Kepala menteri Uttar Pradesh Yogi Adityanath yang juga menjadi kepala pendeta Kuil Gorakhpur. | Rajat Gupta/EPA

Kisah Mancanegara

Muslim di Gorakhpur Diminta Meninggalkan Rumah

Kabar pengusiran Muslim menimbulkan polemik di India.

OLEH YEYEN ROSTIANI

Javaid Akhter (71 tahun), telah tinggal di rumah yang diwarisinya dari kakeknya di Gorakhpur, Negara Bagian Uttar Pradesh, India. Rumahnya telah berusia sekitar 100 tahun dan lokasinya hanya beberapa meter dari kuil Hindu terkenal, Kuil Gorakhpur.

Akhter mengaku, sejumlah aparat Gorakhpur termasuk polisi, baru-baru ini mendatangi rumahnya. Mereka mengukur luas tanah kediaman Akhter.

Hari berikutnya, ia diminta menandatangani "surat pernyataan". Isi surat pernyataan itu menyebutkan, bahwa warga yang tinggal di sebelah selatan kuil harus dengan sukarela "menyerahkan atau mengalihkan lahan dan rumah mereka kepada pemerintah". Tujuan penyerahan itu disebutkan, "demi keselamatan lokasi kuil".

"Kami tidak keberatan dan sebagai bukti kesadaran, kami bubuhkan tanda tangan kami berikut ini," kata surat pernyataan itu, yang diungkap laman Aljazirah, 4 Juni lalu.

Sekitar 10 keluarga yang tinggal di lokasi itu diminta menandatangani surat serupa. Semua adalah minoritas Muslim yang tinggal di dekat kuil yang juga diminta mengosongkan rumah mereka.

Akhter mengaku melihat ada sejumlah keluarga yang sudah menandatangani surat itu. "Aparat mengatakan, jika kami tidak menandatangani surat itu, mereka akan punya cara lain untuk mendapatkan tanda tangan kami. Kami ditekan," katanya.

 
Menurut Akhter, selama ini Hindu dan Muslim selalu hidup berdampingan dengan damai dan harmonis di Gorakhpur, meski menjadi salah satu daerah kuat BJP.
 
 

Akhter mengatakan, aparat memang menjanjikan kompensasi jika ia meninggalkan rumahnya. "Namun, kami tidak ingin kompensasi. Kami hanya ingin terus tinggal di sini, karena di sinilah tempat orang tua, kakek dan nenek kami tinggal lebih dari satu abad," kata pensiunan teknisi di Perusahaan Kereta Api India ini.

Rumah Akhter kini didiami bersama sembilan anggota keluarganya. Di antara mereka tinggal dua generasi di bawahnya, yaitu putra dan cucunya. Kini di dekat kuil sudah berdiri kantor polisi. Bahkan ada pos polisi di dalam kuil. "Tidak ada perlunya meningkatkan keberadaan polisi di kawasan ini," kata Akhter

Menurut Akhter, selama ini Hindu dan Muslim selalu hidup berdampingan dengan damai dan harmonis di Gorakhpur, meski menjadi salah satu daerah kuat BJP.

Kisah serupa dialami Musheer Ahmed (70 tahun). Ia tak berada di rumah ketika para aparat mendatangi rumahnya dan mengukur lahannya pada 27 Mei. Keesokan harinya, ia diminta menandatangani surat pernyataan.

Ahmed yang selama 10 tahun terakhir menderita tekanan darah tinggi dan depresi, kini cemas akan nasib rumahnya. Rumah warisan itu sudah berusia 125 tahun.

"Tekanan darah saya naik terus. Apa ini artinya saya sudah menandatangani surat kematian saya?" katanya. "Saya tidak mengerti mengapa rumah saya yang berusia 125 tahun, diambil. Saya takut."

 
Ahmed yang selama 10 tahun terakhir menderita tekanan darah tinggi dan depresi, kini cemas akan nasib rumahnya. Rumah warisan itu sudah berusia 125 tahun.
 
 

Letupan di Uttar Pradesh

Kepala menteri Uttar Pradesh adalah Yogi Adityanath yang juga menjadi kepala pendeta Kuil Gorakhpur. Sebelum menjadi kepala menteri pada 2017, politisi dari partai ekstrem kanan Bharatiya Janata Party (BJP) ini adalah anggota parlemen selama hampir dua dekade.  

Kuil Gorakhpur berada di lahan seluas 21 hektare. Kuil ini memiliki sejarah yang mengakar pada pendeta pada abad ke-11, Guru Gorakhpur.

Sedangkan Uttar Pradesh adalah negara bagian dengan populasi 220 juta jiwa. Sebanyak 20 persen dari populasi adalah Muslim. Uttar Pradesh sejak lama menjadi lokasi letupan ketegangan keagamaan. Ketegangan ini kian meningkat sejak BJP berkuasa pada 2014.

Pada Mei, pemerintah daerah Barabanki menghancurkan masjid tua. Warga Muslim mengeklaim, masjid itu berusia 100 tahun. Penghancuran itu memercikkan rasa luka di tengah komunitas Muslim.

Petinggi setempat menampik bahwa ada tekanan terhadap keluarga Muslim. "Ini 100 persen cerita yang dibuat-buat dan informasi palsu," kata Hakim Distrik Gorakhpur, Vijayendra Pandian, kepada Aljazirah.

"Kami tidak bisa mengambil lahan seseorang tanpa persetujuan mereka," katanya sambil menambahkan bahwa dokumen yang beredar di media sosial sudah ditambah-tambahi.

"Informasi yang benar ada di tangan pemerintah. Tidak ada pemaksaan kepemilikan, Tidak ada paksaan dalam memberi pernyataan," katanya.

Ketika Aljazirah bertanya tentang "informasi yang benar" yang ia maksudkan, Pandian mengatakan, "Untuk apa saya katakan kepada Anda?"

Pandian menuding media "melihat segala sesuatunya dari perspektif Hindu-Muslim". Ia mengeklaim, pemerintahan hanya fokus pada pandemi virus korona.

Namun, ketua partai oposisi Congress di Uttar Pradesh, Shahnawaz Alam, mengatakan ada wartawan yang melaporkan pemaksaan oleh aparat untuk mendapatkan tanda tangan warga. Warga yang dimaksudkannya adalah mereka yang berada di sekitar Kuil Gorakhpur.

"Namun, bukannya menindak para aparat, pemerintah negara bagian malah mengancam pada wartawan itu dan akan menuntut mereka berdasarkan undang-undang keamanan nasional," kata Alam mengacu pada National Security Act (NSA).  

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat