Memanjatkan doa. Perintah shalat dalam peristiwa Isra Miraj jangan hanya dimaknai sebagai rutinitas tanpa ruh. | Thoudy Badai/Republika

Laporan Utama

Hikmah Isra Mi'raj yang Bukan Sekadar Perintah Shalat

Perintah shalat jangan hanya dimaknai sebagai rutinitas tanpa ruh.

OLEH IMAS DAMAYANTI

 

Hikmah terbesar peristiwa Isra Mi’raj adalah turunnya perintah shalat lima waktu. Sebuah kewajiban yang langsung disampaikan Allah SWT kepada kekasih-Nya, Rasulullah SAW.

Momentum Isra Mi’raj sebagai waktu turunnya perintah shalat pun menjadi bukti betapa penting amalan ibadah itu bagi umat Islam. Namun demikian, sejarah mengenai shalat bukan berarti baru berawal saat peristiwa besar itu terjadi.

Pakar Ilmu Alquran Prof KH Ahsin Sakho menjelaskan, sejarah shalat sudah terdeteksi ada bahkan sejak zaman Nabi Adam AS. Di dalam teks-teks Alquran, kata dia, terdapat beberapa ayat yang menunjukkan perintah shalat pada masa nabi-nabi terdahulu, seperti Nabi Adam, Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, Nabi Zakariya, Nabi Musa, Nabi Isa, hingga Nabi Muhammad SAW.

“Shalat yang dimaksud pada masa terdahulu itu berbeda dengan shalat yang ada di zaman Rasulullah SAW. Tapi, esensinya sama, yakni berdoa,” kata dia saat dihubungi Republika, Selasa (9/3).

 
Shalat yang dimaksud pada masa terdahulu itu berbeda dengan shalat yang ada di zaman Rasulullah SAW. Tapi, esensinya sama, yakni berdoa.
 
 

Salah satu contoh ayat Alquran yang mengabadikan kisah bahwa shalat telah ada sebelum masa Nabi Muhammad SAW adalah surah Thaha ayat 132. Allah berfirman: “Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.”

Hal kedua, kata Kiai Ahsin, adalah tentang shalat ketika Nabi Muhammad SAW di-isra-mi’rajkan. Perbedaan besar shalat pada masa nabi-nabi terdahulu dengan perintah shalat kepada Nabi Muhammad adalah diserahkan secara langsung dari Allah SWT tanpa perantara, yakni perintah shalat kepada Rasulullah SAW begitu spesial karena disampaikan oleh Allah SWT secara langsung.

photo
Sejumlah relawan melaksanakan shalat di mobil mushala di area posko evakuasi pesawat Sriwijaya SJ 182 di Dermaga JICT, Jakarta, Rabu (13/1/2021). Perintah shalat jangan hanya dimaknai sebagai rutinitas tanpa ruh. Republika/Thoudy Badai - (Republika/Thoudy Badai)

“Allah SWT mengundang langsung Nabi Muhammad untuk menghadap dan bertemu di Sidratul Muntaha. Ini merupakan pembicaraan yang sangat spiritual, melebihi daripada pembicaraan apa pun,” ungkap dia.

Dia menjelaskan, umat Islam perlu mengingat, saking spesialnya ibadah shalat itu maka kelak amalan ibadah pertama kali yang ditanyakan Allah adalah tentang shalat. Manusia akan dimintai pertanggungjawabannya tentang ibadah shalat pertama kali.

Menurut dia, ibadah shalat pun secara spiritual juga menjadi pembatas seseorang dengan kekafiran. Artinya, apabila amalan ibadah shalatnya baik, dia akan senantiasa terlindung dari jurang kekafiran dan kesesatan yang dapat menjerumuskannya.

 
Allah SWT mengundang langsung Nabi Muhammad untuk menghadap dan bertemu di Sidratul Muntaha. Ini merupakan pembicaraan yang sangat spiritual, melebihi daripada pembicaraan apa pun
PROF AHSIN SAKHO, Pakar Tafsir Alquran
 

KH Ahsin mengingatkan, perintah shalat jangan hanya dimaknai sebagai rutinitas yang tanpa ruh. Dari 17 rakaat dalam shalat lima waktu, setidaknya umat Islam akan menyebutkan takbir sebanyak 94 kali dalam sehari.

Dia menjelaskan, yang perlu diingat adalah mengucapkan takbir dan menyebut asma Allah bukanlah kegiatan yang dimaknai sama dengan mengucapkan kalimat lain. Dia mengatakan, ketika seorang hamba tengah mendirikan shalat, ia perlu mengingat bahwa ia tengah berdialog dengan makhluk langit.

“Bayangkan, kalau seandainya orang itu membayangkan kebesaran Allah SWT, ia akan sadar bahwa betapa dahsyatnya perkara shalat ini. Kita makhluk bumi, kita disaksikan oleh langit, kita tahu betapa kecilnya kita dan betapa besarnya Allah SWT. Maka saat mengucapkan takbir, hati pasti bergetar hebat,” kata KH Ahsin.

photo
Umat Islam menggunakan masker saat melaksanakan shalat Jumat di Masjid Nurul Islam, Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Jumat (29/5/2020). Perintah shalat jangan hanya dimaknai sebagai rutinitas tanpa ruh. - (Makna Zaezar/ANTARA FOTO)

Kesalehan sosial

Masyarakat Muslim Indonesia dikenal dengan religiositasnya. Berdasarkan hasil riset yang dilakukan Kementerian Agama (Kemenag) pada 2010 disebutkan, indeks kesalehan individual (IKI) masyarakat Muslim Indonesia sudah cukup baik.

Kepatuhan menjalankan kewajiban shalat dengan skor 92, shalat berjamaah dengan skor 63, puasa di skor 97, menunaikan zakat berada di skor 77, mendengarkan ceramah agama sebesar 85, mencari informasi keagamaan dengan nilai 68.

“Dari riset di tahun itu, kami memang melihat bahwa kesalehan individual masyarakat Muslim Indonesia memang cukup baik. Maka, kami sejak 2014 hingga kini kami melakukan riset tentang indeks kesalehan sosial,” kata peneliti di Kementerian Agama (Kemenag), Abdul Jamil Wahab, saat dihubungi Republika, Selasa (9/3).

Adapun dalam riset Kemenag mengenai indeks kesalehan sosial (IKS) pada 2020 lalu, terdapat lima dimensi yang dapat mencerminkan tingkat kesalehan Muslim Indonesia. Antara lain kepedulian sosial (75,35), relasi antarmanusia (87,6), etika dan budi pekerti sebesar (88,1), melestarikan lingkungan (76,6) dan kepatuhan pada peraturan pemerintah (85,01).Indeks akumulatif IKS pada 2020 berada di angka 81,9. Jumlah itu dinilai sebagai indeks yang belum berbanding lurus dengan acuan kesalehan individual.

Dia menjelaskan, rendahnya kepatuhan terhadap peraturan pemerintah yang tampak terlihat, seperti korupsi, memang menjadi cerminan degradasi akhlak yang belum sejalan dengan kesalehan individual yang tinggi.

 
Misalnya saja banyak orang yang berangkat umrah dan haji berkali-kali, tapi mereka masih melakukan korupsi.
 
 

“Misalnya saja banyak orang yang berangkat umrah dan haji berkali-kali, tapi mereka masih melakukan korupsi,” kata dia.

Di sisi lain, pihaknya menjelaskan, sumbangsih kesalehan sosial seseorang banyak dikontribusikan dengan kebiasaan. Kesalehan sosial tumbuh atas dorongan fundamental lingkungan, baik dari lingkup keluarga, masyarakat sekitar, maupun pendidikan agama. Pengetahuan agama yang komprehensif dinilai tidak berkolerasi signifikan terhadap kesalehan sosial.

Justru, kata Jamil, peran keluarga dan lingkungan sangat krusial dalam menanamkan nilai-nilai kesalehan sosial itu, di samping nilai-nilai kesalehan individual. Adapun terkait dengan intervensi dan peran negara dalam mendorong kesalehan sosial, Jamil menyebutkan, pembinaan keagamaan dilakukan oleh sejumlah penyuluh-penyuluh agama Kemenag.

photo
Sejumlah aparat keamanan melaksanakan shalat berjamaah usai peresmian renovasi Masjid Istiqlal, Jakarta, Kamis (7/1/2021).  - (M RISYAL HIDAYAT/ANTARA FOTO)

Cendekiawan Muslim Adian Husaini menilai kesalehan individual seseorang memang penting, tetapi kesalehan sosial bukan hal yang bisa diabaikan begitu saja. Prinsip dalam ajaran Islam, kata dia, adalah menekankan pengetahuan iman, Islam, dan ihsan.

“Ihsan (kebaikan) itu adalah buah dari akidah yang kuat. Artinya, iman-Islamnya kuat, fondasinya bagus, maka output-nya adalah kebaikan itu tadi. Akhlaknya baik, tidak korupsi dan lain sebagainya,” kata dia.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat