Pedagang menyortir buku yang masih layak dijual pasca kebakaran kios di Terminal Senen, Jakarta, Rabu (19/5/2021). Akankah jalan literasi dibiarkan tetap sunyi? | Republika/Putra M. Akbar

Opini

Jalan Sunyi Literasi

Akankah jalan literasi dibiarkan tetap sunyi?

FIRMAN VENAYAKSA, Dosen Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Begitu banyak momentum perbukuan yang dirayakan di Indonesia. Sebut saja Hari Buku Sedunia, Hari Aksara Internasional, Hari Kunjung Perpustakaan, dan Hari Buku Nasional pada 17 Mei kemarin.

Sebelum pandemi, acara perayaan tersebut dilaksanakan gegap gempita baik oleh komunitas, lembaga perbukuan, masyarakat umum bahkan Presiden sebagai representasi pemerintah. Ucapan selamat dan kegiatan literasi begitu semarak.

Apakah ini betul-betul dukungan serius atau hanya kebijakan permukaan?

Tak sampai di situ, urusan literasi dan perbukuan di dalamnya, bahkan menjadi gimmick yang cihuy dalam perhelatan politik. Pada pilpres lalu, baik Joko Widodo maupun Prabowo Subianto sama-sama menyisipkan urusan literasi dalam visi misi pendidikan.

Untuk menghangatkan kembali janji politik itu, mari kita cek kembali redaksinya. Joko Widodo: “Mempercepat gerakan literasi masyarakat dengan memperbanyak perpustakaan dan taman-taman baca, serta pemberian insentif bagi industri perbukuan nasional.”

 
Urusan literasi dan perbukuan di dalamnya, bahkan menjadi gimmick yang cihuy dalam perhelatan politik.
 
 

 

Prabowo: “Membangun perpustakaan dan taman-taman bacaan untuk mendorong gerakan literasi masyarakat.”

Untuk urusan politik, Jokowi dan Probowo punya gaya berbeda tapi untuk pandangan literasi terlihat persamaan lumayan kental. Sehingga muncul candaan dari pegiat literasi waktu itu, pilpres sudah usai, siapapun menang, gerakan literasi akan terus berjalan.

Tak hanya di tingkat nasional, di daerah, sebagai contoh, kita bisa meninjau visi misi Pilgub Banten 2017 yang mempertemukan Rano Karno dan Wahidin Halim. Rano menjanjikan program “1 Desa 1 Taman Bacaan”, Wahidin mengusung pendirian 1.000 perpustakaan.  

Penulis yakin, di daerah lain, baik pemilihan gubernur maupun bupati/wali kota, urusan literasi menjadi daya pikat tersendiri dan jarang absen dalam visi-misi.

Regulasi perbukuan

Perkembangan gerakan literasi, terutama yang diusung komunitas sangat masif, terutama pascakeruntuhan Orde Baru. Stian Haklev, peneliti dari Kanada menjelaskan, munculnya taman bacaan (independen) dan komunitas literasi, terutama di kota-kota besar adalah bagian perayaan kesadaran seiring  munculnya era Reformasi.

Keran kebebasan intelektual ini kemudian ditangkap anak-anak muda dengan mendirikan pusat belajar yang memungkinkan hadirnya interaksi dari pembaca. Dua puluh tahun menjelang, taman bacaan justru begitu marak di masyarakat.

Aktivitas literasi kian menyebar dan melahirkan sel-sel intelektual.

Pertanyaannya, apakah betul ini peran pemerintah? Menjamurnya taman bacaan dan komunitas literasi adalah sindiran kaum intelektual organik (meminjam istilah Gramsci) atas ketakhadiran pemerintah?

Menjawab pertanyaan di atas, kita bisa merujuk UU Sistem Perbukuan No 3 Tahun 2017 yang diturunkan ke dalam PP No 75 Tahun 2019. Regulasi ini menjadi kekuatan hukum bagi pelaku perbukuan dan masyarakat untuk meningkatkan mutu dan jumlah sumber daya perbukuan demi menghasilkan buku bermutu, murah, dan dapat diakses secara merata.

UU ini menjadi legitimasi formal bahwa pemerintah cukup peduli pada pelaku perbukuan dan gerakan literasi di masyarakat. Namun, regulasi ini sangat pincang ketika pemerintah daerah tidak memiliki kepedulian seirama.

 
Problematika besar terkait UU Perbukuan dipantik aksesibilitas buku yang belum merata dan lebih banyak terpusat di kota besar.
 
 

 

Hingga saat ini, dari 34 provinsi di Indonesia, belum ada satu pun yang merespons UU ini melalui peraturan daerah. Problematika besar terkait UU Perbukuan dipantik aksesibilitas buku yang belum merata dan lebih banyak terpusat di kota besar.

Di pelosok desa, buku masih menjadi barang mewah. Hingga hari ini, ikhtiar pegiat literasi mengirimkan buku ke pelosok Indonesia terus berjalan. Sayangnya, lebih mahal urusan pengirimannya dibandingkan harga buku itu sendiri.

Maka pada 2 Mei 2017, saat perwakilan pegiat literasi diundang Presiden, harapan yang dilontarkan adalah meminta dalam sebulan sekali ada pengiriman buku gratis. Presiden mengabulkan. Namun, hanya bertahan satu tahun dan tak jelas kapan berjalan lagi. Ironis.

Perbukuan di era pandemi

Ketika pandemi melanda, pelaku perbukuan bersusah payah terus bergerak melayani pembaca. Pada 2020, Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) yang setiap tahun menyelenggarakan berbagai pameran buku mengalihkan ke bentuk daring.

Bahkan tahun ini, tepatnya 26-30 Mei 2021, Ikapi membuat terobosan menggandeng kampus Untirta Banten, menyelenggarakan Festival Hari Buku Nasional secara hibrid. Ada sekitar 150 penerbit yang menyatakan siap terlibat. Pegiat literasi ikut terlibat.

Ini simbol kerinduan pelaku perbukuan untuk bangkit. Tentu penyelenggaraannya tak seoptimal sebelumnya. Saat pandemi, usaha penerbitan merosot 30-70 persen. Di tengah ekosistem perbukuan yang sempoyongan ditambah pandemi, banyak penerbit gulung tikar.

 
Sayangnya, pemerintah belum mengeluarkan kebijakan yang dapat mendukung pelaku perbukuan bertahan di masa pandemi.
 
 

Jika persoalan ini dibiarkan, alih-alih hendak menyebarkan buku secara merata sehingga meningkatkan minat baca, masyarakat makin sulit mengakses buku. Ini menjadi alarm intelektual di masa depan.

Sayangnya, pemerintah belum mengeluarkan kebijakan yang dapat mendukung pelaku perbukuan bertahan di masa pandemi. Jika pemerintah memberikan insentif untuk mobil, masak iya tidak memberikan insentif untuk perbukuan.

Atau, jangan-jangan kita harus menunggu pilpres akan datang dengan segala ingar bingar janji-janji lagi? Sementara, jalan literasi dibiarkan tetap sunyi. Hmmm.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat