IKHWANUL KIRAM MASHURI | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Mungkinkah Timur Tengah Bersatu Melawan Israel?

Umat manusia, terutama Arab dan Muslim, harus bersatu ikut berjuang membela nasib bangsa Palestina.

Oleh IKHWANUL KIRAM MASHURI

OLEH IKHWANUL KIRAM MASHURI

Pada Resonansi dua pekan lalu, saya menulis negara-negara di Timur Tengah kini sedang mengarah pada islah. Qatar yang dimusuhi  ‘saudara-saudaranya’ di Teluk — Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), dan Bahrain — plus Mesir sejak Juni 2017, kini sudah berbaikan.

Pada Januari lalu, Qatar telah kembali menjadi anggota penuh Dewan Kerja Sama Teluk. Hubungan diplomatik di antara mereka pun secara bertahap sudah normal lagi. Lalu, Turki dan Mesir juga dalam proses islah, setelah delapan tahun berseteru.

Bukan hanya dengan Mesir, Turki hendak meningkatkan hubungan baik dengan negara-negara Teluk, khususnya Saudi. Mereka pun ingin bekerja sama dengan Saudi dan negara-negara Teluk lain dalam berbagai bidang, khususnya ekonomi dan perdagangan.

Berikutnya dan yang terbaru adalah pernyataan Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammad bin Salman (MBS) bahwa negaranya ingin membangun hubungan ‘baik dan terhormat’ dengan tetangganya, Iran. Saudi dan Iran boleh dikatakan musuh bebuyutan.

 

 
Mereka pun ingin bekerja sama dengan Saudi dan negara-negara Teluk lain dalam berbagai bidang, khususnya ekonomi dan perdagangan.
 
 

Tawaran Saudi disambut Teheran. Menurut juru bicara Kemenlu Iran, Saeed Khatibzadeh, Iran senang dengan perubahan retorika Saudi. Empat negara yang tersebut tadi, yakni Turki, Mesir, Saudi, dan Iran merupakan negara besar dan berpengaruh besar di Timur Tengah.

Mereka hadir dan bahkan terlibat dalam banyak konflik di berbagai negara Arab — dari Suriah, Irak, Lebanon, Yaman hingga Libya dan lainnya. Mereka saling tuduh dan menyalahkan. Bahkan, militer Turki dan Mesir pernah hampir bentrok di Libya.

Dengan proses ke arah islah di antara mereka, banyak pihak berharap tercipta perdamaian di kawasan Timur Tengah, sebuah hal yang selama ini dianggap mustahil.

Beberapa pengamat juga memasukkan Israel sebagai unsur penting untuk ikut menciptakan perdamaian di kawasan yang terus diwarnai konflik dan bahkan perang itu. Yaitu dengan adanya normalisasi hubungan antara Israel dengan UEA, Bahrain, dan Maroko.

Normalisasi yang diharapkan bisa mengubah sikap Israel bisa hidup damai dan berdampingan dengan bangsa-bangsa Arab, termasuk dengan Palestina.

 

 
Beberapa pengamat juga memasukkan Israel sebagai unsur penting untuk ikut menciptakan perdamaian di kawasan yang terus diwarnai konflik dan bahkan perang itu.
 
 

Namun, harapan itu ternyata tinggal harapan. Pengusiran paksa disertai kekerasan terhadap warga Palestina di Yerusalem (Madinatu al-Quds) disusul penghancuran Gaza oleh Israel dalam beberapa hari ini telah menjauhkan harapan perdamaian itu dari kenyataan.

Serangan brutal, nyawa yang berjatuhan, rumah-rumah yang hancur, dan agresi kejam Israel terhadap Palestina, memunculkan pertanyaan mendasar: apakah Israel serius tentang perdamaian? Lalu perdamaian apa dan bagaimana yang diinginkan Israel?

Apakah Israel tak menyadari ‘pertanda atau bahkan pengorbanan’ negara Arab yang menormalisasi hubungan dengan Israel bahwa mereka ‘memilih jalan normal dan menerima kemungkinan hidup berdampingan’, terutama antara Israel dan Palestina?

Sikap, tindakan, dan perilaku Israel jelas menunjukkan mereka tidak menginginkan perdamaian. Sikap dan tindakan Israel terang benderang bertentangan dengan arti perdamaian yang dipahami bangsa-bangsa di dunia.

Sikap, tindakan, dan rencana Israel jelas menunjukkan pemahaman mereka itu. Perdamaian yang dipahami Israel adalah tunduk, menyerah, dan menerima apa saja yang dilakukan Israel. Pihak lain harus diam dan inferior terhadap segala yang terkait Israel.

 

 
Sikap dan tindakan Israel terang benderang bertentangan dengan arti perdamaian yang dipahami bangsa-bangsa di dunia.
 
 

Almarhum presiden Palestina Yasir Arafat pernah menyampaikan apa yang disebut ‘perdamaian para pemberani’. Menurutnya, perdamaian sejati membutuhkan keberanian untuk kompromi, menahan emosi, serta ketulusan niat dan tindakan.

Dalam hal ini, Israel tidak mempunyai keberanian yang dibutuhkan, dalam rangka perdamaian tadi. Israel hanya menjadikan perdamaian sebagai slogan politik.

Kini, para pemimpin Palestina dan elite Arab yang percaya  perdamaian harus menanggung tindakan Israel yang menghancurkan Gaza dan mengusir paksa warga Palestina dari Yerusalem.

Mereka jelas frustrasi bahwa segalanya kini kembali ke nol. Namun, jangan dilupakan, tindakan brutal Zionis Israel itu justru mempersatukan bangsa dan pemimpin Palestina, Arab, negara-negara Islam, dan masyarakat internasional.

Bahkan para pengamat di Timur Tengah yang biasanya berbeda, kini sepakat, tindakan brutal Israel merusak proses perdamaian Arab-Israel, bukan saja antara Palestina dan Israel.

 
Umat manusia, terutama Arab dan Muslim, harus bersatu ikut berjuang membela nasib bangsa Palestina. 
 
 

Penjajahan Zionis Israel terhadap bangsa atau negara Palestina bukan perkara rakyat Palestina sendiri. Ia menjadi masalah dunia bahwa ‘penjajahan di muka bumi harus dienyahkan’. Masjidil Aqsa yang menjadi bagian Kota al-Quds adalah milik seluruh umat Islam.

Ia kiblat pertama dan tempat suci ketiga umat Islam. Karena itu, jangan biarkan bangsa Palestina berjuang sendirian. Umat manusia, terutama Arab dan Muslim, harus bersatu ikut berjuang membela nasib bangsa Palestina. Tidak ada hal yang mustahil.

Hal ini, seperti diperlihatkan negara di kawasan Timur Tengah kini, yang dalam proses islah. Berbaikan kembali setelah berseteru, menormalisasi hubungan setelah retak. Bersatu lagi untuk kejayaan bangsa-bangsa di kawasan Timur Tengah, termasuk bangsa Palestina. Selamat Idul Fitri, mohon maaf lahir dan batin. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat