Priyantono Oemar | Daan Yahya | Republika

Kisah Dalam Negeri

Kartini, Idul Fitri, dan Kebangsawanan Pikiran

Kartini sangat tersentuh pada kehidupan rakyat biasa, masyarakat bawah.

OLEH PRIYANTONO OEMAR

Kartini biasa diajak ayahnya pergi ke kampung-kampung untuk bertemu masyarakat bawah. Biasanya, dilakukan pada Ahad.

Kesempatan mengunjungi kampung-kampung itu juga diikuti Kartini ketika Lebaran, Idul Fitri. Pada perayaan Idul Fitri biasanya masyarakat menghias rumah mereka, menyediakan meja untuk hidangan, dan sebagainya. Masyarakat benar-benar menyambut Idul Fitri dengan sukacita.

Bagi umat Islam, perayaan Idul Fitri adalah silaturahim saling berkunjung untuk meminta dan memberi maaf atas dosa-dosa yang pernah dilakukan. Bagi Kartini, “semua perbuatan yang menyebabkan semua manusia menderita” dianggap sebagai dosa.

“Dosa adalah menyakiti makhluk lain; manusia dan binatang,” ujar Kartini di surat yang ia tujukan kepada Nona EH Zeehandelaar tertanggal 6 November 1899.

Bagaimana contoh kasus “menyakiti” yang dicatat Kartini sebagai dosa?

Dosa agama, “Agama yang harusnya menjauhkan kita dari berbuat dosa, justru menjadi alasan yang sah kita berbuat dosa. Coba, berapa banyaknya dosa yang diperbuat atas nama agama itu?” tanya Kartini.

photo
Sejumlah anak menyusun gambar tokoh wanita Indonesia RA Kartini di Solo, Jawa Tengah, Rabu (21/4/2020). Kegiatan tersebut digelar untuk mengenalkan tokoh RA Kartini kepada anak-anak guna meneladani pemikiran dan perjuangannya terhadap wanita Indonesia. - (Maulana Surya/ANTARA FOTO)

Kartini merasa sedih ketika keberadaan agama-agama membuat pemeluknya saling berselisih. “Orang-orang seibu-sebapa ancam-mengancam berhadap-hadapan hanya karena berlainan cara mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Yang Sama,” kata Kartini.

Dosa pribadi; sering bicara, tertawa keras, adalah dosa Kartini yang ia lakukan setiap saat. Bagi perempuan Jawa, kata Kartini, diam adalah permata mereka. Berbicara pun sesekali, itu pun dengan cara berbisik lembut. “Tak boleh bersuara ketika tertawa. Hanya tersenyum bolehnya. Jika giginya terlihat, ia akan dikatai ‘luwak’,” ujar Kartini kepada Nyonya Abendanon tertanggal Agustus 1900.

Hal itu tentu menjemukan bagi Kartini, sehingga ia sering melanggarnya. “Ni berdosa setiap saat,” kata dia.

 
Bodoh saya mengira kebangsawanan pikiran selalu seiring dengan kebangsawanan perangai–bahwa tingkat tinggi kecerdasan juga berarti keluhuran budi pekerti!
 
 

Dosa di lingkungan keluarga; suami pulang bersama wanita lain adalah penderitaan bagi seorang istri. Suami bisa menyakiti istri pertama. Ini dosa bagi suami. “Bodoh saya mengira kebangsawanan pikiran selalu seiring dengan kebangsawanan perangai–bahwa tingkat tinggi kecerdasan juga berarti keluhuran budi pekerti!” kata Kartini.

Dosa di lingkungan sosial kenegaraan: kebiasaan memberi upeti kepada pejabat lebih tinggi, kendati rakyat dalam keadaan sengsara. “Di daerah Ayah, alhamdulillah hal ini tidak terjadi. Kalau Ayah turni (melakukan perjalanan dinas) dan harus menginap, maka Ayah selalu membawa bekal sendiri. Kontelir dan asisten residen membawa juga,” ujar Kartini.

Dalam kesempatan mengunjungi kampung-kampung itu, tak jarang Kartini mencoba ikut menanam padi, mengetam padi, bahkan merumput. Hal itu, menurut Kardinah, sangat menggembirakan rakyat. “Sebab merasa hidupnya diperhatikan dan dijaga oleh Bapak Bupati sekeluarga,” ujar adik Kartini itu di buku Tiga Saudara.

Ia misalnya pernah menyaksikan anak berusia enam tahun sudah membantu keluarganya dengan menjual rumput. “Seperti ratusan, kalau tidak ribuan lainnya, anak itu tidak berayah. Ibunya pergi bekerja. Di rumah masih ada dua orang adik. Ia yang sulung,” kata Kartini dalam suratnya kepada Nyonya Abendanon tertanggal 8 April 1902.

 
Kartini sangat tersentuh pada kehidupan rakyat biasa, masyarakat bawah.
 
 

Kartini sangat tersentuh pada kehidupan rakyat biasa, masyarakat bawah. Kartini bisa makan tiga kali sehari, tetapi masyarakat bawah makan sekenanya. Keluarga anak enam tahun penjual rumput itu hanya makan sekali dalam sehari, yaitu sore hari. Itu pun hanya kue tepung aren seharga sepeser. “Kami memberinya makan, tetapi tidak dimakannya; nasinya dibawa pulang,” ujar Kartini.

Karenanya, Kartini selalu mencoba memikirkan kehidupan dirinya dan kehidupan lingkungannya. Di sekelilingnya ada banyak orang menderita. “Saya malu sekali jika memikirkan kepentingan sendiri,” ujar Kartini.

Ia menyukai Max Havelaar karya Multatuli yang menggambarkan penderitaan masyarakat bawah. “…terdengar bunyi mendesing dan menderau dalam telinga saya: Bekerja! Bekerja! Bekerja! Berjuanglah membebaskan diri! Setelah kamu membebaskan diri, kamu akan dapat menolong orang lain! Bekerja!” ujar Kartini dalam suratnya kepada Nyonya Abendanon, 8 April 1902.

Pada masanya, jauh sebelum menyimak pembahasan surah al-Fatihah oleh Kiai Sholeh Darat di rumah Bupati Demak, paman Kartini, Kartini pernah ‘mogok’ tak mau berpuasa lagi, tak mau menghafal Quran lagi. Awalnya, ia mematuhi anjuran gurunya untuk berpuasa, untuk menghafal Quran. Kiai Sholeh Darat kemudian menghadiahkan kepada Kartini terjemahan Quran sebagai hadiah pernikahan.

 
Kiai Sholeh Darat kemudian menghadiahkan kepada Kartini terjemahan Quran sebagai hadiah pernikahan.
 
 

Tentang berhenti berpuasa, kata Kartini, “Kami tidak mau berpuasa dan melakukan hal-hal yang lain lagi, yang pernah kami lakukan tanpa berpikir dan yang sekarang dengan berpikir tidak dapat kami lakukan lagi.” Dari gurunya, Kartini diminta berpuasa.

Setelah mendapat pencerahan, ia mengetahui makna berpuasa. Dengan berpuasa berarti menahan lapar dan nafsu yang berarti kemenangan bagi rohani atas jasmani. “Dengan berkekurangan, menderita, dan tafakur akan diperoleh cahaya,” kata Kartini dalam suratnya kepada EC Abendanon tertanggal 15 Agustus 1902.

“Lama benar dan jauh benar kami mencari. Kami tidak tahu bahwa apa yang kami cari begitu dekat dengan kami, selalu di sekeliling kami dan ada pada kami. Yang kami cari ada di dalam diri kami.”

 
Ia berhenti membaca dan menghafal Quran karena ia tak memahami artinya.
 
 

Ia berhenti membaca dan menghafal Quran karena ia tak memahami artinya. “Dan boleh jadi guru-guru saya, laki-laki dan perempuan juga tidak mengerti,” kata Kartini dalam suratnya kepada EC Abendanon tertanggal 15 Agustus 1902.

Kartini berjanji akan belajar lagi jika guru-gurunya menyebutkan arti surah-surah yang ia hafalkan. “Alquran terlalu suci untuk diterjemahkan, dalam bahasa apa pun juga. Di sini orang juga tidak tahu bahasa Arab. Di sini orang diajari Alquran, tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Saya menganggap hal itu pekerjaan gila; mengajari orang membaca tanpa mengajarkan makna yang dibacanya,” ujar Kartini dalam suratnya kepada Zeehandelaar tertanggal 6 November 1899.

Tidak diterjemahkannya Quran di Jawa saat itu memang karena ada pelarangan dari Pemerintah Hindia Belanda.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat