Umat Islam di Austria berdoa di Wina untuk korban serangan teroris pada November 2020. | Reuters/Leonhard Foeger

Internasional

Muslim Austria Kecam Peluncuran ‘Peta Islam’ 

Kampanye ini memicu rasialisme dan menghadapkan warga Muslim pada risiko keamanan.

 

WINA -- Kelompok Muslim terkemuka di Austria berencana mengajukan gugatan terhadap pemerintahan Kanselir Sebastian Kurz. Pemuda Muslim Austria mengecam pemerintah karena menerbitkan peta Islam politik, yang mengidentifikasi lokasi masjid dan asosiasi Muslim di seluruh negeri.  

"Penerbitan semua nama, fungsi, dan alamat dari institusi dan institusi Muslim yang telah diidentifikasi sebagai Muslim telah melewati batas," ujar pemuda Muslim Austria, dilansir Aljazirah, Ahad (30/5). 

Kelompok Komunitas Agama Islam di Austria atau Islamische Glaubensgemeinschaft Österreich (IGGOE) memperingatkan pemerintah agar tidak menstigmatisasi semua Muslim yang tinggal di Austria sebagai potensi bahaya bagi masyarakat dan tatanan hukum demokratis di negara itu. Kampanye ini memicu rasialisme dan menghadapkan warga Muslim pada risiko keamanan.  

photo
Tagkapan layar Peta Islam Nasional Austria. - (www.islam-landkarte.at)

Sebelumnya pada Kamis (27/5), Menteri Integrasi Susanne Raab meluncurkan laman yang disebut National Map of Islam. Laman itu berisi nama dan lokasi lebih dari 620 masjid, termasuk asosiasi Muslim, dan pejabat serta kemungkinan koneksi mereka di luar negeri. 

Menurut Raab, peta itu tidak ditujukan untuk mencurigai umat Islam secara umum. "Tujuannya untuk melawan ideologi politik, bukan agama," kata Raab.  

Peta tersebut telah meningkatkan ketegangan antara Austrian People’s Party yang konservatif di Kurz dan mitra koalisinya, Green Party. Juru bicara Green Party untuk integrasi dan keberagaman, Faika El-Nagashi, menulis di Twitter pada Kamis bahwa tidak ada anggota partai yang terlibat atau diberi tahu sebelumnya terkait peluncuran Peta Nasional Islam. 

EL-Nagashi menambahkan, proyek tersebut “bertentangan dengan seperti apa kebijakan dan dialog integrasi yang seharusnya.”

photo
Contoh informasi yang ditampilkan dalam Peta Islam Nasional Austria. - (www.islam-landkarte.at)

Dalam sebuah pernyataan yang diunggah di Twitter pada Sabtu (29/5), Kementerian Luar Negeri Turki mengatakan, kebijakan xenofobia, rasialis, dan anti-Islam Austria meracuni kohesi sosial dan partisipasi. "Penting bagi Austria untuk berhenti menargetkan imigran dan Muslim dengan memberi label pada mereka dan mengadopsi kebijakan yang bertanggung jawab," demikian pernyataan Kementerian Luar Negeri Turki. 

Uskup Lutheran Injili di Jerman, Michael Chalupka, juga menyatakan keprihatinannya. Ia meminta Raab untuk menghapus laman tersebut. 

Sebelumnya, Kanselir Austria telah berulang kali mengecam tentang politik Islam. Laporan serangan anti-Muslim di Austria telah meningkat sejak serangan mematikan di Wina, November lalu.

Tren terkini

Pakar Politik dari Wina Farid Hafez dalam tulisannya di Middle East Eye membahas secara eksplisit negara-negara Eropa yang memandang politik Islam sebagai momok. Mulai dari perjuangan Prancis melawan "Islamo-kiri" hingga pertempuran Austria melawan "politik Islam".

Hingga kini, kedua pemerintah itu memang telah menutup LSM dan masjid, sehingga membatasi kebebasan berekspresi dengan dalih perang melawan teror. Menurut Hafez, tindakan itu diintensifkan sejak serangan teroris tahun lalu.

photo
Muslim Prancis melakukan unjuk rasa mengecam maraknya Islamophobia di Prancis pada 27 October 2019 lalu. - (EPA-EFE/CHRISTOPHE PETIT TESSON)

"Di Jerman, Uni Demokratik Kristen (CDU) Kanselir Angela Merkel juga tampaknya akan mengikuti jejak Presiden Prancis Emmanuel Macron dan Kanselir Austria Sebastian Kurz,’’ tulis Hafez.

Padahal menurut dia, Macron sempat mendapat kritik keras dari dunia internasional karena UU anti Muslimnya. Dalam klaim Macron, rencananya memang hanya menargetkan Muslim yang berbahaya dan akan melindungi mayoritas Muslim lainnya. Namun demikian, Hafez memandang bahwa secara dramatis, layaknya perang salib, retorika itu akan memperluas kelompok ‘Muslim yang berbahaya’.

Hafez menambahkan, perkembangan yang kini terjadi di Eropa adalah gagasan yang meluas soal ‘melawan ekstremisme kekerasan' dengan menargetkan ‘ekstremisme tanpa kekerasan’. Padahal jika ditilik, istilah kedua disebutnya menyiratkan bahwa kelompok Muslim non-kekerasan memiliki tujuan yang sama dengan kelompok kekerasan.

"Hanya berbeda dalam metodologi, seperti yang dicatat dalam laporan intelijen Bavaria,’’ kata Hafez yang juga merupakan peneliti di The Bridge Initiative Universitas Georgetown.

Menurutnya, istilah ini digunakan untuk mengecualikan organisasi Muslim dari masyarakat sipil dengan menargetkan asosiasi Muslim. Menurut laporan Bavaria itu, cara legal dan tanpa kekerasan ini termasuk mengoperasikan “asosiasi budaya dan masjid, yang berfungsi untuk merekrut anggota di satu sisi dan menyebarkan ideologi mereka di sisi lain. 

Hafez menegaskan, konsep tersebut nyatanya lebih menargetkan kelompok Muslim arus utama, daripada gerakan subversif yang bersembunyi. Meskipun, sebagian besar asosiasi Muslim arus utama, menurut dia, telah menjadi sasaran pengawasan negara selama bertahun-tahun di Jerman. 

Posisi Garis Keras

Hafez mengatakan, posisi garis keras semakin tumbuh subur dan secara mengejutkan terjadi bersamaan di negara-negara Eropa seperti Austria, Prancis, dan Jerman.. Terlebih, ketika Oktober lalu, sekelompok penulis dan politisi terkenal dari CDU / CSU Jerman menandatangani surat terbuka yang mengusulkan lima rekomendasi untuk "memperkuat tatanan dasar demokrasi yang bebas dalam menghadapi politik Islam". 

"Surat itu berbunyi, Ini adalah waktu yang tepat untuk menghadapi masalah masyarakat imigran secara terbuka dan tidak diintimidasi oleh tuduhan yang tidak berdasar atas tuduhan Islamofobia," tambah Hafez.

Menjawab pertanyaan umum, apakah surat itu memiliki daya tarik karena serangan teror di Perancis dan Austria, Hafez menyangkalnya. Hal itu dikarenakan, ada klaim bahwa politik Islam jauh lebih berbahaya daripada kekerasan militan yang berasal dari Muslim.

Tak sampai di sana, makalah posisi CDU / CSU baru-baru ini, dinilai Hafez juga menegaskan soal otoritas negara yang harus berhenti mendukung asosiasi dalam kategori "Islam politik’’. Bahkan, makalah disebut Hafez juga menyerukan kontrol keuangan yang lebih ketat pada kelompok Muslim.

‘’Tujuannya adalah untuk mengawasi Muslim sebanyak mungkin, melanggar gagasan sekuler tentang pemisahan kekuasaan negara dan komunitas agama. Karena tindakan serupa belum diberlakukan terhadap komunitas agama lain, tampaknya umat Islam kembali dijadikan sasaran.’’ ungkap dia.

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat