Empat pendapat bagi wanita hamil dan ibu menyusui bila tak menjalankan puasa Ramadhan. | Yogi Ardhi/Republika

Fikih Muslimah

Apa Hukum Wanita Hamil dan Menyusui tak Puasa Ramadhan?

Empat pendapat bagi wanita hamil dan ibu menyusui bila tak menjalankan puasa Ramadhan.

 

OLEH IMAS DAMAYANTI

Para ulama setidaknya memberikan empat pendapat mengenai apa ganjaran sanksi bagi wanita hamil dan ibu menyusui apabila tak menjalankan puasa Ramadhan. Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid menjelaskan, para ulama membagi empat kategori sanksi yang dikenakan kepada dua jenis perempuan yang membatalkan puasanya di bulan Ramadhan.

Menurut ulama kalangan pertama, sebagaimana dijelaskan Ibnu Rusyd, mereka diwajibkan membayar kafarat saja dan tidak diwajibkan untuk membayar qadha puasa. Pendapat itu dikutip dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas dalam al-Majmu.

Adapun ulama kalangan kedua berpendapat mereka wajib mengqadha puasa tetapi tidak diwajibkan membayar kafarat. Pendapat itu berkebalikan dengan pendapat yang pertama tadi. Imam Abu Hanifah berikut murid-murid beliau, yakni Abu Ubaid dan Abu Tsaur menganut pendapat yang seperti ini.

Kalangan ulama yang ketiga berpendapat, diwajibkan kepada mereka untuk mengqadha puasa dan diwajibkan pula membayar kafarat. Hal itu merupakan pendapat dari Imam Syafi’i. Imam Nawawi menambahkan, apabila mereka mengkhawatirkan dirinya bukan yang lain atau mengkhawatirkan dirinya dan anaknya, mereka diperbolehkan berbuka puasa dan harus mengqadha tanpa membayar fidyah.

Namun demikian, masih menurut Imam Nawawi, jika mereka mengkhawatirkan anaknya, mereka diperbolehkan berbuka dan harus mengqadha. Yang benar, mereka juga diwajibkan untuk membayar fidyah.

Sedangkan, ulama di kalangan keempat berpendapat, wanita hamil diwajibkan mengqadha puasanya. Adapun wanita menyusui diwajibkan mengqadha puasa sekaligus membayar kafarat atau fidyah. Pendapat itu dikemukakan oleh pendapat populer dari Imam Malik.

Kata Ibnu Juzai, menurut Ibnu Wahab yang sejalan dengan pendapat Imam Syafi’i, wanita hamil diwajibkan membayar fidyah. Sedangkan, kata Asyhhab, hanya dianjurkan saja. Menurut Ibnu al-Majisyun, jika ia mengkhawatirkan dirinya maka yang bersangkutan tidak diwajibkan membayar fidyah karena ia dikategorikan sakit.

Namun, jika ia mengkhawatirkan anaknya, ia diwajibkan membayar fidyah.

 
Hak-hak keringanan dalam beribadah bagi kedua kategori itu tentunya saling berbeda di dalam fikih.
 
 

Silang pendapat

Perbedaan pendapat di antara ulama ini disebabkan adanya argumentasi apakah wanita hamil dan wanita menyusui disamakan dengan orang yang berkeberatan dengan puasa ataukah mereka sama dengan orang sakit. Hak-hak keringanan dalam beribadah bagi kedua kategori itu tentunya saling berbeda di dalam fikih.

Bagi ulama-ulama yang menyamakan wanita hamil dan menyusui dengan orang sakit, dua golongan itu dinilai hanya wajib mengqadha puasa saja. Sedangkan, bagi ulama-ulama yang menyamakan wanita hamil dan menyusui dengan orang yang berkeberatan dengan puasa, dua golongan itu dinilai hanya perlu membayar fidyah saja, bukan mengqadha.

Hal itu sebagaimana firman Allah SWT dalam QS al-Baqarah penggalan ayat 184: “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan orang miskin. Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan maka itulah yang lebih baik bagi dirinya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”

Dan bagi para ulama yang menyamakan wanita hamil dan menyusui dengan orang sakit dan juga orang yang berkeberatan puasa, kedua golongan itu dinilai wajib mengqadha puasa. Sebab, mereka identik dengan orang sakit dan juga wajib membayar fidyah karena mereka identik dengan orang yang berkeberatan berpuasa.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat