Sejumlah anak bermain permainan ular tangga di Jalan Asep Berlian, Gang Wargaluyu, Cibeunying Kidul, Bandung Jawa Barat, Rabu (3/3/2021). Pengurus RW dan warga setempat berinisiatif untuk membuat instalasi itu guna mengantisipasi fenomena kecanduan gawai | ANTARA FOTO/RAISAN AL FARISI

Opini

Ancaman Nomofobia

Mereka yang mengalami nomofobia lebih membutuhkan interaksi secara virtual dengan orang lain di dunia maya.

RAHMA SUGIHARTI, Dosen Isu-Isu Masyarakat Digital, Program S3 Ilmu Sosial FISIP Unair

Kecanduan gawai selama pandemi Covid-19 kian mengkhawatirkan. Harian Republika, 22 Maret 2021 melaporkan, sejumlah rumah sakit jiwa dan rumah sakit umum belakangan ini banyak menerima dan merawat anak-anak dan remaja yang kecanduan gawai.

Alih-alih mengerjakan tugas sekolah dan mengakses internet untuk mencari informasi akademik, tak sedikit anak dan remaja menghabiskan waktu bermain gawai. Tak sekadar untuk berkomunikasi, juga bermedia sosial, bermain, dan aktivitas lain.

Akibat pembelajaran jarak jauh (PJJ), untuk membunuh kejenuhan selama tinggal di rumah, anak-anak dan remaja akhirnya tenggelam bermain dan bahkan kecanduan gawai.

 
Sepanjang gawai dimanfaatkan untuk hal positif, sebetulnya tak masalah seberapa pun lama anak-anak dan remaja terlibat di dalamnya.
 
 

Nomofobia

Di era masyarakat digital, gawai dengan kemampuan komputasi, konektivitas internet nirkabel, dan fungsi digital yang canggih memang makin mudah diadopsi dan digunakan anak-anak (Mascheroni & Olafsson, 2016; Tsai, Shen, & Fan, 2015) .

Di kalangan anak-anak, gawai sebagai perangkat teknologi yang bersifat mobile merupakan teknologi yang meningkat penggunaannya karena di mana dan kapan saja mereka bisa memanfaatkannya.

Dengan gawai, anak-anak dan remaja bisa melakukan berbagai aktivitas seperti pencarian informasi, gambar, foto, mengakses video, musik, bermain gim bahkan mengembangkan interaktivitas lewat media sosial dan membuka berbagai situs penyedia informasi (Bond, 2010; Garvis & Lemon,2016) .

Secara garis besar, gawai memiliki karakteristik exploitative use dan explorative use (Koo, Chung, & Kim, 2015) . Karena itu, tak heran jika seorang anak bisa menghabiskan waktu berjam-jam dalam sehari dengan gawai, melakukan berbagai aktivitas di dunia maya.

Sepanjang gawai dimanfaatkan untuk hal positif, sebetulnya tak masalah seberapa pun lama anak-anak dan remaja terlibat di dalamnya. Namun, lain soal ketika gawai dimanfaatkan untuk hal negatif.

 
Salah satu dampak memprihatinkan dari penggunaan gawai adalah kecanduan dan ketergantungan di kalangan anak-anak sehingga menyebabkan nomophobia.
 
 

Penggunaan gawai berlebih, menimbulkan dampak kontraproduktif bagi kesehatan mental, fisik, psikologi, kognitif, budaya, pendidikan, hubungan sosial, termasuk kemungkinan pengguna menghadapi ancaman cyberbullying dan cybersex (Isik & Ayaz Alkaya, 2017; Koo et al, 2015; Misra, Cheng, Genevie, & Yuan, 2016) .

Salah satu dampak memprihatinkan dari penggunaan gawai adalah kecanduan dan ketergantungan di kalangan anak-anak sehingga menyebabkan nomophobia atau nomofobia (no mobile phone phobia) (Cho & Lee, 2017; Eum & Yim, 2017; Jeong, Kim, Yum & Hwang, 2016; Kaminski, 2015; King et al., 2013; Nagpal & Kaur, 2016)

Nomofobia adalah suatu sindrom ketakutan jika berada jauh dari  mobile phones dan kecemasan jika tidak memegang mobile phones (Argumosa-Villar, Boada-Grau, & Vigil-Colet, 2017) .

Ketika seseorang mengalami nomofobia, yang terjadi adalah satu ketergantungan luar biasa dalam setiap waktu, sehingga terdapat perasaan tidak nyaman jika tidak membuka, memantau, bahkan melihat sesuatu yang ada dalam gawai.

 
Selama anak-anak dan remaja menjalani PJJ, peran orang tua menjadi sangat strategis. 
 
 

Anak yang kecanduan gawai, dalam hitungan menit selalu terdorong melihat apa yang ada dalam gawainya. Keadaan ketergantungan berlebihan ini, berpotensi terhadap ketidakmampuannya bersosialisasi dan berinteraksi dengan lingkungan sosial nyatanya.

Mereka yang mengalami nomofobia lebih membutuhkan interaksi secara virtual dengan orang lain di dunia maya melalui mobile phones daripada mengembangkan hubungan sosial di lingkungan riilnya. (Machidon, 2015; Panova & Carbonell, 2018) .

Bahkan, yang terjadi adalah berkembang suatu keadaan di mana sesorang sudah tidak bisa membedakan hubungan sosial yang nyata dan yang virtual (Baeva, 2016; Olivencia-Carrión, Ferri-García, Rueda, Jiménez-Torres, & López-Torrecillas, 2018) .

Anak yang kecanduan gawai, tak jarang hidup seperti dalam dunia simulakra, sebuah dunia rekaan yang tidak ada akarnya dalam kenyataan, tetapi justru dipercaya sebagai sebuah kebenaran.

Scaffolder

Selama anak-anak dan remaja menjalani PJJ, peran orang tua menjadi sangat strategis. Orang tua tidak hanya sebagai teladan bagi anak tetapi juga pendamping proaktif untuk ikut memantau perkembangan pemakaian gawai anak-anaknya.

 
Kedekatan dan komunikasi antara orang tua dan anak, sangat dibutuhkan agar bisa menjadi figur yang bisa melakukan sosialisasi terhadap anak tentang pemanfaatan gawai.
 
 

Kedekatan dan komunikasi antara orang tua dan anak, sangat dibutuhkan agar bisa menjadi figur yang bisa melakukan sosialisasi terhadap anak tentang pemanfaatan gawai.

Adanya kedekatan ini berpeluang bagi orang tua mengembangkan fungsi mediasi agar anak memiliki pilihan alternatif kegiatan yang tidak menyebabkan tenggelam sepenuhnya dalam keasyikan menggunakan gawai (Hefner, Knop, Schmitt, & Vorderer, 2018) .

Keterikatan orang tua dan anak dalam menyeimbangkan kepentingan akses dan proteksi akan menghasilkan peran orang tua yang tidak sekadar sebagai “gatekeepers” melainkan “scaffolders” (Dias et al., 2016; Neumann, 2017) .

Lebih dari sekadar menerapkan rambu-rambu instruktif dan melarang anak bersentuhan dengan gawai. Hal lebih penting, orang tua memberikan kesempatan pada anak tetapi tetap melakukan proteksi terhadap dampak atau ancaman gawai. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat