kunci-kunci gaib atau mafatih al-ghaib dari yang lima adalah kita tidak mengetahui secara pasti apa yang terjadi esok hari. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya QS Luqman (31) ayat 34,

“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari kiamat; dan Dialah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Mengenai kewajiban melaksanakan ibadah haji, Allah SWT berfirman dalam QS Ali Imran (3) ayat 96 dan 97: “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadah) manusia ialah Baitullah yang di Bakkah (Makkah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia (96). Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) Maqam Ibrahim; barang siapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; barang siapa mengingkari (kewajiban haji) maka sesungguhnya Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.”

Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda: “Islam dibangun di atas lima perkara: bersaksi bahwa tidak ada yang berhak disembah melainkan Allah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah; menunaikan shalat; berpuasa Ramadhan; menunaikan zakat; dan menunaikan haji ke Baitullah (bagi yang mampu)” (HR Bukhari dan Muslim).

 
Kewajiban melaksanakan ibadah haji sebagai rukun Islam yang kelima dikaitkan dengan syarat bagi orang yang mampu di perjalanannya.
 
 

 

Dari ayat-ayat dan hadis tersebut dapat diketahui bahwa kewajiban melaksanakan ibadah haji sebagai rukun Islam yang kelima (terakhir) dikaitkan dengan syarat bagi orang yang mampu di perjalanannya.

Berbagai penjelasan para ulama tentang pengertian “mampu” adalah berkaitan dengan biaya, baik untuk keperluan ibadah maupun bekal bagi keluarga yang ditinggalkan di kampung halaman; berkaitan dengan keamanan, baik di perjalanan maupun selama ibadah; dan berkaitan dengan kesehatan jasmani dan rohani selama dalam perjalanan dan selama ibadah maupun yang lainnya.

Artinya, ibadah haji itu pelaksanaannya sangat ditentukan oleh berbagai hal seperti yang telah dijelaskan oleh para ulama tersebut. Hanya saja, pemahaman umum tentang pengertian “mampu” itu hanya dikaitkan dengan bekal atau biaya.

Sebagaimana firman-Nya dalam QS al-Baqarah (2) ayat 197: “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku, hai orang-orang yang berakal.”

Pada saat ini, kaum Muslimin di seluruh dunia sedang dilanda pandemi Covid-19 yang sangat membahayakan yang penularannya sangat cepat, apalagi melalui kerumunan orang. Karena itu, kita pahami betul sikap Pemerintah Saudi yang sangat berhati-hati dalam menetapkan pelaksanaan ibadah haji. Ada satu kaidah fikih yang sangat terkenal dalam masalah ini, daf’ul mafaasid muqaddamun alaa jalbil mashaalih (menolak kemafsadatan dan kerusakan harus lebih diutamakan daripada menarik kemaslahatan).

Juga salah satu dari maqashid syariah (tujuan syariah) yang jumlahnya ada lima, yaitu hidzhun nafs (menjaga diri) agar jangan sampai celaka dan berbahaya di dalam melaksanakan syariat tersebut.

Perhatikan firman-Nya dalam QS al-Baqarah (2) ayat 195: “Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”

Semoga Allah SWT mengabulkan segala permohonan dan doa kita semua agar kita mendapatkan kesempatan kembali untuk melaksanakan ibadah haji dan umrah dalam keadaan sehat wal afiat tidak ada halangan apa pun dengan izin-Nya. Amin ya Rabbal ‘Alamin.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat