Anggota keluarga dengan pakaian hazmat menjalankan ritual kremasi bagi kerabatnya yang meninggal akibat Covid-19 di Srinagar, Kashmir, beberapa waktu lalu. | AP/Dar Yasin

Internasional

PBB: Konflik Ganjal Pengendalian Covid-19

Serangan siber pada fasilitas kesehatan meningkat.

NEW YORK — Kepala Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (OCHA) Mark Lowcock mengatakan, konflik mempersulit upaya mengendalikan penyebaran virus dan merawat orang yang sakit Covid-19. Konflik di sejumlah wilayah tak pernah berhenti, bahkan muncul sejumlah titik konflik baru.

Dalam pertemuan Dewan Keamanan (DK) PBB yang digelar virtual, Lowcock menegaskan keterkaitan antara konflik, Covid-19, dan sistem kesehatan. "Pada saat yang sama, ketidakamanan, sanksi-sanksi, kebijakan kontra-terorisme, dan rintangan administratif menghalangi operasi kemanusiaan," katanya, Selasa (25/5).

Ia mengatakan, pandemi membuat pengiriman bantuan semakin sulit karena penerbangan ditunda, perbatasan ditutup, dan banyak negara yang menerapkan kebijakan karantina nasional. Lowcock mencatat sejumlah laporan kekejian terhadap warga sipil dalam konflik selama pandemi.

Lowcock mencontohkan puluhan siswi sekolah dan warga sipil yang tewas dan terluka dalam serangan di sebuah sekolah di Afghanistan pada awal Mei. Ia juga menyebut laporan pemerkosaan dan pembunuhan massal di Tigray, Ethiopia. Adapun yang terbaru adalah konflik Israel-Palestina yang berakhir setelah menewaskan 200 orang lebih warga Palestina.

photo
Pelajar di Suriah menyalurkan suara dalam pemilihan presiden di Damaskus, Suriah, Rabu (26/5/2021). - (AP/Hassan Ammar)

Lowcock menambahkan, selama pandemi tahun lalu ancaman kelaparan meningkat kembali. Ini terjadi terutama di utara Nigeria, sebagian wilayah Sahel Afrika, Sudan Selatan, Yaman, dan daerah-daerah yang dilanda konflik.

"Pada akhir 2020, konflik mendorong hampir 100 juta orang menghadapi krisis atau tingkat kelangkaan makanan akut, naik dari 77 juta orang pada tahun sebelumnya," ujar Lowcock.

Konflik juga berdampak pada fasilitas kesehatan. "Tahun lalu, serangan terhadap fasilitas kesehatan pada konflik di 22 negara menewaskan 182 orang petugas kesehatan," kata Lowcock.

Lowcock mengatakan, pada 2020 mencuat konflik di beberapa negara, seperti di Ethiophia dan Mozambik. Konflik antara Armenia dan Azerbaijan menambah jumlah orang yang terpaksa mengungsi.

Menurut Lowcock, sejak kudeta militer Myanmar pada 1 Februari, terjadi 109 serangan terhadap petugas kesehatan dalam rentang waktu dua bulan. "Ini mempercepat runtuhnya sistem kesehatan publik saat banyak orang sangat membutuhkannya," kata Lowcock.

photo
Biksu dan warga mengenakan masker guna menghindari Covid-19 saat menjalankan aksi menolak kudeta militer di Yangon, Selasa (27/4/2021). - (AP/AP)

Selain itu, sepertiga fasilitas kesehatan di Provinsi Cabo Delgado, Mozambik, menghadapi serangan ekstremis rusak atau hancur. Lowcock mengatakan, saat pertempuran semakin memburuk, banyak petugas kesehatan yang terpaksa menyelamatkan diri sehingga meninggalkan ribuan orang tanpa perawat atau dokter.

Beban ganda

Dalam pertemuan ini Presiden Komite Palang Merah Internasional Peter Maurer mengatakan, laporan terbaru menunjukkan dampak Covid-19 melipatgandakan beban masyarakat yang didera perang. "Saat kita harus meningkatkan sistem kesehatan lebih baik lagi daripada sebelumnya, paradoksnya, sistem kesehatan diserang," katanya.

Maurer mengatakan, lima tahun lalu anggota Dewan Keamanan PBB mengadopsi resolusi yang mengakhiri impunitas bagi penyerang petugas keamanan. Namun, serangan terhadap petugas tidak juga mereda dan serangan siber pada fasilitas kesehatan juga meningkat.

"Pengamatan kami di 40 negara yang terdampak konflik menunjukkan serangan terhadap sistem kesehatan tidak mereda," katanya.

Maurer dan Lowcock mendesak Dewan Keamanan PBB dan masyarakat internasional memfokuskan energi mereka untuk mengubah perilaku kombatan dalam konflik. "Kami membutuhkan solidaritas politik, investasi pada infrastruktur dan layanan dasar. Kami harus meningkatkan perlindungan pada warga sipil dan dukungan yang lebih luas dan substantif terhadap aksi humanitarian," ujarnya.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat