Azyumardi Azra | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Filantropi Ramadhan dan Lebaran (1)

Ramadhan dan Lebaran merupakan puncak ekspresi dan aktualisasi filantropi Islam.

Oleh AZYUMARDI AZRA

OLEH  AZYUMARDI AZRA

Dua kali Lebaran; dua kali kesengsaraan berkelanjutan karena wabah korona. Puasa Ramadhan dan Lebaran 1441/2020 dan 1442/2021 dilaksanakan penuh keprihatinan di tengah wabah Covid-19. Belum terlihat tanda menurun atau berakhirnya bencana kemanusiaan global ini.

Beberapa negara, seperti India, sedang mengalami ‘Tsunami Covid-19’. Terjadi peningkatan dramatis mereka yang positif terinfeksi virus korona di India mencapai lebih 20 juta orang—pernah mencapai 400 ribuan orang sehari.

Mereka yang meninggal lebih tiga ribuan setiap hari, tergeletak di mana-mana, sebagian menunggu dikremasi. Bencana kemanusiaan. Negara berpenduduk mayoritas Muslim juga mengalami peningkatan wabah.

Sampai tiga pekan Ramadhan 1442 H, lima besar negara terlanda wabah: Turki (terinfeksi hampir  lima juta; meninggal lebih 40 ribu), Iran (terinfeksi lebih 2,5 juta; meninggal hampir 73 ribu), Indonesia (terinfeksi hampir 1,7 juta; meninggal melewati 46 ribu), dan Irak (terinfeksi hampir 1,1 juta; meninggal  mendekati 16 ribu).

 
Ramadan in Java menunjukkan potret Islam yang tengah dan terus berubah di Jawa Tengah; perubahan yang juga terjadi di daerah lain di seluruh Indonesia.
 
 

Dua Ramadhan sendu. Penulis ingin mengutip kembali gambaran Ramadhan yang kontras dalam karya Andre Moller, Ramadan in Java: The Joy and Jihad of Ritual Fasting (Sweden: Dept of History and Anthropology of Religions, Lund University, 2005, 446 h).

Edisi Indonesia buku ini juga sudah lama terbit seiring penerbitan edisi Inggrisnya. Inilah salah satu dari sangat sedikit buku atau artikel yang mengkaji ibadah puasa dari berbagai segi, khususnya dalam realitas dan aktualitas masyarakat Muslim Jawa.

Moller berangkat dari ajaran normatif ibadah puasa; lalu membahas wacana publik tentang puasa dalam media media massa.

Bagian terpenting adalah tentang pengamalan puasa secara sosiologis dan antropologis dalam masyarakat Jawa dan perbandingan Ramadhan di Jawa dengan beberapa kawasan lain di dunia Muslim.

Meski berfokus pada ibadah puasa Ramadhan, Moller menggambarkan berbagai aspek dinamika Islam dalam masyarakat Jawa—tetapi by extension juga Indonesia keseluruhan di masa kontemporer. 

Ramadan in Java menunjukkan potret Islam yang tengah dan terus berubah di Jawa Tengah; perubahan yang juga terjadi di daerah lain di seluruh Indonesia.  

Mengamati pengamalan ibadah puasa dalam masyarakat Jawa, Moller berkesimpulan, Ramadhan di Jawa adalah fenomena luar biasa. Kompleksitas Ramadhan pasti juga terlihat dalam masyarakat Muslim etnisitas lain di seluruh Indonesia.

 
Gambaran Ramadhan penuh kegembiraan ini juga berlaku di daerah lain di berbagai penjuru Indonesia. 
 
 

Setelah membandingkan dengan pelaksanaan Ramadhan di kalangan Muslim lain di Maroko, Yordania, Turki, Arab Saudi, dan Swahili Afrika Timur, Moller menyimpulkan: “...the observance of Ramadan in Java belongs to the more scrupulously and joyously performed rituals in the Muslim world”.

Gambaran Ramadhan penuh kegembiraan ini juga berlaku di daerah lain di berbagai penjuru Indonesia. Berpuasa Ramadhan adalah ibadah tetapi, tulis Moller, patut lebih cocok menyebut puasa Ramadhan sebagai ‘ritual complex’, karena ia mencakup banyak ‘sub-ritual’.

‘Ramadanic ritual complex’ itu sebagian bisa jadi tak terkait langsung ibadah puasa tetapi bagian dari selebrasi Ramadhan. Ibadah puasa wajib hanya sebulan penuh tetapi dengan seluruh selebrasinya, ‘Ramadanic ritual  complex’ berlangsung sekitar tiga bulan.

‘Ramadanic ritual complex’ dalam masyarakat Muslim Jawa bermula dengan Ruwah (Sya’ban). Dalam bulan ruwah (bahasa Arab, arwah), ruwahan dilakukan untuk menyambut kedatangan Ramadhan, yang bisa  berupa pengajian, slametan, saling mengirim makanan, atau ziarah ke kuburan (nyekar).

Belakangan, ‘nishf Sya’ban’ untuk menyambut puasa juga kian populer. Lalu, di bulan Ramadhan, selain ibadah puasa pada siang hari, malamnya ada berbagai ibadah dan kegiatan agama sejak shalat Tarawih sampai memukul bedug keliling kampung menjelang sahur.

 
Ramadhan dan Lebaran merupakan puncak ekspresi dan aktualisasi filantropi Islam.
 
 

Yang paling distingtif dari ‘Ramadanic ritual complex’ di Jawa, dan di tempat-tempat lain di Indonesia, adalah perayaan Id al-Fitri atau Lebaran, yang ditandai ‘pulang mudik. Id al-Fitri, menurut Nurcholish Madjid adalah puncak kehidupan sosial-keagamaan kaum Muslim Indonesia.

Pulang mudik tidak hanya merupakan pergerakan manusia terbesar dari kota ke desa, tetapi juga pemerataan sosial-ekonomi, dan tak kurang pentingnya merefleksikan ‘perjalanan anak manusia Muslim Indonesia untuk kembali ke akar eksistensial mereka’.

Dalam dua Ramadhan terakhir, pulang mudik dibatasi pemerintah karena kekhawatiran penyebaran Covid-19.

Meski ‘Ramadanic ritual complex’ surut selama dua Ramadhan dan Lebaran, bisa dipastikan bangkit lagi di masa pasca-Covid-19. Insya Allah.

‘Ramadanic ritual complex’ yang begitu luas dan panjang melibatkan peran filantropi Islam kian meningkat. Ramadhan dan Lebaran merupakan puncak ekspresi dan aktualisasi filantropi Islam yang menjadi bagian sangat penting dari distingsi religio-socio-cultural Islam Indonesia.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat