Umat muslim melaksanakan shalat Idul fitri 1442 Hijriah ditengah pandemi di Masjid Agung Al Markazul Islamic Lhokseumawe, Aceh, Kamis (13/5/2021). Kendati telah diintruksikan penerapan protokol kesehatan (prokes) wajib memakai masker dan pembatasan jarak | ANTARA FOTO/RAHMAD

Opini

Idul Fitri dan Kesejatian Manusia

Idul fitri adalah momentum setiap makhluk untuk kembali kepada fitrahnya

NANANG SUMANANG; Guru Sekolah Indonesia Davao-Filipina.

Pertanyaan-pertanyaan seperti: Siapa saya, kenapa saya ada di muka bumi, untuk apa saya ada di bumi, apakah setelah hidup ini ada kematian, kalau ada seperti apa dan bagaimana dan seterusnya adalah pertanyaan-pertanyaan manusia yang sangat mendasar, sekaligus sangat menggelitik dan menarik manusia untuk mencari tahu jawabannya. 

Karena hidup itu misteri, maka pertanyaan yang sangat mendasar di atas sangat menarik untuk diungkap untuk memahami kehidupan manusia itu sendiri. 

Banyak aliran filsafat yang mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut secara filosofis dengan menjadikan manusia sebagai pusat (antroposentris) untuk menjawab pertanyaan tersebut, maupun mendudukan manusia sebagai anggota alam raya dan memusatkan alam (cosmosentris) sebagai jawabannya, dan masih banyak lagi

Sama dengan para filusuf, para ilmuwan dan sastrawan mencoba mengurai, mencari tahu secara detail (deduksi) atau sebaliknya merangkai partikel-partikel kecil kehidupan menjadi lebih utuh (induksi) dalam bingkai metode penelitian yang ilmiah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan kehidupan.

Agama-agama juga mencoba memberikan jawaban lewat firman-firman Tuhan yang ditafsirkan oleh para pemuka agamanya yang kemudian menjadi pedoman hidup beragama.  Ada yang mengatakan bahwa kehidupan di dunia ini sebuah kutukan, ketidak sengajaan, sesuatu yang terjadi dengan sendiri, amanah Tuhan, perjuangan dan sebagainya.

Islam sebagai agama yang sangat memuliakan manusia menawarkan konsep tentang manusia. Dimulai dari tujuan penciptaannya di muka bumi ini sebagai hamba (abdun) yang harus mengabdi/ beribadah kepada Allah semata, Kemudian Alah menyematkan status dirinya sebagai sebagai  “khalifah”/ pengganti/ wakil Allah di muka bumi. Sebuah status yang sangat mulia dalam kelemahannya dirinya, karena terbuat dari “tanah lempung” dan dari “air yang hina”.Lalu Allah melengkapkan diri manusia lagi dengan “Ruh” dari Allah, akal pikiran, memiliki perasaan dan keinginan serta anatomi tubuh yang sangat fleksibel untuk melaksanakan fungsinya sebagai khalifah membangun peradaban (al Mushowwir) di muka bumi. Selain itu Allah juga mengutus para rasulnya yang datang dengan membawa petunjukNya.

Jelasnya manusia adalah makhluk Allah yang secara materi sangat lemah dan hina, karena terbuat dari tanah dan sperma, kemudian Allah lengkapi dengan dengan “Ruh”, akal pikiran, perasaan dan anatomi tubuh yang fleksibel. Tujuan hidupnya sangat jelas yaitu hanya untuk beribadah dan mengabdi kepada Allah semata dengan cara menjalankan role atau perannya sebagai khlaifah di muka bumi untuk memakmurkam bumi, membuat kebaikan di muka bumi dan membuat peradaban di muka bumi.

Idul Fitri yang dirayakan beberapa hari lalu seharusnya menyadarkan kita sebagai muslim akan kesejatian (Fitrah) diri kita sebagai manusia di muka bumi ini.

Secara bahasa, selain kembali berbuka, kembali kepada firahnya yang suci, maka Idul Fitri juga berarti kembali kepada proses penciptaan (fathara) manusia dan kesejatian manusia. Sayangnya peringatan untuk kembali kepada kesejatian manusia dikalahkan oleh hiruk pikuk pelarangan mudik dan berziarah kubur, sementara perbelanjaan dan pariwisata ramai dibuka, aneka ragam makanan yang lezat dan sebagainya.

Mudik dalam arti budaya sebagai upaya manusia untuk kembali ke asal-usulnya, serta mempererat tali kejiwaan mereka terhadap daerah asal, masyarakat, serta budayanya. Mudik, terutama dalam masa pandemik yang dilarang sekarang ini semestinya bisa diartikan lebih dalam lagi dalam atmosfir spiritual kita, yaitu kembali serta menguatkan ikatan spiritual kita kepada Allah SWT. 

Spiritual manusia yang sudah kembali ke Allah dan mengikatkan dirinya kepada Allah ini kemudian nantinya akan memperngaruhi keseluruhan aktifitas manusia; secara intelektual, mental, moral, dan fisiknya. 

Poespowardojo (1989) memaknai manusias sebagai totalitas yang merupakan sumber segala keputusan dan perbuatan. Orientasi yang integral ini menuntut bahwa manusia harus dilihat bukan hanyan sebagai substansi, tetapi terutama dengan kualitasnyadalam relasi dengan kenyataanpokok, yaitudunia, sesama manusia dan nilai mutlak yang transenden.

Sementara Driyarkara (1966) mengartikan manusia adalah ke-dua-an sekaligus ke-satu-an dengan alam sekitarnya. Ke-dua-an berarti bahwa manusia sadar bahwa alam dengan dirinya berbeda, tetapi dari perbedaan tersebut manusia tidak bisa hidup tanpa alam (ke-satu-an). Dalam relasi dengan dunianya, Driyarkara mengangkat relasi manusia ke dalam empat corak yaitu; ekonomi, kebudayaan, peradaban dan teknik.

Semua syariat Islam harus berujung pada bagaimana kita berhubungan dengan Allah SWT (transenden/ hablum minallaah)) lebih baik, berhubungan kepada sesama manusia serta alam raya (hablum minan naas) dengan baik.

Artinya bahwa manusia harus lebih banyak dilihat sebagai fungsinya dalam relasi dengan dunia, manusia dan nilai-nilai dasar kemanusiaan, atau lebih dilihat sebagai fungsi “kekhalifahannya” di muka bumi ini, yang  harus bisa melukis (mushowwir) dunia dengan peradaban. 

Relasi manusia dengan alam sekitar, sesama manusia, berdasarkan nilai spiritual, intelektual dan mental yang baik inilah kemudian kita sebut dengan moral. 

Ternyata memperjuangkan kesejatian manusia dengan moral sangatlah sulit. Banyak sekali variabel yang mengintervensi relasi manusia; manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, manusia dengan alam, maka moral menjadi sesuatu hal yang sangat “mewah”. 

Schopenhauer mengatakan bahwa “mengkhotbahkan moralitas itu mudah, memberi dasar bagi moralitas itulah yang sulit” artinya bagi schopenhaeur memberi garis bawah bagi dasar dasar suatu moral.

Al-Qur’an surat al_hasyr: 22-24 memberikan tahapan-tahapan bagaimana moral bisa dijalankan dalam rangka status manusia sebagai khalifatullaah fil arldi untuk melukis peradaban di muka bumi ini.

Dasar Tauhid menjadi pertama dan utama, dilanjutkan dengan memiliki ilmu pengetahun dan teknologi, memiiki cinta dan kasih sayang, tidak mudah diintervensi, hatinya harus suci dalam niat, ucapan dan perbuatan, berorientasi pada keselamatan dan keamanan bersama, memiliki kekuatan dan kemuliaan serta kreatif, dan inovatif baru bisa mencapai al-Mushowwir.

Kesejatian manusia harus terus menerus diuji dalam berbagai situasi dan keadaan. Setiap peristiwa yang terjadi di sekitar kita meminta kita untuk menunjukkan kesejatian kemanusiaan kita, dimana relasi-relasinya harus berdasarkan kepada keimanana kita kepada Allah SWT, kasih sayang, dan pengetahuan.

Peristiwa krisis kemanusiaan yang sangat memilukan telah terjadi beberapa waktu yang lalu, dimana ketika umat Islam di Palestina sedang melaksanakan ibadah shalat dengan khusyu di malam bulan yang agung, bulan Ramadhan, tiba-tiba saja diserang dengan senjata berat secara brutal oleh tentara “manusia kera” Israel. Peristiwa tersebut mengusik nurani dan kemanusiaan masyarakat dunia secara luas serta demonstrasi secara besar-besaran di mana-mana. Dengan sangat bengisnya “tentara kera” Israel juga menyerang ke daerah kependudukan sipil, menembaki wanita, anak-anak, orang tua, bahkan bayi.

Atas nama mempertahankan diri, “tentara kera” Israel mempersenjatai dirinya dengan sangat lengkap dan bebas, sementara bangsa Palestina tidak diijinkan untuk menggunakan senjata apapun, hanya batu-batu yang dilemparkan untuk melawan tank dan pesawat tempur Israel (Intifadhah).

Krisis kemanusiaan yang terjadi di Palestina menjadi salah satu dari sekian banyak uji test dari test-test kemanusiaan kita. 

Selain krisis kemanusiaan di Palestina, krisis kemanusiaan yang terjadi di Kashmir, Syiria, Myanmar, Uyghur, India dan lain sebagainya menjadi salah satu sekian banyak uji test dari test-test kesejatian kemanusiaan kita.

Sementara di dalam negeri, Pandemik yang telah memasuki usia setahun lebih telah banyak meluluh lantakan perekonomian kita, terutama dampaknya terhadap rakyat kecil. Banyak buruh yang di PHK, usaha-usaha kecil banyak mengalami kebangkrutan, perubahan-perubahan sosial yang terjadi yang tidak terespon dengan cepat mengakibatkan angka kemiskinan dan pengangguran menjadi naik. 

Bencana alam yang terjadi dimana-mana di negeri tercinta, bukan hanya akibat dari letak geografis dan astronomis Indonesia, juga karena kebijakan-kebijakan pemerintah yang keliru menangani pengelolaan alam, yang telah memberikan hak kepada para pengusaha untuk mengeksplotasi alam tanpa pengawasan yang ketat karena lemahnya penegakan hukum juga sangat berakibat bagi kesejahteraan saudara-saudara kita.

Kesejatian manusia kita juga diuji oleh para tingkah laku sebagian politikus yang hanya memikirkan bagaimana merebut dan mempertahankan kekuasaan. Para wakilnya yang ditaruh pada kementerian dan BUMN kemudian menjadi “setan” berdasi yang dengan tega menyunat bantuan-bantuan bagi korban pandemi COVID dan bencana alam demi kepentingan partai politiknya.

Puasa yang seharusnya melahirkan cinta, berbagi dan maaf memaafkan seharusnya menggugah solidaritas kita kepada semua masyarakat yang dilemahkan dan  terdzolimi. Idul Fitri juga harus mengembalikan kita kepada kesejatian manusia dimana akal pikiran, perasaan dan kehendak dapat juga ikut merasakan penderitaan masyarakat yang terdzolimi sekalipun dalam bentuk yang sekecil-kecilnya sebuah doa.

Krisis kemanusiaan dan bencana alam yang terjadi, kiranya bisa menjadi penentu akhir akan kesejatian manusia kita sebagai manusia. Selamat Idul Fitri.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat