Pengunjuk rasa berkumpul memprotes kudeta militer di Yangon, pekan lalu. | EPA-EFE/LYNN BO BO

Kabar Utama

Ramai-Ramai Tinggalkan Myanmar

Puluhan ribu orang keluar memenuhi jalan-jalan di Myanmar pada Ahad (7/3).

BANGKOK -- Thailand dan Vietnam dilaporkan telah melakukan persiapan untuk membawa pulang warga negaranya dari Myanmar. Hal ini terjadi menyusul meningkatnya kekerasan aparat kepolisian kepada pengunjuk rasa damai penentang kudeta yang kian berani.

"Pemerintah Thailand telah mengatur dua penerbangan charter pada 12 dan 16 Maret untuk membawa pulang warganya," tulis keterangan Kedutaan Besar Kerajaan Thailand di Yangon dikutip dari Bernama, Sabtu (7/3).

Sementara itu, negara lain juga mempersiapkan penerbangan repatriasi untuk membawa pulang warganya dari negara yang dilanda protes tersebut. Vietnam telah mengatur dua penerbangan sewaan pada 11 Maret untuk membawa pulang 390 warganya dari Myanmar.

Sementara Singapura pada Kamis pekan lalu menyarankan warganya di sana untuk meninggalkan negara itu dengan cara komersial jika masih memungkinkan untuk melakukannya.

Menteri luar negeri Singapura Vivian Balakrishnan pada Jumat telah mengatakan, adalah suatu "aib nasional" bagi angkatan bersenjata suatu negara untuk menggunakan senjata terhadap rakyat mereka sendiri. "Ini adalah puncak rasa malu nasional bagi angkatan bersenjata di negara mana pun untuk menggunakan senjata melawan rakyatnya sendiri," kata Vivian Balakrishnan.

Pada Jumat (5/3), Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Yangon telah menetapkan status kerawanan Siaga II bagi WNI di seluruh Myanmar. WNI yang tidak memiliki kepentingan mendesak di negara itu diharapkan kembali ke Tanah Air.  "Sejauh ini belum ada tahapan pemulangan. WNI yang ingin kembali, masih dimungkinkan secara mandiri," ujar Juru Bicara Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI Teuku Faizasyah kepada //Republika//, Ahad (7/3).

Duta Besar (Dubes) untuk Myanmar Iza Fadri menuturkan, status kerawanan siaga II terus dievaluasi mengikuti perkembangan terbaru di Myanmar. Menurutnya, pihak KBRI dan Kemenlu memandang belum mendesak untuk melakukan evakuasi WNI. "Selalu kita evaluasi dan sesuai perkembangan situasi," ujar Dubes Iza ketika ditanya batas waktu penetapan status tersebut.

Militer Myanmar melancarkan kudeta pada dini hari 1 Februari, beberapa jam sebelum parlemen ditetapkan untuk rapat. Militer yang dipimpin Jenderal Min Aung Hlaing menahan Penasihat Negara Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint, dan anggota senior Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) lainnya.

Junta juga telah mengumumkan keadaan darurat satu tahun. Pihaknya secara sepihak berjanji untuk mengambil tindakan terhadap dugaan kecurangan pemilih selama pemilihan umum 8 November, yang dimenangkan oleh partai NLD. Komisi Pemilihan umum Myanmar mengatakan, pemilihan dilakukan secara adil.

Sejak kudeta berlangsung, rakyat Myanmar tak tinggal diam. Mulanya, unjuk rasa dilakukan dengan membunyikan alat-alat dapur pada jam tertentu. Namun sejak empat pekan belakangan aksi unjuk rasa besar-besaran dilakukan di berbagi kota seperti Yangon dan Mandalay serta lainnya yang lebih kecil.

Dua pekan belakangan, penindakan aparat keamanan kian berutal. Rabu (3/3) sejauh ini hari yang paling kelam dengan total 38 warga meninggal saat ini. Secara total, Komisi HAM PBB menghitung sedikitnya ada 54 korban jiwa sepanjang unjuk rasa. Kendati demikian, jumlah total yang sebenarnya diperkirakan jauh lebih banyak. 

Kelompok advokasi  Assistance Association for Political Prisoners (AAPP) menuturkan, lebih dari 1.700 orang telah ditahan di bawah perintah junta hingga akhir pekan lalu. "Tahanan dipukul dan ditendang dengan sepatu bot militer, dipukul dengan tongkat polisi, dan kemudian diseret ke dalam kendaraan polisi," kata AAPP dalam sebuah pernyataan.

"Pasukan keamanan memasuki daerah pemukiman dan mencoba untuk menangkap pengunjuk rasa lebih lanjut, dan menembak ke rumah, menghancurkan banyak properti.”

photo
Kyal Sin alias Angel (19 tahun) berlindung sebelum ditembak mati dalam aksi unjuk rasa di Mandalay, Myanmar, Rabu (3/3/2021). Sedikitnya 38 gugur dalam aksi unjuk rasa di berbagai kota di Myanmar hari itu.  - (REUTERS/Stringer)

Korban terkini adalah dua orang termasuk ketua lokal dari Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), partai besutan Aung San Suu Kyi, dibacok sampai mati oleh sekelompok anggota Partai Solidaritas dan Pembangunan (USDP) pada Jumat (5/3). USDP dikenal sebagai partai proksi militer di perpolitikan Myanmar. Pembunuhan itu, dilansir the Irrawaddy, terjadi di Kotapraja Pwint Phyu.

Pasukan Keamanan Myanmar juga dilaporkan melepaskan tembakan dalam penggerebekan malam hari yang mereka lakukan di Yangon. Penyergapan ini dilakukan usai polisi membubarkan unjuk rasa damai dengan gas air mata dan granat kejut.

Ahad (7/3) dini hari warga mengatakan, tentara dan polisi bergerak ke sejumlah distrik kota Yangon dan melepaskan tembakan. Menurut warga, pasukan keamanan setidaknya menangkap tiga orang di Kyauktada Township. Warga tidak mengetahui alasan penangkapan.

 
Mereka membunuh orang seperti membunuh burung dan ayam,
 
 

"Mereka meminta saya membawa keluar ayah dan saudara laki-laki saya. (Saya bilang) ‘Tidak ada yang akan membantu kami? Jangan kalian sentuh ayah dan saudara saya, bawa kami juga bila kalian ingin membawa mereka’," kata seorang perempuan saat petugas keamanan membawa seorang aktor dan putranya.

Selepas penggerebekan itu, puluhan ribu orang keluar memenuhi jalan-jalan di Myanmar pada Ahad. Aksi tersebut merupakan salah satu protes terbesar selama ini.

Polisi menembakkan gas air mata dan granat setrum di Kota Lashio di wilayah Shan, menurut video siaran langsung yang diunggah di Facebook. Seorang saksi mata mengatakan, polisi melepaskan tembakan untuk membubarkan protes di kota kuil bersejarah Bagan tetapi tidak jelas apakah mereka menggunakan peluru karet atau peluru tajam.

Protes di setengah lusin kota lain berlangsung damai. Kerumunan massa terbesar terjadi di kota kedua Myanmar, Mandalay, para aktivis menggelar protes duduk setelah dua menit hening untuk menghormati orang-orang yang dibunuh oleh polisi dan tentara.

"Mereka membunuh orang seperti membunuh burung dan ayam," kata seorang pemimpin protes kepada kerumunan di Dawei, di selatan Myanmar. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat