Akademisi Universitas Nahdlatul Ulama (UNUSIA) Jakarta Ahmad Ginanjar Sya'ban meneliti pengaruh Syekh Ibrahim al-Kurani dalam konteks jaringan ulama Indonesia. | DOK IST

Hiwar

Ahmad Ginanjar Sya’ban, Kaji Pengaruh al-Kurani di Nusantara

Ajaran tasawuf al-Kurani itu lebih mengharmonikan atau mendialogkan. Ini menjadi ciri khas tasawuf-tasawuf sunni.

Jaringan ulama Nusantara dan Haramain sudah terbentuk sejak beberapa abad silam. Pada abad ke-17, hiduplah seorang ulama besar, yakni Syekh Ibrahim al-Kurani.

Sosok berdarah Kurdistan itu memiliki pengaruh yang cukup signifikan. Tidak hanya di Madinah yang menjadi kota tempat tinggalnya, tetapi juga  banyak negeri Islam, termasuk Nusantara.

Ahmad Ginanjar Sya’ban mengkaji ketokohan ulama-sufi itu. Menurut dosen Pascasarjana Fakultas Islam Nusantara (FIN) Universitas Nahdlatul Ulama (Unusia) Jakarta itu, pemikiran Syekh al-Kurani sangat berpengaruh. Salah satu legasinya adalah menggabungkan antara tasawuf falsafi dengan ilmu syariat atau ilmu fikih. Hasilnya, pemikiran tasawuf yang moderat.

“Pengaruhnya sangar besar sekali. Terutama apa yang disebut Prof Azyumardi Azra sebagai neosufisme atau sufi yang selaras dan berkesinambungan dengan ajaran syariat itu. Jadi, lebih kepada tasawuf sunni,” ujar pria kelahiran Majalengka, 22 Juli 1984 itu.

Bagaimana riwayat hidup Syekh Ibrahim al-Kurani? Siapa saja murid-muridnya yang berasal dari Indonesia. Lantas, bagaimana pengaruhnya hingga kini? Berikut hasil wawancara wartawan Republika, Muhyiddin, bersama alumnus Fakultas Teologi Universitas al-Azhar Kairo, Mesir ini beberapa waktu lalu.

Apa latar belakang Syekh Ibrahim al-Kurani?

Syekh Ibrahim al-Kurani itu secara etnis adalah orang Kurdistan. Ia berasal dari Syahrazur dan kemudian menjalani pengembaraan keilmuaan. Merantau dari satu negeri ke negeri lain. Berguru kepada ulama-ulama besar. Akhirnya, ia berlabuh di Madinah. Di sanalah dia menetap, mengajar, dan mengarang banyak kitab. Hingga wafatnya di kota itu pada 1690.

Bagaimana rihlah keilmuan yang dilakukannya?

Jadi, Syekh al-Kurani berguru kepada ulama-ulama besar pada zamannya. Di antaranya adalah Syekh Ahmad al-Qusyasyi (1583-1661). Gurunya ini bisa dikatakan sebagai ulama fikih sekaligus sufi yang termasyhur pada pertengahan abad ke-17. Al-Qusyasyi juga menjadi guru beberapa ulama Nusantara, seperti Abdurrauf as-Singkili atau Syekh Yusuf al-Makassari.

Orang-orang pada masa dahulu itu mesti berguru kepada banyak ulama. Sebab, ada semacam standardisasi. Seseorang baru diperbolehkan naik mimbar sebagai pemberi kuliah umum ketika dia sudah mendapatkan lisensi.

Ini yang disebut sebagai ijazah, yakni bentuk pengakuan dari banyak guru atau ulama-ulama pada masanya. Kalau sudah mendapatkan itu, barulah diperbolehkan untuk mengajar.

Maka, parameter seseorang untuk bisa disebut sebagai ulama itu jelas. Ada syarat-syarat tertentu. Bukan hanya memiliki kedalaman ilmu dan keluasan berpikirnya yang memang sudah teruji. Ia pun mesti mendapatkan restu atau lisensi dari mayoritas ulama-ulama senior.

Bagaimana reputasinya selama di Kota Nabi?

Di Madinah ini, Syekh Ibrahim al-Kurani bisa dikatakan sebagai mujaddid pada abad ke-11 Hijriyah atau kira-kira bertepatan abad ke-17 M. Sebab, orang yang paling alim dan yang paling memiliki kapasitas keilmuan pada masa itu, ya Syekh Ibrahim al-Kurani.

Di samping itu, jaringan murid-muridnya juga paling luas. Mereka tersebar di banyak negeri, mulai dari Maroko, Mesir, Suriah, Turki, dan India. Jangan lupa, banyak juga muridnya yang berasal dari Nusantara.

Ulama tersebut mengajarkan tasawuf?

Ajaran tasawuf dari Syekh Ibrahim al-Kurani adalah tasawuf yang moderat. Ini pernah disampaikan Prof Azyumardi Azra. Moderat di sini berarti, ingin menggabungkan antara tasawuf falsafi dengan ilmu syariat atau ilmu fikih.

Jadi, tasawuf yang ingin dibangun al-Kurani lebih kepada tasawuf akhlaki, tasawuf sunni. Yakni, tasawuf yang berselaras dengan syariat dan fikih. Pun sebaliknya. Fikih yang diajarkannya bukanlah yang berjarak dengan tasawuf.

Siapa saja ulama Nusantara yang pernah berguru kepadanya?

Di antara muridnya adalah Syekh Abdurrauf as-Singkili (wafat 1693 M). Ia adalah mufti Aceh dan penulis kitab tafsir Alquran terlengkap pertama di Nusantara. Judulnya, Tarjuman al-Mustafid. Ia pun menulis kitab fikih muamalah mazhab syafii pertama dan terlengkap di Nusantara, yaitu Miratut Tullab.

Ada lagi murid dari Syekh Ibrahim al-Kurani. Namanya, Syekh Yusuf al-Makassari, wafat pada 1699 di Cape Town, Afrika Selatan. Syekh Yusuf sempat singgah di Banten, menjadi mufti setempat, dan diterima Sultan Agung Tirtayasa sebagai menantu. Ikut pula membantuk Sultan Agung dalam melawan VOC. Ketika ditangkap Belanda, dia lalu dibuang ke Sri Lanka, selanjutnya ke Afrika Selatan.

Sosok lainnya yang juga pernah menjadi murid Syekh Ibrahim al-Kurani, meskipun belum banyak terungkap datanya, adalah Syekh Abdus Syakur Banten. Jejaknya ditemukan berupa satu manuskrip yang tersimpan di Perpustakaan Nasional.

Ia menyalin salah satu karya Syekh al-Kurani. Pada naskahnya, ada tanda bahwa Syekh Abdus Syakur telah selesai membaca karya tersebut dari awal sampai akhir di hadapan al-Kurani. Diduga, Syekh Abdus Syakur masih satu generasi dengan Syekh Yusuf al-Makassari.

 

Bagaimana pengaruh ajaran Syekh al-Kurani terhadap mereka?

Pengaruhnya sangat besar. Terutama, apa yang disebut Prof Azyumardi Azra sebagai neosufisme. Ini berarti, sufi yang selaras dan berkesinambungan dengan syariat Islam. Jadi, lebih kepada tasawuf sunni.

Ibrahim al-Kurani juga membawa sedikit moderasi dan toleransi. Misalnya, dalam salah satu karyanya, Al-Maslak al-Jaly, yang khusus ditulis untuk menjelaskan duduk perkara cerita seorang wali dari Nusantara. Wali dari Jawa itu mirip-mirip Siti Jenar karena mengatakan, “Aku ini adalah perwujudan Allah.”

Bagi ulama-ulama yang lebih dominan pada fikih, orang yang mengatakan itu akan langsung divonis kafir. Sebab, ia dianggap menyamakan dirinya dengan Tuhan. Namun, al-Kurani dengan sangat hati-hati menyatakan, tidak boleh langsung memvonis kafir. Orang tersebut harus dibedah dulu.

Sebab, tidak mungkin dia berbicara seperti itu tanpa landasan ilmu. Jadi, jangan mudah menvonis kafir terhadap sesama Muslim yang berbeda pandangan.

Bagaimana pemikirannya tentang konteks Nusantara kala itu?

Mungkin kita bisa petakan di sini melalui karya-karya al-Kurani. Jadi, pertama al-Kurani itu menulis banyak karya terkait permasalahan dan pemikrian keislaman yang berkembang di Nusantara saat itu. Salah satunya adalah Itḥaf al-Zaki bi-sharḥ al-tuhfah al-mursalah ila al-nabi.

Dalam kitab ini, al-Kurani menafsirkan kitab Tuhfatul Mursalah yang dikarang seorang ulama India, Syekh Fadhlullah Burhanpuri. Kitab ini berisi tentang tasawuf yang sangat mendalam sekali atau yang dikenal dengan Martabat Tujuh.

Nah, di nusantara saat itu, kitab Tuhfatul Mursalah yang seharusnya menjadi konsumsi orang-orang yang sudah mencukupi kadar keilmuannya. Namun, itu ternyata menjadi konsumsi orang-orang awam sehingga terjadilah kerancuan. Karena itu, al-Kurani kemudian menuliskan komentar terhadap Tufatul Mursalah dengan harapan, tasawuf tingkat tinggi yang ada dalam teks kitab itu bisa dipahami dengan baik dan benar.

Ia juga menulis Kasyf al-Muntazhir li ma Yarahu al-Muhtadhir. Kitab ini untuk merespons sebuah pertanyaan yang datang dari Nusantara. Pertanyaan tersebut meminta fatwa al-Kurani tentang sebuah tradisi menjemput kematian dan sakaratul maut yang lumrah berlaku di Nusantara kala itu.

Perannya dalam syiar tasawuf di Indonesia?

Di Nusantara, dulu ada dua kutub pemikiran. Pertama, tasawuf fasalafi. Ini seperti ajaran Martabat Tujuh yang bersumber dari Tuhfatul Mursalah karya Syekh Fadhlullah Burhanpuri. Kedua, kutub pemikiran Nuruddin ar-Raniri yang melarang ajaran tasawuf falsafi. Bahkan, buku-buku yang bekaitan dengan tasawuf falsafi dibakar.

Kalau murid-murid langsung dari al-Kurani, semisal Abdurrauf as-Singkili, mereka mengkritik ajaran-ajaran tasawuf falsafi. Namun, itu dilakukan tanpa menjatuhkan vonis kafir, vonis murtad. Tidak sampai pula membakar buku-buku.

Jadi, ajaran tasawuf al-Kurani itu lebih mengharmonikan atau mendialogkan. Ini menjadi ciri khas tasawuf-tasawuf sunni, seperti tasawufnya Imam Ghazali, Syekh Abul Hasan asy-Syadzili, dan Junaid al-Baghdadi. Yang muncul adalah keseimbangan.

Kalau tarekatnya, Syekh Ibrahim al-Kurani mengikuti Syattariyah. Ini tarekat yang memang berlaku tasawuf, suluk untuk menyucikan diri, tetapi masih berpegangan pada teks-teks syariat.

 

Apa saja jejak sumbangsih pemikiran Syekh al-Kurani yang bisa kita jumpai kini?

Saat ini, karya-karya al-Kurani memang belum banyak tersebar luas dan belum akrab di kalangan muslim Nusantara, termasuk pesantren. Hal ini mungkin bisa dimaklumi. Sebab, al-Kurani hidup di abad ke-17. Dan, karya-karyanya yang baru tersunting itu adalah dari kitab Itḥaf al-Zaki bi-sharḥ al-tuhfah al-mursalah ila al-nabi.

Makanya, sekarang yang menjadi tugas kita adalah bagaimana agar karya-karya al-Kurani tersebut bisa segera terkoneksi. Karyanya itu dapat dinikmati pembaca Muslim di Nusantara saat ini, sebagaimana dulu pada abad ke-17, yang juga mengalami koneksi yang kuat dan intens.

photo
Syekh Ibrahim al-Kurani merupakan seorang ulama besar dalam sejarah Islam. Dirinya terutama dikenal luas saat mengajar di Madinah al-Munawwarah. - (DOK FLICKR)

Menghimpun Karya Ulama Nusantara

Para ulama nusantara telah menulis banyak karya berupa kitab sejak ratusan tahun lamanya. Namun, generasi muda Muslim saat ini mungkin banyak yang tidak mengetahui warisan penting para ulama tersebut.

Karena itu, A Ginanjar Sya’ban sebagai filolog muda Nahdlatul Ulama menghimpun kitab karangan para ulama nusantara. Ia menerbitkan sebuah buku yang berjudul Mahakarya Islam Nusantara yang berisi kitab, manuskrip, dan korespodensi ulama Nusantara.

Pria yang akrab disapa Kang Aceng ini tertarik menjadi seorang filolog karena ada ratusan ribu karya intelektual ulama Nusantara yang seharusnya menjadi harta karun bangsa ini. Tetapi, ternyata banyak dilupakan.

“Di Nusantara itu karya intelektualnya yang ditulis oleh ulama nusantara kan banyak. Dari ratusan tahun lamanya itu tapi belum ada yang menghimpun itu,” ujar Ginanjar kepada Republika, baru-baru ini.

Pada awalnya, ia sebenarnya tidak ada niatan untuk membukukan karya-karya ulama tersebut. Hingga akhirnya ia banyak menemukan karya-karya ulama nusantara yang berasal dari ratusan tahun yang lalu, khususnya saat kuliah di Al-Azhar Mesir.

 
Ada harta karun peradaban kita yang oleh generasi sekarang tidak banyak diketahui. Akhirnya saya kumpulkan karya-karya itu.
 
 

“Itu saya lihat ini ada harta karun peradaban kita yang oleh generasi sekarang tidak banyak diketahui. Akhirnya saya kumpulkan karya-karya itu dan saya beri ulasan sedikit-sedikit,” ucap alumni Pesantren HM Putra al-Mahrusiyah Lirboyo Kediri ini.

Setidaknya ada 114 karya ulama nusantara yang dihimpun Ginajar di dalam buku Mahakarya Islam Nusantara. Menurut Ginanjar, masih banyak karya-karya ulama nusantara yang belum ditulis di dalam bukunya tersebut, sehingga ia berniat untuk menerbitkan buku jilid II.

“Itu baru jilid pertama, karena masih ada ratusan karya yang lain yang nanti harus dituliskan,” katanya.

Dengan adanya buku tersebut, dia berharap generasi sekarang tidak menjadi generasi yang durhaka, yang menyia-nyiakan dan melupakan warisan para ulama terdahulu. Apalagi, menurut dia, masalah-masalah keagamaan yang sebenarnya sudah selesai dibahas oleh para ulama terdahulu masih terus diperdebatkan di kalangan umat Islam, seperti tentang tradisi maulid nabi, ziarah kubur, dan memukul beduk.

“Nah, kenapa kita selalu jatuh pada lubang masalah yang berulang-ulang padahal itu sudah diselesaikan oleh leluhur kita? Karena kita tidak terkoneksi alam pikir kita, tradisi keilmuan kita, tidak terkoneksi dengan para pendahulu kita,” jelasnya.

“Ini yang disebut dengan keterputusan intelektual dan ketercerabutan akar sejarah pemikrian itu. Bahayanya, kita menjadi generasi yang galau, mudah diombang-ambing, dan mudah tumbang ketika terkena angin,” imbuhnya.

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat