Priyantono Oemar | Daan Yahya | Republika

Kisah Dalam Negeri

Keistimewaan Yogya dan Shalat Id Pertama Presiden di Jakarta

Beberapa hari setelah proklamasi kemerdekaan, Yogyakarta memperoleh hak keistimewaan.

OLEH PRIYANTONO OEMAR

Beberapa hari setelah proklamasi kemerdekaan, Yogyakarta memperoleh hak keistimewaan. Sultan HB IX membacakan keputusan tersebut pada hari ke-28 puasa di tahun itu, tepatnya 5 September 1945. Sri Paku Alam VII juga menyampaikan maklumat serupa.

Selama pendudukan Jepang, terjalin komunikasi antara Kesultanan dan Pakualaman. Sebelumnya, tak ada komunikasi.

Maklumat HB IX berbunyi demikian:

Saya, Hamengku Buwono IX, Sultan Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat, dengan ini menyatakan:

1. Bahwa Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat yang bersifat kerajaan telah menjadi daerah istimewa Negara Republik Indonesia.

2. Bahwa saya sebagai kepala daerah diberi kewenangan di Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat dan sebagai akibatnya mulai saat ini menjalankan pemerintahan di Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat.

3. Bahwa hubungan Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat dan Republik Indonesia adalah langsung, sehingga saya mempertanggungjawabkan negeri saya kepada Presiden Republik.

Saya menginstruksikan warga Negeri Ngayogyakarta untuk mengamati proklamasi ini.

Ngayogyakarta Hadiningrat.

28 Puasa Ehe 1876 (5 September 1945)

Dua hari kemudian, 7 September, Muhammadiyah sudah berlebaran. Sementara, negara menyatakan, Lebaran jatuh pada 8 September. Komite Nasional Indonesia Daerah Jakarta mengadakan Shalat Id di Lapangan Ikada, 8 September, pukul 08.30.

Shalat Id kenegaraan yang dihadiri Presiden Sukarno untuk pertama kalinya baru terjadi pada Lebaran 1950, setelah negara Indonesia bernama Republik Indonesia Serikat (RIS). Shalat Id dilaksanakan di Lapangan Banteng, diikuti 20 ribu umat Islam pada Ahad, 16 Juli.

 
Ini adalah hari yang sangat penting, bukan karena kehadiran saya, tetapi karena ini adalah hari yang luar biasa bagi semua Muslim di dunia.
PRESIDEN SUKARNO
 

“Ini adalah hari yang sangat penting, bukan karena kehadiran saya, tetapi karena ini adalah hari yang luar biasa bagi semua Muslim di dunia,” ujar Sukarno di hadapan jamaah seperti dikutip Indische Courant voor Nederland edisi 22 Juli 1950.

Sukarno juga menyinggung soal perjuangan yang belum selesai. Konflik sering muncul menghalangi pencapaian tujuan bersama. “Saya menyesal, akhir-akhir ini secara umum masyarakat Indonesia dijangkiti pandangan hidup yang penuh kontradiksi,” ujar Sukarno.

Ia mengajak melakukan konsolidasi persatuan nasional. “Pada Hari Perdamaian yang agung ini, mari kita konsolidadikan persatuan nasional kita dan dengan keberanian dan energi baru, mari kita secara intensif memulai rekonstruksi nasional. Tidak ada lagi yang akan meraup keuntungan kecuali rakyat Indonesia sendiri, meski bom dan dinamit meledak di luar perbatasan kita,” kata Sukarno menutup pesan Lebarannya.

 
Tidak ada lagi yang akan meraup keuntungan kecuali rakyat Indonesia sendiri, meski bom dan dinamit meledak di luar perbatasan kita.
PRESIDEN SUKARNO
 

Shalat Id ini kemudian menjadi perbincangan masyarakat. Penyebabnya, saat M Natsir menyampaikan khutbah, pengeras suara bekerja dengan baik. Namun, ketika Sukarno tampil, pengeras suara tak berfungsi sehingga ada yang menduga telah terjadi sabotase.

Ahad sore, para menteri bersilaturahim di rumah Perdana Menteri RIS Muh Hatta. Senin sore, Sukarno mengadakan gelar griya di Istana untuk para anggota kabinet dan pejabat, dilanjutkan dengan gelar griya untuk publik pada malam harinya. Ribuan orang dilaporkan hadir di acara gelar griya ini.

Umat Islam di Jakarta ada yang baru melaksanakan Shalat Id pada Senin, 17 Juli 1950. Kiai di Jatinegara yang menyelenggarakan Shalat Id pada Senin menyebut, pengumuman bersama RI-RIS di Radio Yogyakarta yang menetapkan Idul Fitri jatuh pada Ahad tidak tepat.

Kiai itu mengatakan, tidak mungkin melihat bulan sabit di bawah enam derajat, sehingga menurutnya Lebaran jatuh pada Senin. Atas polemik ini, Menteri Agama KH Wahid Hasyim berencana menunjuk pos-pos pengamatan bulan sabit.

Pada 1950 itu pemerintah memberikan uang rehabilitasi sebesar satu bulan gaji kepada para pejabat pemerintah yang setia kepada Republik Indonesia. Menjelang Lebaran, kepada mereka dibayarkan gaji pokok dan gaji peralihan sebagai uang muka dari uang rehabilitasi itu. Sisanya, diberikan dalam bentuk surat utang yang tidak boleh dijual kepada pihak lain.

“Yang dimaksud dengan pejabat yang ‘selalu setia kepada Republik Indonesia’ adalah pejabat republik yang tidak pernah dipekerjakan oleh pemerintah lain sejak 17 Agustus 1945 atau tidak pernah berusaha melakukannya untuk pemerintah lain,” tulis De Locomotief edisi 27 Juni 1950.

Setelah proklamasi kemerdekaan, beberapa daerah keluar dari Republik Indonesia. Ketika Yogyakarta tetap menjadi bagian Republik Indonesia, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, misalnya, keluar dari Republik dan tergabung di RIS sebagai negara bagian, masing-masing bernama Pasundan, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

 
Perayaan Lebaran dibarengi suara sirene yang meraung-raung karena Belanda sedang melakukan agresi militer pertama.
 
 

RIS yang dibentuk pada 27 Desember 1949 dibubarkan pada 17 Agustus 1950. RIS terdiri atas 16 negara bagian, yaitu Republik Indonesia, Sumatra Timur, Riau, Sumatra Selatan, Bangka, Belitung, Dayak Besar, Kalimantan Barat, Kalimantan Tenggara, Kalimantan Timur, Banjar, Pasundan, Jawa Tengah (wilayahnya separuh dari wilayah Jawa Tengah sekarang), Jawa Timur (wilayahnya lebih dari separuh wilayah Jawa Timur sekarang), Madura, dan Indonesia Timur. Batavia juga menjadi wilayah distrik federal RIS.

Sebelum Yogyakarta diduduki Belanda, Sukarno mengikuti shalat Id terakhir di Yogyakarta pada Agustus 1948. Shalat Id di Alun-Alun Yogyakarta itu diikuti 10 ribu umat Islam. Pada Lebaran tahun sebelumnya, perayaan Lebaran dibarengi suara sirene yang meraung-raung karena Belanda sedang melakukan agresi militer pertama.

Oleh karena itu, pada Lebaran 1948 itu, Sukarno meminta doa dukungan sebagai presiden dan doa agar bisa tetap bebas menjalankan Shalat Id di tahun-tahun berikutnya.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat