Anggota Brimob Polda Sumatera Selatan mengusung peti jenazah personel Batalyon C Res III Pas Pelopor Korbrimob Polri Bharada I Komang Wira Natha saat tiba di terminal kargo Bandara Internasional Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) II Palembang, Sumatra Selatan | ANTARA FOTO/Nova Wahyudi

Kabar Utama

Ancaman Eskalasi Setelah Cap Teroris KKB

Cap terorisme berpotensi menambah korban jiwa dari warga sipil di Papua.

JAKARTA – Tanpa menyebutkan nama tertentu, pemerintah secara resmi mengategorikan organisasi dan orang-orang di Papua yang melakukan kekerasan masif sebagai teroris. Pihak-pihak yang terafiliasi dengan “kelompok kriminal bersenjata” alias KKB juga akan dikenai pasal tindakan terorisme. 

"Pemerintah mengangap bahwa organisasi dan orang-orang di Papua yang melakukan kekerasan masif dikategorikan sebagai teroris," ujar Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan, Mahfud MD, pada konferensi pers di kantornya, Jakarta Pusat, Kamis (29/4).

Mahfud menjelaskan, keputusan tersebut diambil setelah mendengar pandangan sejumlah pihak termasuk tokoh-tokoh Papua. Berdasarkan ketentuan Undang-Undang (UU) Nomor 5 tahun 2018 tentang Pemberantasan Terorisme yang dilakukan oleh KKB di Papua dan segala nama organisasi serta orang-orang yang berafiliasi dengannya merupakan tindakan teroris.

"Pemerintah sudah meminta kepada Polri, TNI, BIN, dan aparat-aparat terkait segera melakukan tindakan secara cepat, tegas, dan terukur. Terukur menurut hukum dalam arti jangan sampai menyasar ke masyarakat sipil," kata dia.

Keputusan pemerintah kemarin menyusul eskalasi kerawanan di Kabupaten Puncak, Papua. Sejak awal bulan ini, sejumlah warga sipil ditembak mati kelompok bersenjata. Puncaknya, saat kepala Badan Intelijen Negara Daerah (Kabinda) Papua Brigjen TNI I Gusti Putu Danny Nugraha Karya ditembak mati pada Senin (26/4). Presiden Joko Widodo langsung memerintahkan penumpasan KKB selepas kejadian itu.

Mahfud tak memerinci organisasi mana yang dinilai pemerintah sebagai KKB. Namun, satu-satunya kelompok yang berulang kali menyatakan bertanggung jawab atas penembakan personel TNI-Polri serta warga sipil di Papua adalah Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB), sayap militer dari Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Saat ini, kelompok tersebut dipimpin Lekagak Telenggen. Sebelumnya, kelompok itu dipimpin Kelik Kwalik yang dibunuh kepolisian pada 2009 dan Goliath Tabuni yang menyatakan kembali bergabung ke NKRI pada 2015.

Kelompok itu secara sepihak mengeklaim terafiliasi dengan pergerakan kemerdekaan atau organisasi yang menuntut referendum di Papua lainnya. Di antara Kongres Nasional Papua Barat (KNPB) dan Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), dua kelompok mahasiswa yang tergolong vokal menuntut referendum secara damai.

Sementara di luar negeri ada United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) yang dipimpin Benny Wenda dari Oxford, Inggris. UMLWP bergerak melalui diplomasi internasional di PBB. 

Terlepas dari klasifikasi itu, Mahfud menjanjikan upaya pemberantasan terorisme bukan terhadap rakyat Papua. Melainkan, terhadap segelintir orang yang melakukan pemberontakan dan tindakan separatisme secara sembunyi-sembunyi. "Itu tidak perlu banyak (pasukan) tinggal dikoordinasikan," ujar Mahfud.

Dalam pelaksanaannya, pangdam dan kapolda setempat harus berkoordinasi dengan baik di bawah bimbingan Kapolri dan Panglima TNI. “Siapa itu yang melakukan? Satu, yang di depan itu polisi dengan bantuan penebalan dari TNI.”

Untuk Badan Intelijen Negara (BIN), Mahfud menjelaskan, akan diminta melakukan kegiatan-kegiatan intelijen yang lebih bersifat politis. Di antaranya melakukan penggalangan diplomasi bersama Kementerian Luar Negeri terhadap negara yang menjadi tempat pelarian orang-orang yang berupaya melakukan separatisme.

Ia juga mengingatkan komitmen pemerintah menyelesaikan masalah Papua dengan pendekatan kesejahteraan, bukan penyelesaian bersenjata. Hal ini sesuai Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2020. "Tidak ada gerakan atau tindakan bersenjata terhadap rakyat Papua. Tapi ada tindakan penegakan hukum," ujar Mahfud.

Ia juga mengeklaim, berdasarkan hasil survei yang ia dapatkan, lebih dari 92 persen masyarakat Papua pro-Indonesia.

Asisten Kapolri bidang Operasi (Asops) Irjen Imam Sugianto menyatakan, pihaknya sedang mengkaji pelibatan Tim Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri di Papua setelah pengumuman kemarin. "Jangan berspekulasi, nanti arahan Pak Kapolri bagaimana, terutama pelibatan Densus," ujar Imam, Kamis (29/4).

photo
Pasukan TPNPB-OPM berpose di pedalaman Kabupaten Nduga, pertengahan Mei 2020. - (Istimewa/TPNPB-OPM)

Di pihak lain, Jubir TPNPB Sebby Sambom menyampaikan pihaknya tak gentar walau ada mobilisasi militer besar-besaran ke Papua sehubungan status yang diumumkan kemarin. "Kami ada di kami punya negeri. Sebagai pemilik negeri, kami percaya bahwa kami membela hak bangsa, rakyat, dan negeri kami. Sehingga kami akan tetap lawan pasukan teroris dan kriminal dari Indonesia, yaitu TNI-Polri," kata Sebby dalam keterangan pers diterima Republika pada Kamis (29/4).

Sebby menuding justru pihak TNI/Polri yang merupakan teroris di tanah Papua. Ia lalu mengklaim bakal menggugat masalah ini ke dunia internasional. "TPNPB sudah punya kuasa hukum, dan kuasa hukum kami sampaikan bahwa jika Indonesia berani masukkan TPNPB sebagai organisasi teroris, maka kami sangat siap bawa masalah ini ke pengadilan internasional," ujar Sebby.

Menurutnya, definisi terorisme saat ini sudah diratifikasi secara global sehingga tak bisa sekenanya diterapkan oleh negara tertentu. “Kami punya ahli hukum juga siap mengkaji semua tindakan terorisme negara Indonesia terhadap rakyat Papua,” ujarnya.

Korban jiwa

Tim Kajian Papua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengkhawatirkan dampak pelabelan terorisme terhadap kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Papua. Langkah itu berpotensi menambah korban jiwa dari warga sipil di Bumi Cendrawasih.

"Pemerintah harus pikirkan konsekuensinya, dampak negatifnya. Bagaimana kalau pelabelan ini berpotensi menambah kekerasan dan jatuhnya korban sipil," kata anggota Tim Kajian Papua LIPI Cahyo Pamungkas kepada Republika, Kamis (29/4). Cahyo menilai cap teroris akan memperluas cakupan operasi penegakan hukum di Papua. 

Aparat penegak hukum, menurut Cahyo, kini bisa menyasar kelompok bersenjata maupun kelompok warga sipil yang tidak bersenjata dengan asumsi keterlibatan terorisme. "Korban sipil akan banyak berjatuhan baik warga asli Papua atau non-Papua. Ini yang harus diperhatikan," ujar Cahyo.

Cahyo mendesak pemerintah bertanggung jawab atas dampak dari pelabelan teroris tersebut. "Perlu ada upaya mitigasi perlindungan terhadap rakyat sipil. Pemerintah harus punya mekanisme di lapangan untuk lindungi sipil agar jangan sampai jadi korban pelabelan itu," ucap Cahyo.

Sedangkan Ketua Tim Kajian Papua LIPI Adriana Elisabeth meminta pemerintah tetap punya mekanisme perundingan dalam menangani konflik di Papua. Ia meyakini kekerasan bukan merupakan solusi utama dalam konflik.

"Cara damai harus tetap dilakukan untuk mengimbangi coercive power, misalnya membuka komunikasi dengan otoritas di Papua untuk mendukung keamanan warga Papua," kata Adriana, Kamis (29/4).

Adriana menduga label teroris akan membuat siklus kekerasan berlanjut di Papua. Ia menilai masyarakat yang berada di wilayah perkampungan akan sangat terdampak. "Yang paling penting mengatasi masalah kemanusiaan khususnya membantu warga yang mengungsi karena mereka pasti akan kehilangan pekerjaan, anak-anak tidak bisa sekolah dan sulit mendapatkan akses kesehatan," ujar Adriana.

Selain itu, Adriana mengingatkan pemerintah berhati-hati dalam melancarkan operasi penanganan terorisme di Papua. Menurutnya, pihak asing bisa saja ikut campur kalau pemerintah melanggar HAM secara masif dalam operasi. "PBB bisa mengintervensi kalau terjadi pelanggaran HAM yang masif selama operasi pengejaran dan penangkapan KKB," ucap Adriana.

 
PBB bisa mengintervensi kalau terjadi pelanggaran HAM yang masif selama operasi pengejaran dan penangkapan KKB
 
 

Koordinator Kontras Papua, Sam Awom, melihat pengategorian kelompok kriminal bersenjata (KKB) sebagai organisasi teroris oleh pemerintah tak akan menyelesaikan konflik di Papua. "Ini kayaknya pemerintah terlalu tergesa-gesa dengan merespons situasi Papua saat ini," ujar Sam kepada Republika lewat sambungan telepon, Kamis (29/4).

Semestinya, kata dia, investigasi menyeluruh terkait kejadian penembakan di Kabupaten Puncak terlebih dahulu untuk mengetahui duduk persoalan. Menurut Sam, pengategorian KKB tanpa menyebut kelompok atau orang mana saja yang terlibat sebagai teroris itu terlalu luas dan berbahaya.

Kelompok-kelompok yang tengah berupaya mencari solusi damai, bisa merupakan kelompok mahasiswa, kelompok pemuda, kelompok adat, maupun kelompok agama. Mereka mungkin saja ke depan akan dikategorikan sebagai pendukung terorisme.

Masyarakat sipil juga dia khawatirkan akan terdampak dari keputusan politik pemerintah tersebut. "Bisa langsung dijustifikasi atau dari kampung tertentu atau desa tertentu, bisa jadi dikategorikan sebagai terorisme," kata dia.

Sam mengatakan, dalam menyelesaikan situasi konflik di Papua Presiden Joko Widodo semestinya jangan dikelilingi oleh orang-orang dari kalangan militer. “Saya pikir kata berunding ini Jakarta tak perlu takut, tapi mencari format perdamaian yang abadi untuk Papua yang lebih damai," tutur dia. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat