Karyawan melayani nasabah di kantor pusat Bank Muamalat, Jakarta, Jumat (5/2/2021). | Prayogi/Republika.

Opini

Tantangan BMI

BMI membutuhkan CEO berpengalaman dalam mengatasi krisis dari sisi keuangan ataupun kepemimpinan.

MUHAMMAD IMAN SASTRA MIHAJAT; Mantan Head of Sharia Oman Arab Bank

Bank Muamalat Indonesia (BMI) adalah bank syariah pertama di Indonesia yang mulai beroperasi 1 Mei 1992 berkat inisiatif MUI, ICMI dan masyarakat dengan hanya bermodalkan landasan UU No 7 Tahun 1992 tentang bank dengan sistem bagi hasil dan disempurnakan menjadi UU No 10 Tahun 1998.

UU inilah yang menjadi jembatan berdirinya puluhan bahkan ratusan bank syariah di Indonesia. Saat krisis moneter pada 1998, BMI dengan sentuhan manajemen yang baik berhasil mengubah NPF dari 65,61 persen menjadi 2,12 persen dalam lima tahun pada tahun 2003.

Return on Equity yang pada masa krisis hanya 1,53 persen menjadi double digit di tahun 2003 sebesar 17,23 persen. Dari sisi aset, BMI mengalami kenaikan signifikan. Pada 1998, aset BMI awalnya hanya Rp 479 miliar meningkat tajam pada 2003 menjadi Rp 3,3 triliun.

Keuntungan BMI meningkat tajam dari Rp 7 miliar menjadi Rp 25 miliar. Bahkan dalam kurun 10 tahun setelah krisis moneter 1998, terjadi krisis subprime mortgage di AS, aset BMI terus tumbuh di angka Rp 12,6 triliun dan keuntungan menyentuh rekor tertinggi, Rp 203 miliar.

 
Cerita kejayaan BMI ini, hanya bertahan 15 tahun pascakrisis moneter 1998.
 
 

BMI tak terpengaruh krisis di AS ketika banyak perbankan di dunia turun performanya. Bahkan pada masa itu, (sampai saat ini) hanya BMI yang mampu membuka cabang di Malaysia di mana tak satu bank pun berhasil membuka cabang baik bank syariah maupun konvensional.

Cerita kejayaan BMI ini, hanya bertahan 15 tahun pascakrisis moneter 1998.

Karena tingginya kepercayaan masyarakat di bawah kepemimpinan CEO di masa itu dan dukungan pemerintah Megawati-Hamzah Haz, BMI berhasil menggaet investor luar yaitu Islamic Development Bank (IDB) dan investor lokal pada 1999.

Berkat keberhasilan CEO di masa itu, sang CEO beberapa kali diminta sharing di berbagai negara karena keberhasilannya membawa BMI menuju puncak kejayaannya. Salah satunya ketika diminta Bank Central Luxemburg untuk menginisiasi pendirian bank syariah pertama di sana.

Kegagalan manajemen

Dalam masa krisis delapan tahun ini, manajemen belum mampu mengatasi krsisi di BMI. Ini terlihat dari DPK yang dari tahun ke tahun turun drastis. Pada 2015, penurunan DPK sempat menyentuh double digit di angka 11 persen, dari Rp 51 triliun menjadi Rp 45 triliun.

 
Dalam masa krisis delapan tahun ini, manajemen belum mampu mengatasi krsisi di BMI. 
 
 

Pada akhir 2020, kepercayaan masyarakat terus menurun sehingga DPK BMI hanya Rp 41 triliun. Dari sisi keuntungan, BMI pada 2013 sempat menyentuh rekor sebesar Rp 476 miliar. Namun, pada 2014, keuntungan BMI sempat terjun bebas di angka Rp 59 miliar.

Pada akhir 2020, laba BMI hanya tersisa Rp 10 miliar, sangat rendah jika kita bandingkan laba bank syariah nasional yang menyentuh ratusan miliar bahkan diatas satu triliun rupiah dengan kisaran aset Rp 40 triliun-Rp 50 triliun.

Bahkan lima kali right issue di lima tahun terakhir, BMI selalu menemui kegalalan.

Antara lain RUPSLB 20 September 2017, standby buyer MINAPADI, RUPSLB 10 Oktober 2018, standby buyer LYNX ASIA & SSG CAPITAL, RUPSLB 17 Mei 2019, standby buyer ALFALAH, RUPSLB 16 Desember 2019, standby buyer ALFALAH, dan RUPSLB 29 April 2021, rights issue tanpa ada standby buyer.

Sentuhan CEO Andal

CEO perusahaan adalah brand dari perusahaan tersebut. Ketika CEO mendapatkan kepercayaan publik, otomatis banyak pihak berminat bekerja sama. Bahkan, bisa dikatakan ada beberapa nasabah kadang lebih percaya pada CEO-nya dibandingkan bank itu sendiri.

 
Maka, BMI membutuhkan CEO berpengalaman dalam mengatasi krisis dari sisi keuangan ataupun kepemimpinan. 
 
 

Maka jangan heran, ketika seorang CEO pindah perusahaan, banyak nasabah dan partner bisnis ikut pindah ke perusahaan tersebut. Karena bank adalah bisnis kepercayaan. Dengan kata lain, CEO adalah citra dari perusahaan tersebut.

Maka, BMI membutuhkan CEO berpengalaman dalam mengatasi krisis dari sisi keuangan ataupun kepemimpinan. Bank ini membutuhkan sosok yang bisa membangun kembali kepercayaan masyarakat. Sosok CEO ini juga harus mampu membangkitkan gairah internal untuk bekerja keras.

Tugas besar ini haruslah diberikan kepada sosok yang memang sudah memiliki andil dalam penyehatan perbankan syariah di masanya. Sang CEO haruslah yang mengerti nilai syariah dan maqasid syariah agar bank ini memberikan maslahat kepada banyak pihak.

CEO ini harus juga di percaya ormas Islam besar seperti NU, Muhammadiyah, Persis, dan lainnya sehingga BMI mampu kembali membangun jaringannya dan memperoleh kepercayaan agar umat memanfaatkan fasilitas keuangan syariah yang ada.

Sang CEO pun harus mampu menggandeng MUI karena representasi umat Islam. Artinya, CEO baru BMI mesti memiliki dasar kepemimpinan kuat, mampu membawa nakhoda bank syariah ini merajut kembali kesuksesannya dalam 15 tahun sejak krisis moneter 1998 hingga 2013.

CEO baru ini juga harus bervisi misi jelas dan strategi matang. Ia harus mampu membangun kultur yang baik dan Islami serta menanamkan etos kerja yang baik kepada karyawan. Ia pro umat, memiliki sifat heroisme dalam penyelamatan BMI, futuristic, dan berintegritas.

Indonesia memiliki kandidat yang sering dipercaya tak hanya mengemban tugas penting di Tanah Air, bahkan dipercaya di tingkat global seperti di Inggris, Timur Tengah, serta negara tetangga Malaysia. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat