Pengunjuk rasa anti-kudeta militer duduk di jalan yang diblokadi petugas kepolisian di Yangon, Myanmar, Rabu (24/2). | AP/STR

Kabar Utama

Massa Pro dan Kontra Kudeta Bentrok di Yangon

Pendukung dan penentang kudeta militer mulai terlibat bentrokan di jalan-jalan Kota Yangon, Myanmar,

YANGON -- Pendukung dan penentang kudeta militer mulai terlibat bentrokan di jalan-jalan Kota Yangon, Myanmar, Kamis (25/2). Sikap aparat keamanan melarang mahasiswa meninggalkan kampus untuk berunjuk rasa disebut memicu eskalasi terkini dari krisis politik Myanmar tersebut.

"Kami, mahasiswa, harus menghancurkan kediktatoran," kata Kaung Sat Wai (25 tahun) di luar kampus Universitas Utama Yangon, kemarin. "Sejak kudeta, hidup kami menjadi tanpa harapan, mimpi kami telah mati," ujarnya melanjutkan.

Pada Kamis, pasukan kepolisian memblokir gerbang kampus dan menghentikan ratusan mahasiswa yang keluar untuk berbaris melakukan unjuk rasa. Pada saat yang sama, sekira 1.000 pendukung militer berkumpul untuk berunjuk rasa di pusat Kota Yangon.

Satu pekerja media mengaku diancam pendukung militer tersebut. Dia mengatakan, bentrokan kemudian pecah antara pengunjuk rasa pro dan antimiliter. "Seorang fotografer terluka," katanya.

photo
Pengunjuk rasa dari mahasiswa dan guru berjalan melintasi petugas keamanan yang berjaga-jaga di Mandalay, Myanmar, Rabu (24/2/2021).  - (AP/str)

Saksi mata melaporkan, pendukung militer melemparkan batu dan menembakkan ketapel. Sementara, ada laporan penikaman, tetapi belum dikonfirmasi.

Konfrontasi tersebut menggarisbawahi kekacauan di negara tersebut. Selama beberapa hari belakangan, kegiatan perekonomian sebagian besar dilumpuhkan oleh protes dan kampanye pembangkangan sipil terhadap militer. 

Mahasiswa dan dokter Myanmar berencana kembali turun ke jalan untuk menentang kekuasaan militer pada Kamis (25/2). Pengunjuk rasa menolak langkah Angkatan Bersenjata Myanmar menggulingkan pemerintahan Aung San Suu Kyi dan partai National League for Democracy (NLD) yang terpilih dengan sah pada pemilu November 2020 lalu.

Memasuki pekan ketiga unjuk rasa harian menentang kudeta 1 Februari itu, para mahasiswa dan dokter berencana menggelar demonstrasi di pusat ekonomi Myanmar, Yangon. Penyelenggara unjuk rasa mengajak peserta membawa buku ajar yang mempromosikan pendidikan militer untuk dihancurkan dalam demonstrasi tersebut.

Banyak pekerja profesional dan pegawai negeri yang juga bergabung dalam gerakan pembangkangan sipil. Dokter yang turun ke jalan pada Kamis ini menyebut aksi mereka sebagai 'Revolusi Jas Putih'.

Organisasi hak asasi manusia mengatakan, sejauh ini pihak berwenang sudah menahan 728 atas dakwaan yang berkaitan dengan unjuk rasa. Petugas keamanan Myanmar belakangan lebih menahan diri dibandingkan saat mereka menindak keras unjuk rasa selama kekuasaan militer yang berlangsung hampir setengah abad.

Pekan ini, media milik pemerintah melaporkan Panglima Militer Jenderal Min Aung Hlaing mengatakan, pihak berwenang dan polisi mengikuti aturan demokrasi dan hanya menggunakan kekuatan minimal, seperti peluru karet, dalam menghadapi pengunjuk rasa. Namun, kekerasan selama unjuk rasa telah menewaskan tiga orang demonstran dan satu orang polisi.

Pemilu November 2020 memenangkan partai Liga Nasional untuk Demokrasi yang dipimpin Aung San Suu Kyi. Meski komisi pemilihan mengatakan pemungutan suara itu adil, militer tetap menggencarkan kekuatannya mengudeta dengan dalih telah terjadi kecurangan pada pemilu.

photo
Biksu Buddha melintasi jalan yang dijaga polisi di Mandalay, Rabu (24/2/2021). - (AP/str)

Hingga kini Suu Kyi masih ditahan tanpa komunikasi sejak kudeta 1 Februari di Naypyitaw. Pihak partai mengatakan, kemenangan pemilu November harus dihormati. Begitu pun rakyat menuntut agar kudeta dihentikan dan hasil pemilu dihormati.

Tekanan internasional

Sementara itu, surat kabar Jepang melaporkan Negeri Sakura menyelesaikan rencana untuk menahan bantuan ke Myanmar. Langkah ini diambil saat negara-negara Barat sudah memberlakukan sanksi dan mengancam mengambil langkah lebih lanjut pada militer Myanmar.

Asahi Shimbun mengutip sejumlah sumber yang mengatakan Pemerintah Jepang menahan diri untuk menyebut penangguhan bantuan Badan Bantuan Pembangunan (DOA) itu sebagai 'sanksi'. Surat kabar itu juga melaporkan Jepang akan membujuk junta militer Myanmar untuk meraih solusi demokrasi melalui dialog.

Kepala Kabinet Katsunobu Kato mengatakan, tidak ada yang benar mengenai laporan itu. Namun, ia tetap membuka kemungkinan perubahan kebijakan bantuan pembangunan. "Mengenai bantuan ekonomi untuk Myanmar, kami akan memantaunya dengan hati-hati tanpa prasangka dan mempertimbangkan berbagai opsi," kata Kato dalam konferensi pers, Kamis (25/2).

Kantor berita Jepang, Kyodo News juga mengutip sejumlah sumber yang mengatakan pemerintah mempertimbangkan untuk menahan bantuan ke Myanmar. Sejauh ini, Negeri Sakura menahan diri untuk mengambil sikap tegas terhadap junta militer. Walaupun sekutu-sekutu dekatnya, seperti Amerika Serikat (AS), sudah memberlakukan sanksi pada militer Myanmar atas kudeta 1 Februari lalu.

Tokyo salah satu pemberi dana hibah terbesar Myanmar. Dalam beberapa tahun terakhir, perusahaan-perusahaan Negeri Sakura juga sangat agresif mengembangkan bisnis mereka di sana itu. Jepang juga khawatir bila hubungan mereka dengan Myanmar renggang, negara Asia Tenggara itu dapat semakin mendekat ke Cina.

Organisasi hak asasi manusia Human Rights Watch dan Justice for Myanmar telah mengirimkan surat bersama ke Menteri Luar Negeri Jepang Toshimitsu Motegi. Mereka mendesak Jepang menekan pemimpin-pemimpin kudeta untuk mengembalikan kekuasaan pada pemerintahan terpilih dan menghormati hak asasi manusia. 

Sementara itu, Indonesia memimpin masyarakat internasional dalam upaya menyelesaikan gejolak politik di Myanmar. Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi menuturkan, telah menemui menlu yang ditunjuk militer Myanmar, Wunna Maung Lwin, di Bangkok, Thailand pada Rabu (24/2). 

Dalam pertemuan itu, Retno menyampaikan sikap Indonesia. “Keselamatan warga Myanmar adalah prioritas nomor satu. Oleh karena itu, kita meminta semua pihak untuk menahan diri dan tidak menggunakan kekerasan untuk menghindari terjadinya korban dan pertumpahan darah,” ujar Retno.

Ia tak menjelaskan soal dukungan atau penentangan terhadap pemilu ulang yang direncanakan militer Myanmar. Meski begitu, Menlu menekankan bahwa “Keinginan rakyat Myanmar harus didengarkan”. Kunjungan dan pernyataan itu menyusul dua hari berturut-turut aksi unjuk rasa di Yangon menyuarakan penolakan atas rencana pemilu ulang oleh militer yang disalahpahami ikut didukung Indonesia. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat