Ilustrasi minuman keras. Meski bukan faktor tunggal kekerasan keluarga, miras bisa menjadi katalisator kekerasan. | Republika/Thoudy Badai

Laporan Utama

Selamatkan Keluarga dari Miras

Meski bukan faktor tunggal kekerasan keluarga, miras bisa menjadi katalisator kekerasan dalam rumah tangga.

OLEH IMAS DAMAYANTI

Minuman keras (miras) menjadi musuh bersama semua peradaban di dunia. Dampaknya yang bertubi-tubi membuat kita harus membangun tameng untuk melindungi bangsa ini dari memabukkan itu. Dicabutnya Lampiran ke-3 Perpres 10/2021 hanya menjadi percikan serangan dari mereka yang hendak menangguk untung lewat industri tersebut. Butuh payung hukum lebih kuat untuk melindungi bangsa ini dari bahaya miras.

 

Dampak minuman keras (miras) terasa hingga ke keluarga. Tidak sedikit dari kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang menimpa perempuan dan anak karena kepala rumah tangga berada di bawah pengaruh miras.

Komisioner Komisi Nasional Antikekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Bahrul Fuad menjelaskan, meski bukan menjadi faktor tunggal terjadinya KDRT, miras dapat menjadi katalisator kekerasan yang ada.

"Miras ini memang bukan jadi sebab tunggal dalam KDRT. Tapi dia bisa jadi faktor penyerta terjadinya kekerasan kepada para perempuan yang menjadi korban," kata Bahrul saat dihubungi Republika, Rabu (3/3).

photo
Petugas Bea Cukai dan Kejaksaan Tinggi Negeri Banten memusnahkan barang bukti minuman keras (miras) dan rokok impor ilegal di Tempat Penimbunan Pabean (TPP), Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Selasa (2/3/2021). Sebanyak 1.168.483 rokok dan 43.727 botol miras impor ilegal dimusnahkan dari hasil penindakan pada 2020 hingga 2021 dengan total kerugian negara Rp 42,1 miliar. - (Fakhri Hermansyah/ANTARA FOTO)

Dia menjelaskan, dengan mengonsumsi miras, peluang orang untuk melakukan kekerasan bisa lebih tinggi. Dalam fakta-fakta yang ia temui di lapangan, kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan acap kali dilakukan oleh pelaku akibat pengaruh alkohol.

Misalnya, kata dia, korban kerap diberikan miras hingga tidak berdaya dan kemudian diperdaya. Contoh lainnya, pelaku kekerasan yang berada di bawah kendali miras kehilangan kendali atas jiwanya sehingga KDRT pun terjadi.

 
Korban kerap diberikan miras hingga tidak berdaya dan kemudian diperdaya.
 
 

Di sisi lain, dia menambahkan, orang yang melakukan kekerasan akibat pengaruh miras akan mengganggu ekonomi keluarga, relasi dengan keluarga yakni anak-istri, hingga menimbulkan konflik dalam rumah tangga. "Mudharat (dari miras)-nya sangat jelas, nggak ada manfaatnya," kata dia.

Berdasarkan catatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sebanyak 55 persen pelaku kekerasan domestik (rumah tangga) dunia dalam melakukan aksinya disertai pengaruh minuman beralkohol. Adapun dua pertiga korban KDRT telah mengakui bahwa pelaku kekerasan memang melakukan aksi-aksi kekerasan dalam pengaruh minuman memabukkan tersebut.

Di Indonesia, kata dia, tak sedikit aduan adanya kasus-kasus KDRT yang disebabkan oleh pengaruh alkohol oleh pelaku kekerasannya. "Di Komnas Perempuan, kita memang belum memilah secara spesifik berapa persen kasus KDRT yang terjadi akibat miras. Tapi kami sering menerima aduan bahwa memang pelaku kekerasan ada yang terpengaruh miras," kata dia.

Jika ditinjau dari dampak miras dan alkohol sendiri, Bahrul menjelaskan, miras dapat menurunkan daya kognitif yang pada akhirnya akan menghilangkan daya nalar bagi yang mengonsumsinya. Data nalar yang rendah kemudian akan menghilangkan self control, sehingga dia menilai hal itu akan menimbulkan konflik.

 
Miras dapat menurunkan daya kognitif yang pada akhirnya akan menghilangkan daya nalar bagi yang mengonsumsinya.
 
 

Dia pun mengimbau kepada pemerintah untuk melakukan kebijakan yang komprehensif terkait miras. Seperti membatasi produksi (ketersediaan) miras, pembatasan waktu dan tempat jual, hingga pengaturan harga yang tinggi agar sulit terjangkau oleh masyarakat.

"Dan yang penting juga, pemerintah perlu sediakan tempat rehabilitasi untuk pecandu miras, sehingga dia nantinya bisa sembuh dan beraktivitas normal," kata Bahrul.

Seturut dengan itu, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra mengatakan, miras memiliki dampak yang pasti bagi anak-anak. Menurut dia, tanpa perlu melegalkan investasi miras, fakta di lapangan telah menunjukkan bahwa beredarnya berbagai produk miras telah banyak mengorbankan anak-anak.

photo
Tangkapan layar Lampiran III Perpres Nomor 10 Tahun 2021 - (https://jdih.setkab.go.id)

"Ada kasus-kasus anak meninggal karena miras oplosan, akibat minimnya pengawasan ketat dari pemerintah terkait miras. Apa lagi harus dilegalkan? Kasus-kasus yang timbul akibat miras, justru harusnya diminimalisasi, dikurangi," kata dia.

Dia menekankan, pengawasan yang ketat terkait miras perlu diseriusi agar tak membahayakan kesehatan dan masa depan anak. Saat ini, Jasra menilai, regulasi pengawasan miras dan alkohol di Indonesia masih sangat lemah. Contohnya, dengan tidak adanya persyaratan bagi konsumen miras yang dapat dikonsumsi oleh usia-usia tertentu.

Artinya, tidak ada persyaratan tulis bahwa miras dan alkohol tidak boleh dikonsumsi atau dijangkau anak-anak di dalam kemasan produk. Menurut dia, seringkali laporan pencegahan anak-anak untuk tidak mengonsumsi minuman keras pada kenyataannya di level akar rumput sangat sulit dicegah. Dengan demikian, hal itu lebih menampakkan regulasi yang pengawasannya sangat lemah.

"Untuk itu tidak dilegalkan saja, peredarannya luar biasa. Apalagi, kalau diberi ruang, kita khawatir akan lebih berat tugas bangsa ini menyelamatkan generasinya," kata dia.

 

Kawal RUU Minol Masuk Prolegnas 2021

Pencabutan lampiran ketiga Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 yang mengatur tentang minuman keras (miras) bukan menjadi akhir dari serangan bahaya miras. Masih adanya kekosongan hukum setingkat undang-undang tentang peredaran minuman beralkohol membuat miras masih tetap bebas diperdagangkan.

Rancangan Undang-Undang (RUU) Minuman Beralkohol (Minol) yang diusulkan sejumlaf fraksi DPR pun tersendat. Anggota Fraksi PKS Ledia Hanifa Amaliah mengatakan, saat ini RUU Minol masih dalam tahapan harmonisasi di Badan Legislatif (Baleg) DPR.

Dia menjelaskan, seluruh RUU termasuk RUU Minol belum dapat dibahas lebih jauh karena belum diputuskan ke dalam prioritas program legislatif nasional (prolegnas) 2021. "(RUU Minol) itu kan harus diputuskan di paripurna, jadi akhirnya belum ditetapkan prolegnasnya. Kalau itu sudah dibahas, harusnya diagendakan kembali (terkait RUU Minol)," kata Ledia saat dihubungi Republika, Rabu (3/3).

Namun, Ledia menekankan, RUU Minol akan terus diperjuangkan karena memiliki urgensi yang cukup besar bagi kelangsungan bangsa. Terutama, kata dia, bagaimana Indonesia belum memiliki regulasi memadai tentang miras yang memiliki tingkat kebahayaan tinggi.

Tak hanya itu, pihaknya juga menekankan, minuman beralkohol membawa pengaruh negatif di masyarakat. Menurut Ledia, RUU Minol juga akan mengakomodasi masukan-masukan yang bercirikan local wisdom apabila dibutuhkan.

 
Kita lihat di Papua, misalnya, yang mengeluarkan perda miras. Itu karena mereka lihat bahwa dampak miras ini justru sangat bahaya bagi masyarakat mereka.
LEDIA HANIFA AMALIAH, Anggota Fraksi PKS
 

Namun, berdasarkan beberapa pernyataan tokoh-tokoh di empat provinsi yang masuk dalam Perpres Miras, terdapat fakta yang menyebutkan, miras dan alkohol bukanlah bagian dari budaya yang baik bagi adat maupun agama. "Kita lihat di Papua, misalnya, yang mengeluarkan perda miras. Itu karena mereka lihat bahwa dampak miras ini justru sangat bahaya bagi masyarakat mereka, membawa kerusakan yang besar," kata dia.

Senada dengan Ledia, anggota Fraksi PAN Guspardi Gaus menyampaikan pentingnya mendorong RUU Minol untuk masuk ke dalam prolegnas 2021. RUU Minol ini urgensinya sungguh luar biasa, kata Guspardi.

Dia menjelaskan, prolegnas 2021 masih tertunda sehingga masih ada waktu bagi para pengusul RUU tersebut untuk memperbaiki draf-draf yang belum sempurna.

Dalam pembahasan RUU tersebut, ada banyak sekali masukan secara naskah akademis dari RUU Minol yang diajukan. "Drafnya kan sudah berkali-kali ditolak, mungkin masih kurang sempurna, sehingga harus disempurnakan dulu oleh tim naskah akademis," kata dia.

 
Masalahnya, ada nggak komitmen pemerintah selama ini untuk membatasi (minol)? Kan tidak ada. Sekarang saja sudah kewalahan.
GUSPARDI GAUS, Anggota Fraksi PAN
 

Guspardi menjelaskan, RUU Minol ini patut dihadirkan sebagai antitesa atas legalisasi miras dan alkohol dengan status investasi terbuka. Menurut dia, tanpa dilegalkan saja, pengendalian dampak akibat miras dan alkohol belum bisa dijamin oleh pemerintah secara menyeluruh.

Apalagi, dia menjabarkan, dampak miras dan alkohol yang nyata menjadi ancaman bangsa kerap kali menghadirkan kasus-kasus kriminalitas yang dapat mencetak kemiskinan-kemiskinan baru. Pengawasan dan kontrol pemerintah terhadap peredaran miras hingga saat ini dinilai sangat rendah.

Karena itu, dia menegaskan, klaim-klaim yang bernada otoritatif terhadap legalisasi investasi miras haruslah ditolak. "Masalahnya, ada nggak komitmen pemerintah selama ini untuk membatasi (minol)? Kan tidak ada. Sekarang saja sudah kewalahan, itu kan klaimnya pemerintah saja yang berlagak bisa mengatasi dan mengontrol miras," kata Guspardi.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat