Kondisi kolam penampungan lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, Jumat (22/1/2021). Berdasarkan survei dan kajian Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan bahwa lumpur Lapindo mengandung potensi mineral logam ta | Umarul Faruq/ANTARA FOTO

Ekonomi

Jangan Biarkan Utang Lapindo

Jika tak bisa membayar tunai, aset-aset Lapindo bisa diambil sesuai nilai utang yang dimiliki.

JAKARTA — Pemerintah diminta lebih tegas lagi menagih utang Lapindo Brantas sebesar Rp 1,9 triliun. Utang tersebut berkaitan dengan bencana lumpur Lapindo yang mengubah kawasan yang terletak di Sidoarjo Jawa Timur itu menjadi lumpur.

“Tidak ada alasan bagi Lapindo menunda kewajiban yang seharusnya sudah diselesaikan pada 2019 lalu. Karena itu uang negara, dan sifatnya dana talangan, sesuai dengan perjanjian, ya harus dilunasi, harus dibayarkan, pemerintah harus menagih," ujar Anggota Komisi XI DPR, Andreas Eddy Susetyo, dalam keterangannya pada Sabtu (15/5).

Bencana Lumpur Lapindo terjadi pada 29 Mei 2006. Buntut dari bencana tersebut, perusahaan konglomerasi Bakrie itu memperoleh pinjaman Rp 781,68 miliar, namun utang yang ditarik dari pemerintah (dana talangan) sebesar Rp 773,8 miliar. 

Hingga saat ini, Lapindo Brantas Inc belum juga melunasi utang yang seharusnya sudah selesai pada 2019. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencatat, uang yang harus dikembalikan ke negara adalah sebesar Rp 1,91 triliun.

Ketentuan pelunasan utang itu disepakati melalui pembicaraan dengan pihak pengutang, dengan menyesuaikan arus kas mereka. Namun nyatanya, hingga kini utang tersebut belum juga dilunasi.

Jika Lapindo tidak bisa melakukan pembayaran secara tunai, pihaknya mendesak agar aset-aset yang dimiliki oleh Lapindo bisa diambil oleh pemerintah sesuai dengan nilai utang yang dimiliki.

"Tapi kalau tidak bisa itu bisa dilakukan dengan aset dan harus dilakukan valuasi," kata dia.

 

 

Yang jelas itu uang negara, sifatnya dana talangan dan sesuai perjanjian harus dilunasi dan pemerintah harus menagih.

 

ANDREAS EDDY SUSETYO, Anggota Komisi XI DPR RI
 

Situasi Indonesia yang saat ini tengah dilanda pandemi, menurutnya tidak bisa dijadikan alasan. Karena seharusnya utang diselesaikan pada 2019 lalu, jauh sebelum pandemi di Indonesia.

Untuk itu dirinya meminta kepada pemerintah bahwa utang yang dimiliki Lapindo untuk segera ditagih oleh pemerintah, jika tidak bisa juga terpaksa kata dia aset-aset yang dimiliki Lapindo bisa diambil oleh negara.

"Justru gini kita akan memonitor ke DJKN (Direktorat Jenderal Kekayaan Negara), jadi sekarang aset-aset apa saja yang sudah di tangan pemerintah kalau valuasinya kurang yah harus ditambahkan gitu," ujarnya.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Kekayaan Negara Isa Rachmatarwata mengatakan, upaya penagihan yang terus dilakukan oleh Kemenkeu membuahkan hasil. Sebab, Lapindo menyampaikan akan segera melunasi utangnya.

Namun, pembayaran dilakukan tidak melalui uang tunai melainkan dengan aset mereka berupa tanah yang ada di lokasi lumpur Lapindo tersebut. Jika aset tersebut kurang maka akan ditambah dengan aset lainnya.

"Mereka menawarkan untuk menggantinya atau membayarnya dengan aset. Jadi Lapindo sudah berkirim surat resmi, mereka minta untuk tukar aset saja, asetnya ada di wilayah terdampak itu maupun kalau dianggap kurang dari tempat lain," ujar Isa melalui media briefing virtual pada Jumat (12/6).

Kemenkeu menerima itikad baik dari Lapindo dengan menyerahkan asetnya meski belum diketahui nilainya. Penilaian akan mulai dilakukan saat pandemi Covid-19 ini berakhir.

"Mudah-mudahan kalau Covid segera berakhir, kita bisa segera melakukan penilaian itu," jelasnya.

Meski demikian, Isa menyebutkan pembayaran dengan aset ini bukan hal yang diharapkan oleh pemerintah. Apalagi menilai tanah yang di atasnya ada timbunan yang sudah mengering bukan hal yang lazim.

"Kami lebih memilih tunai. Tapi mereka punya itikad baik untuk bayar dalam bentuk lain. Ini juga tetap harus direspon," ujar dia.

Harus dengan berbagai upaya

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah menyebutkan, pemerintah harus melakukan berbagai upaya untuk mengejar utang Lapindo Brantas Inc dan PT Minarak Lapindo Jaya. Sekalipun itu dengan cara pemberian aset yang dimiliki perusahaan tersebut.

Piter menuturkan, pelunasan utang Lapindo merupakan sebuah urgensi yang perlu dituntaskan pemerintah. Perusahaan sudah merugikan banyak masyarakat, sehingga ketegasan pemerintah kini menjadi hal yang ditunggu banyak pihak.

"Utang Lapindo harus diselesaikan dalam bentuk apapun, termasuk dengan cara mengambil alih asetnya Lapindo," ujarnya.

Apabila tidak dirampungkan segera, Piter menyebutkan, pemerintah akan memiliki citra buruk di mata masyarakat. "Jangan sampai terkesan pemerintah tidak berdaya menghadapi swasta," tuturnya.

Piter menilai, tidak ada ‘efek samping’ yang akan timbul dari penyelesaian permasalahan utang dengan penyerahan aset. Justru, dampak negatif akan muncul apabila pemerintah terus membiarkan utang swasta tidak dilunasi. Khususnya ketika isu ini menyentuh berbagai lapisan masyarakat.

Tapi, Piter menekankan, pemerintah tetap harus memperhatikan tata kelola dari penyelesaian utang Lapindo. "Tentunya harus tetap transparan berapa nilai utang dan berapa nilai aset yang diambil alih," katanya.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat