Petani menjemur gabah di kawasan lumbung pangan nasional Food Estate di Desa Belanti Siam, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, Selasa (2/2/2021). | Makna Zaezar/ANTARA FOTO

Opini

Menata Lumbung Pangan

Benarkah lumbung pangan menjadi langkah strategis dalam pengembangan pangan nasional?

MARENDA ISHAK S, Dosen Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran

Selasa (23/2), Presiden Joko Widodo mengujungi kawasan food estate atau lumbung pangan yang berada di Kecamatan Katiku Tana, Kabupaten Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Presiden mendorong pengembangan lumbung pangan seluas 5.000 hektare pada 2020 dan 10 ribu hektare pada 2021. Selain di NTT, pengembangan lumbung pangan juga dilakukan Provinsi Kalimatan Tengah dan Sumatra Utara.

Hal ini menandakan gencarnya perhatian pemerintah pada program pangan nasional. Lalu, benarkah lumbung pangan menjadi langkah strategis dalam pengembangan pangan nasional dan bagaimanakah nasib lahan pertanian produktif yang saat ini ada?

 
Lalu, benarkah lumbung pangan menjadi langkah strategis dalam pengembangan pangan nasional?
 
 

Dilema ini yang hendak dijawab dalam tulisan ini. Pada satu sisi, perhatian pemerintah begitu terpusat pada lumbung pangan, di sisi lain, lahan pertanian yang ada justru termakan arus urbanisasi sehingga harus rela beralih fungsi dengan penggunaan lahan lainnya.

Bahkan pada sisi ini, petani yang ada harus berjibaku dengan kondisi pupuk yang sering langka di pasaran, irigasi yang tidak lagi memadai, dan harga jual yang merosot. 

Dilema pembangunan

Sentra pertanian padi yang terkonversi, saat ini bukan lagi menjadi hal yang perlu dicemaskan, begitulah kira-kira pesan yang hendak dikirimkan pemerintah.

Pembangunan lumbung pangan adalah solusi jangka panjang dari ketidakmampuan kita mengelola lahan pertanian, yang dahulu sempat menjadi kebanggaan pemerintah itu sendiri. Sebut saja, Kabupaten Karawang dan Kabupaten Subang, Jawa Barat.

Daerah ini, dulunya sentra pertanian padi produktif. Jauh dari rata-rata produksi nasional, sentra ini menghasilkan produktivitas lebih dari 6,5 ton/hektare/tahun.

Kondisi ini berbalik hampir 360 derajat. Sentra produksi beras yang dahulu menjadi tulang punggung perekonomian, banyak beralih fungsi menjadi lahan nonpertanian, seperti permukiman, infrastruktur, juga industri.

 
Hal inilah yang kemudian kurang terperhatikan. Bahkan, seolah petani dibiarkan dapat mengatasi masalahnya sendiri.
 
 

Hal ini jelas berimplikasi jauh pada menurunnya nilai daya dukung bagi kepentingan pertanian.

Daya dukung tersebut adalah saluran irigasi, program-program pertanian hingga efektivitas kelompok tani, yang sebenarnya telah mapan terbentuk melalui program pelatihan dan pendampingan antarkelompok tani.

Hal inilah yang kemudian kurang terperhatikan. Bahkan, seolah petani dibiarkan dapat mengatasi masalahnya sendiri.

Pada sisi lain, program pengentasan yang menjadi prioritas pemerintah yang dilakukan melalui petani dan kelembagaan unit tani, seolah tergerus dengan membiarkan posisi tani yang semakin termarginalkan.

Membiarkan posisi petani produktif untuk berjuang sendiri adalah hal yang tidak mungkin dilakukan. Karena itu, pemerintah seharusnya mampu hadir dalam kondisi sulit petani pada daerah-daerah seperti ini.

 
Ini yang tampaknya tak terjawab pemerintah. Konversi lahan pertanian yang kian marak, regenerasi petani yang tak mulus, harga jual yang terus tertekan adalah masalah klasik.
 
 

Ini yang tampaknya tak terjawab pemerintah. Konversi lahan pertanian yang kian marak, regenerasi petani yang tak mulus, harga jual yang terus tertekan adalah masalah klasik. Lalu, benarkah lumbung pangan menjadi sarana bagi perbaikan itu semua?

Penulis meyakini, hal ini semakin memperkuat bahwa pertanian bukan menjadi program yang bersifat berkelanjutan. Fakta-fakta di atas menunjukkan, bagaimana posisi pertanian dalam pembangunan sebenarnya.

Selayaknya, hal ini yang harus dijawab terlebih dahulu, sebelum program pertanian berskala besar berjalan. Hal ini berguna untuk memastikan pertanian adalah era sekarang dan masa depan, serta menjadi unggulan bagi bangsa Indonesia.

Lumbung pangan desa

Di tengah program pemerintah yang marak untuk mengembangkan lumbung pangan dengan dana hampir mencapai Rp 102 triliun, seharusnya pemerintah bisa kembali menata ulang program unggulan ketahanan pangan.

Desa yang seharunya menjadi sentra pengembangan pertanian selayaknya mendapat perhatian. Terlebih, mereka telah mampu membuktikan tanpa dorongan dan perhatian cukup pemerintah pun mereka mampu bertahan dan berproduksi secara maksimal.

 
Terlebih, program lumbung pangan saat ini memiliki banyak keterbatasan, yang semestinya dievaluasi secara terbuka.
 
 

Program pengentasan kemiskinan, semestinya juga dilakukan dengan jalan memberikan insentif dan perhatian lebih bagi petani, yang mampu membuat lahan menjadi produktif.

Produktivitas lebih dari 6,5 ton/hektare/tahun adalah ukuran standar yang bisa menjadi patokan untuk dapat diberikan insentif lebih. Bukan sebaliknya, dibiarkan terkonversi dan tanpa regenerasi tani. Jika ini yang berlaku, sulit meyakinkan generasi sekarang bahwa pertanian menjadi prioritas utama.

Terlebih, program lumbung pangan saat ini memiliki banyak keterbatasan, yang semestinya dievaluasi secara terbuka.

Produktivitas, infrastruktur penunjang, tenaga kerja, harga jual hasil panen, hingga posisi petani pada lahan garapan mereka adalah beberapa permasalahan yang meski segera dijawab secara transparan.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat