Priyantono Oemar | Daan Yahya | Republika

Kisah Dalam Negeri

Perjanjian Linggarjati Menyetarakan Bahasa Indonesia-Belanda

Sekitar 25 ribu warga Batavia tumpah ruah merayakan penandatanganan Perjanjian Linggarjati pada 25 Maret 1947.

Sumber: Judul: "LINGGADJATI" GETEKEND-PGM4011927.webm Pembuat: Polygoon Hollands Nieuws (producent) / Nederlands Instituut voor Beeld en Geluid (beheerder) Tanggal: 7 April 1947  

OLEH PRIYANTONO OEMAR

 

De Volkskrant menyebut, sekitar 25 ribu warga tumpah ruah di berbagai tempat di Batavia merayakan penandatanganan Perjanjian Linggarjati pada 25 Maret 1947. Kembang api dinyalakan di pelataran Istana Rijswijk, Batavia (sekarang Istana Negara di Jalan Veteran, Jakarta), setelah penandatanganan usai.

Ini merupakan pesta kembang api pertama Belanda di Batavia sejak perang. Suara keras kembang api, menurut tradisi Cina, dipercaya bisa mengusir roh-roh jahat. Di masa pemerintahan Hindia Belanda, Istana Rijswijk merupakan kantor pemerintahan Gubernur Jenderal. Komisi Umum yang dibentuk untuk tujuan perundingan Indonesia-Belanda juga berkantor di sini bersama Letnan Gubernur Jenderal.

Acara penandatanganan mengambil tempat di aula yang biasa dipakai Gubernur Jenderal melakukan audiensi publik di Hari Ratu. Di atas podium masih terpajang lukisan Ratu seukuran asli. “Mata Yang Mulia melihat ke bawah, ke meja panjang yang ditempatkan di depan podium,” tulis De Volksrant.

Di meja panjang ini duduk di kursi paling tengah, Willem Schermerhorn, ketua Komisi Umum. Di sebelah kanannya ada Sjahrir, lalu van Mook dan Soesanto. Di sebelah kirinya ada Moh Roem, lalu van Poll dan AK Gani. Di ujung meja, dekat Gani, ada Ali Boedihardjo. Di ujung yang lain, dekat Soesanto, ada Sanders. Boedihardjo dan Sanders sebagai saksi/pencatat.

photo
Peserta perundingan Linggarjati saat sedang makan. Dari kiri ke kanan: Sukarno, Wim Schermerhorn, Lord Killearn, dan Mohammad Hatta. - (DOK Wikipedia)

Wali Kota Batavia A Th Boogaardt dan Wali Kota Jakarta Soewirjo bersama-sama melemparkan uang koin di kerumunan massa di Koningsplein (sekarang Lapangan Monas). Koin yang disebar itu merupakan koin 2,5 sen, seberat 1.000 kilogram dengan nilai 1.500 gulden yang dicairkan dari Javasche Bank. Jumlahnya disebut media Belanda cukup besar di saat kekurangan uang pada masa itu.

De Volkskrant menyebut, tradisi tolak bala yang beberapa wilayah di Jawa Barat disebut surak dan di Jawa tengah/Timur disebut udik-udikan itu sebagai “lelucon khas timur”. Kurang ajarnya media Belanda, Arnhemsche Courant, aksi ini disamakan dengan aksi Sinterklas bersama Zwarte Piet (Piet Hitam)–dua sosok yang diciptakan di Belanda. Terbayang yang dimaksud Sinterklas dan Piet Hitam di antara dua wali kota itu.

Mengapa “Jakarta” memiliki dua wali kota? Oleh Pemerintah Republik Indonesia (RI), nama Batavia baru diubah menjadi Jakarta pada 1950. Namun begitu, sejak Agustus 1945, penyebutan wali kota Batavia versi RI ya wali kota Jakarta.

Namun, rupanya Belanda masih mencokolkan kekuasaannya di Batavia, sehingga masih memiliki wali kota Batavia. Batavia kemudian menjadi wilayah distrik federal Hindia Belanda. Ketika pemerintahan RI pindah ke Yogyakarta, wali kota Jakarta versi RI tetap berada di Batavia.

Wilayah-wilayah status quo setelah Jepang kalah tetap menjadi wilayah Hindia Belanda karena tiadanya pemerintahan RI di wilayah itu. Bali bersama NTB dan NTT, kemudian Sulawesi dan Maluku, tergabung dalam negara Indonesia Timur pada 24 Desember 1946.

Kalimantan terbagi menjadi negara Dayak Besar, Kalimantan Timur, Kalimantan Tenggara, Kalimantan Barat, bergiliran terbentuk sejak 7 Desember 1946 hingga 12 Mei 1947. Di Sumatra ada Sumatra Timur, Riau, Bangka, Belitung, dan Sumatra Selatan yang masih menjadi bagian Hindia Belanda.

Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Van Mook, yang lahir di Hindia Belanda, menjadi sosok yang menurut C Smit di buku De Kolonisatie van Indonesie menginginkan Hindia Belanda dalam bentuk negara federasi. Pemulihan pemerintahan di Indonesia Timur lebih cepat setelah merampas senjata Jepang.

Bendera Belanda dan bendera Indonesia dikibarkan di banyak tempat pada hari penandatanganan Perjanjian Linggarjati. Upacara penandatanganan selama 45 menit yang berakhir menjelang malam itu dilanjutkan dengan jamuan makan malam untuk merayakannya.

 
Bendera Belanda dan bendera Indonesia dikibarkan di banyak tempat pada hari penandatanganan Perjanjian Linggarjati.
 
 

 

Sebagai tuan rumah adalah Van Mook bersama istri. Utusan Indonesia, seperti disebut oleh De Volkskrant, yang sebelumnya menyatakan tak akan ikut jamuan dengan alasan tak layak dirayakan, akhirnya bergabung di jamuan ini.

Indonesia, secara khusus memang tidak merayakan penandatanganan perjanjian yang disebut media Belanda sebagai upaya pencapaian tertinggi kemerdekaan Indonesia itu. Tiadanya perayaan lantaran selama perjanjian yang merupakan masa gencatan senjata, Belanda melakukan penyerbuan ke Mojokerto.

Rancangan naskah perjanjian yang telah disetujui, diparaf masing-masing delegasi pada 15 Maret 1947. Namun, karena ada insiden Mojokerto, Sjahrir kemudian mengajukan syarat bersedia menandatangani naskah perjanjian setelah Belanda menyelesaikan insiden Mojokerto.

Pada hari penandatanganan 25 Maret 1947 kemeriahan memang terjadi di Batavia. Lebih dari 20 ribu paket makanan dibagikan di berbagai tempat yang dipadati warga.

Ada selamatan di berbagai titik di Batavia. Dewan Kota Batavia dan Badan Perwakilan Rakyat Daerah (BPRD) Kota Jakarta membantu penyediaan uang koin dan makanan itu.

Pada siang hari di Balai Kota Jakarta sebelum berangkat ke Istana Rijswijk, Perdana Menteri Sjahrir berpidato selama 30 menit di tengah-tengah massa. Koran Belanda Arnhemsche Courant menggambarkannya sebagai orang hitam di tengah-tengah kumpulan orang-orang hitam.

Orang-orang yang berkumpul banyak yang pingsan. Mereka yang memilih bertengger di atas pohon sedikit lega karena tak perlu berdesak-desakan dalam lautan massa. Meski mikrofon tak berfungsi sempurna, Sjahrir terus berbicara tentang upaya pencapaian kemerdekaan penuh.

Perundingan sebelumnya di Hoge Veluwe pada April 1946 buntu karena Belanda tak mau mengakui kemerdekaan Republik Indonesia untuk wilayah Jawa Madura dan Sumatra. Pengakuan itu kemudian ditulis pada poin pertama di dalam delapan salinan naskah Perjanjian Linggarjati. Perundingan dilakukan pada November 1946.

 
Dua pena emas dari Van Mook untuk kedua ketua delegasi digunakan untuk menandatangani empat naskah perjanjian berbahasa Indonesia dan empat naskah perjanjian berbahasa Belanda itu.
 
 

 

Dua pena emas dari Van Mook untuk kedua ketua delegasi digunakan untuk menandatangani empat naskah perjanjian berbahasa Indonesia dan empat naskah perjanjian berbahasa Belanda itu. Indonesia dan Belanda masing-masing mendapat empat salinan. Dua salinan dalam bahasa Indonesia, dua salinan lagi dalam bahasa Belanda.

Inilah kali pertama secara resmi dalam dokumen resmi, bahasa Indonesia terakui setara dengan bahasa Belanda. Bahasa Melayu-pasar sebagai dasar bahasa Indonesia pernah dianggap oleh Belanda sebagai bahasa rendah.

Het Dagblad membuat judul berita “De Geest van Linggadjati” (Roh Linggarjati) untuk menuliskan hasil Kongres Pendidikan di Solo pada 4-7 April 1947. Kongres ini memutuskan dihapusnya mata pelajaran bahasa Belanda di sekolah.

Lalu, kongres memutuskan penggunaan bahasa Indonesia dan mengizinkan mata pelajaran bahasa Inggris di sekolah menengah. “Menolak bahasa Belanda sebagai mata pelajaran selama bahasa ini menimbulkan bahaya psikologis,” tulis Het Dagblad.

Suara kembang api yang dinyalakan Belanda ternyata tak mampu mengusir roh “jahat”. Hingga akhirnya, pada 1950, negara-negara bagian yang dibentuk pemerintahan Hindia Belanda pun menyatu dengan Republik Indonesia yang semula juga hanya sebagai negara bagian di Republik Indonesia Serikat (RIS).

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat