Suasana PN Jakarta Timur saat berlangsungnya sidang lanjutan kasus pelanggaran protokol kesehatan dengan terdakwa Rizieq Shihab secara tatap muka dan virtual di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur, Jakarta, Senin (19/4/2021). Sidang tersebut beragendakan | Aprillio Akbar/ANTARA FOTO

Nasional

HRS Klaim tak Tahu Kewajiban Karantina

HRS mempertanyakan dasar pembubaran FPI merujuk pada surat keputusan bersama (SKB) Enam Menteri 30 Desember lalu.

JAKARTA -- Habib Rizieq Shihab mengakui tidak mengetahui peraturan yang mewajibkan setiap orang yang datang dari luar negeri harus menjalani karantina mandiri. Pernyataan itu disampaikan ketika menjawab pertanyaan jaksa penuntut umum (JPU) dalam sidang lanjutan perkara kerumunan di Pegadilan Negeri Jakarta Timur, Senin (10/5).

"Saya sempat tanya ke salah seorang pengurus, ini kalau pulang bagaimana, perlu dikarantina enggak nih, nanti di Wisma Atlet? Jawabannya itu tadi, kalau Anda bebas Covid-19 dari Saudi, nanti saya langsung pulang. Tapi kalau enggak punya surat, Anda dikarantina," kata HRS.

Pendiri Front Pembela Islam (FPI) itu mengatakan dirinya dan keluarga juga telah terlebih dahulu melakukan tes usap di Arab Saudi dengan hasil negatif Covid-19. Hal ini yang kemudian menjadi dasar HRS tidak perlu melakukan karantina mandiri setibanya di Indonesia.

"Yang saya tahu ini enggak perlu karantina lagi. Jadi bukan dengan sengaja saya untuk lari dari isolasi. Saya memang enggak tahu, kalau tahu saya harus isolasi," kata dia.

photo
Indonesian Islamic cleric and the leader of Islamic Defenders Front Rizieq Shihab, center, speaks to his followers upon arrival from Saudi Arabia in Jakarta, Indonesia, Tuesday, Nov. 10, 2020 - (AP/Achmad Ibrahim)

Bahkan, HRS mengaku akan membatalkan acara Maulid Nabi Muhammad SAW dan pernikahan putrinya jika sebelumnya mengetahui aturan mengenai kewajiban karantina mandiri tersebut. "Itu kan pembatalan soal waktu saja," katanya.

Dalam sidang itu, HRS menghadirkan dua ahli, yaitu Pakar Hukum dan Tata Negara Refly Harun dan ahli Hukum Kesehatan Sekolah Tinggi Hukum Militer Jakarta M Nasser. Dalam kesaksiannya, Nasser mengatakan, sulit menemukan delik materil pidana dalam Pasal 93 ayat 1 UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang kekarantinaan kesehatan. Terlebih, tidak ada satupun yang membicarakan persoalan kerumunan dalam risalah pembuatan UU tersebut.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) menanyakan, apakah Pasal 93 masuk ke dalam bentuk kejahatan atau pelanggaran. Nasser menegaskan tidak ada risalah yang membicarakan persoalan itu. Menurutnya, Pasal 93 tersebut lebih ditujukan pada karantina darat, laut, dan udara. ‘’Dalam catatan saya ini harus dibuktikan, dan jelas tidak ada delik materil, padahal (dakwaan) ini pidana,’’ kata dia.

Kepada Refly, HRS mempertanyakan dasar pembubaran FPI merujuk pada surat keputusan bersama (SKB) Enam Menteri 30 Desember lalu. Apakah jika suatu ormas berasaskan Islam bisa disebut bertentangan dengan Pancasila dan bisa dibubarkan. Refly menegaskan, tidak mungkin di segala aspek yang ada Islam bertentangan dengan Pancasila, mengingat nilai-nilai Islam sudah pasti tertanam di Pancasila.

Refly mengaku heran mengapa pemerintah menolak pendaftaran dan perpanjangan surat keterangan terdaftar (SKT) FPI dan kemudian membubarkannya. ‘’Ahli bingung kenapa organisasi itu dibubarkan, kecuali ada vonis pengadilan, sudah dijatuhkan sanksi atau lainnya. Ini hanya SKT tidak diperpanjang,’’ kata dia.

Singgung parpol

HRS kembali bertanya, apakah oknum yang menjadi tersangka bisa menjadikan alasan membubarkan ormas. Menurut Refly, jika hal itu terjadi, maka yang perlu dibubarkan pertama kali adalah setiap partai politik yang memiliki wakil di Senayan.

"Karena semuanya sudah terbukti melakukan tindak pidana. Salah satunya, adalah korupsi yang merupakan extraordinary crimes. Tapi kan tidak bisa begitu," kata dia.

Refly mengatakan, meski ada oknum di suatu instansi, maka instansi atau ormas tersebut tidak bisa dibubarkan. Sebab, hukum di Indonesia hanya melihat individu.

Pemerintah membubarkan FPI pada 30 Desember 2020. Menurut SKB enam menteri, FPI dilarang berkegiatan, termasuk menggunakan simbol serta atribut organisasi yang dimilikinya. Alasanya, FPI diklaim sudah bubar sejak 21 Juni 2019 karena tidak memiliki SKT dan 35 pengurus FPI yang pernah bergabung dan diduga terlibat tindak pidana terorisme. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat