Menteri Riset dan Teknologi Bambang Brodjonegoro (tengah) berbincang dengan Direktur Utama Bio Farma Honesti Basyir (kanan) terkait pengembangan Vaksin Merah Putih. | ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA

Tajuk

Mewujudkan Mandiri Vaksin

Jalan keluar yang paling baik memang Indonesia harus memproduksi vaksin sendiri.

Tidak ada pasokan vaksin yang aman. Ya, negara-negara di dunia masih diliputi ketidakpastian soal pasokan vaksin ini. Bahkan, negara maju pun, yang kita pandang memiliki akses paling besar terhadap stok vaksin. Bagaimana dengan negara berkembang macam Indonesia? Apalagi, negara miskin di Afrika sana.

Peristiwa pertemuan perwakilan Uni Eropa (UE) dua pekan lalu, dan naiknya kasus Covid-19 di India dalam beberapa pekan terakhir, membuktikan hal itu. Perwakilan UE dua pekan lalu, mengusulkan untuk menunda pengiriman vaksin Astrazeneca ke negara-negara yang sudah memesan. Menyusul lonjakan kasus di Prancis, Inggris, dan Italia. Usulan ini sontak membuat berbagai pihak sewot termasuk Badan Kesehatan Dunia (WHO). Namun, untung keputusan tersebut tak jadi diambil. 

Akhir pekan lalu, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin memberikan kabar serupa. Bahwa India, sebagai negara produsen vaksin Astrazeneca, menunda pengiriman vaksin yang seharusnya menjadi bagian negara-negara di dalam konsorsium vaksin internasional Gavi-Covax. Indonesia masuk di dalamnya. Yang artinya, jadwal pengiriman vaksin ke negara kita menjadi terganggu, paling tidak dalam sebulan ke depan.

 
Indonesia masuk di dalamnya. Yang artinya, jadwal pengiriman vaksin ke negara kita menjadi terganggu, paling tidak dalam sebulan ke depan.
 
 

Pemerintahan Presiden Joko Widodo membeli pasokan vaksin dari berbagai sumber produsen. Yang utamanya adalah impor dari Sinovac, Cina. Sejauh ini, impor vaksin Sinovac masih sesuai perjanjian. Sudah puluhan juta masuk ke Indonesia, dalam bentuk vaksin siap suntik ataupun dalam bentuk bulk yang harus diproduksi oleh Bio Farma di Bandung. Puluhan juta lainnya dijanjikan masuk semester II 2021.

Beberapa sumber vaksin lainnya seperti Sinopharm dari Cina, lalu Biontech- Pfizer dari Eropa, Astrazeneca dari Eropa, India, dan Thailand, serta Novavax. Pemerintah masih menjajaki juga membeli vaksin sputnik dari Rusia. Soal Astrazeneca ini diperoleh melalui pembelian langsung ataupun lewat jatah konsorsium global Gavi-Covax. Pemerintah masih memiliki orderan vaksin sebesar 50 juta vaksin ke pabrik Astrazeneca di Thailand pada pertengahan tahun.

Apa yang bisa diperbuat pemerintah dalam situasi ini? Pilihan kebijakannya, harus kita akui, tak banyak. Karena ini melibatkan negara lain yang memproduksi ataupun yang membutuhkan walaupun sudah mengikat perjanjian. Menkes Budi Gunadi dalam jumpa pers (jumpers) pada Sabtu malam, misalnya, menyatakan pemerintah segera mengontak WHO terkait situasi ini, dan meminta WHO melobi, selain juga dari pemerintah melobi negara bersangkutan. 

Namun, kita tahu sebetulnya 'tidak ada jaminan' dalam situasi pagebluk global ini. Semua negara akan berusaha mengamankan kepentingannya masing-masing. Apalagi, bila muncul situasi darurat di dalam negeri. Kasus Uni Eropa menarik dijadikan contoh, karena kawasan tersebut melakukan vaksinasi masif, peralatannya amat canggih, jaringan logistiknya sudah terhubung seluruhnya. Namun, UE masih juga mengalami lonjakan kasus secara sporadis. Artinya? Usulan embargo vaksin dari UE menjadi amat mungkin akan terjadi dalam beberapa waktu ke depan. 

 
Bayangkan kita masih diombang-ambingkan ketidakpastian pasokan vaksin sampai tahun depan. 
 
 

Menkes dalam jumpers itu juga berkisah soal memang tidak mudah bernegosiasi soal vaksin ini. Ia mengatakan, vaksin Biontech Pfizer  masih terus dikejar kepastiannya. Sudah ada kesepakatan harga dan jadwal kirim. "Tapi  tanda tangan masih tek tok tek tok," kata Menkes Budi. 

Di satu sisi, ini juga menjadi gambaran bagaimana nasib negara-negara yang bergantung pada vaksin impor. Indonesia sejatinya masih 'agak' diuntungkan karena pemerintah sejak awal melakukan safari vaksin ke banyak negara, terutama Cina.

WHO kemarin menyebutkan, masih ada 15 negara yang belum mendapat vaksin apa pun! WHO sampai meminta agar negara-negara memberikan sebagian kecil dari porsi vaksinnya untuk negara-negara tersebut. 

Jalan keluar yang paling baik memang Indonesia harus memproduksi vaksin sendiri. Mandiri dan berdikari dengan vaksin lokal. Ini bisa dicapai dengan dukungan pemerintah, BUMN, dan rakyat. Tidak mudah, memang. Tetapi, wajib kita lakukan. Sejauh ini vaksin Merah Putih yang paling cepat produksi adalah rilisan Lembaga Eijkman, itu pun 2022. Bayangkan kita masih diombang-ambingkan ketidakpastian pasokan vaksin sampai tahun depan. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat