Ilustrasi Wakaf Uang | Republika/Thoudy Badai

Opini

GWUN dan Paradigma Pemanfaatan Wakaf Uang

Wakaf uang harus dimanfaatkan untuk mengatasi kemiskinan, kesehatan, pengangguran dan pengembangan ekonomi.

Yulizar D Sanrego

Pemerhati Ekonomi Syariah & Anggota Dewan Syariah Nasional - MUI

 

Semenjak diluncurkannya Gerakan Wakaf Uang Nasional (GWUN) oleh Presiden Jokowi bersama Wapres KH Ma’ruf Amin pada Senin 25 Januari 2021 lalu, pro dan kontra terhadap deklarasi tersebut masih terekam di tengah masyarakat. Penulis sepakat bahwa peluncuran atau deklarasi GWUN tersebut menjadi penting sebagai bagian dari dakwah ekonomi wakaf, bukan hanya meningkatkan awareness, kepedulian, literasi dan edukasi masyarakat terhadap ekonomi dan keuangan syariah, tetapi sebagai upaya memperkuat rasa kepedulian dan solidaritas sosial untuk mengatasi kemiskinan dan ketimpangan sosial.

Deklarasi ini juga menegaskan pernyataan Wapres sebagai era baru pengembangan ekonomi Islam di Indonesia, dimana pemerintah mulai terlibat aktif dalam pengembangan ekonomi syariah sebagai bentuk pengejawantahan dari Peraturan Presiden (Perpres) No 28/2020 tentang KNEKS. Wakaf bisa menjadi salah satu pilar ekonomi Nasional dengan potensinya wakaf senilai Rp 2 ribu triliun dan potensi wakaf uang sebesar Rp 188 triliun.

Namun demikian, penulis memandang bahwa GWUN ini perlu penegasan lebih konkrit atau skala prioritas dalam konteks pemanfaatannya jika tujuannya adalah untuk kepentingan masyarakat luas sekaligus menjawab keraguan masyarakat yang kontra terhadap gerakan ini. Memang, secara fikih, tidak ada batasan yang rigid terkait pemanfaatan dana wakaf untuk investasi apapun, selama objek investasi masih berada dalam koridor syariah dan dana pokok wakaf tetap bisa dipertahankan. Namun demikian, penulis menilai dengan karakter wakaf uang sebagai dana sosial Islam (Islamic social fund) maka pemanfaatannya akan relatif berbeda dengan instrumen keuangan syariah lain yang berkarakter dana komersil (Islamic commercial fund).

Oleh karena itu pemanfaatan wakaf uang untuk usaha yang dikatakan produktif perlu dibedakan antara kondisi skala ekonomi Indonesia dengan negara-negara lain. Dalam beberapa literatur ditemukan bahwa wakaf uang masuk pada kategori keuangan sosial (social finance) karena adanya karakter keberlanjutan dalam wujud dampak sosial dan finansial.

Kebijakan wakaf Umar

Sejarah awal Islam mencatat bahwa wakaf menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan publik negara. Wakaf tidak hanya dialokasikan untuk sarana atau aktivitas keagamaan, tapi juga dimanfaatkan untuk mendukung pembiayaan kepentingan publik; seperti jaminan sosial, penanggulangan kemiskinan, musibah, pendidikan, kesehatan dan lain-lain. Menjadikan wakaf sebagai bagian dari kebijakan publik tidak asing dalam tradisi Islam, sebagaimana khalifah Umar pernah menjadikannya sebagai salah satu instrumen kebijakan negara yang strategis.

Berbicara tentang wakaf, berarti berbicara tentang keberlanjutan (sustainability), jauh sebelum konsep pembangunan keberlanjutan (sustainable development) menjadi mainstream seperti sekarang. Agar manusia bisa memastikan keberlanjutan atau bertahan hidup, maka paling tidak kebutuhan pokoknya terpenuhi. Ada standar pemenuhan hajat manusia agar dia bisa bertahan hidup.

Analogi yang sama juga berlaku dalam konteks kebijakan publik, dimana negara bertanggung dalam memastikan terpenuhinya kebutuan mendasar bagi masyarakatnya. Di sinilah esensi kebijakan wakaf Umar, sebagaimana dinyatakan oleh ‘Ali Qurahdagi (2020), menempatkan wakaf sebagai bagian dari kebijakan publik negara yang strategis dalam rangka menjaga keberlanjutan generasi yang akan datang (himayah al-ajyal) dalam konteks pemenuhan kebutuhan dasar.

Umar melakukan ijtihad kebijakan dengan tidak membagikan tanah-tanah hasil perluasan Islam, namun tanah tersebut dikuasai dan dikelola sepenuhnya oleh baitul mal (pemerintah). Kebijakan “wakaf tanah negara” (waqf al-irshad) tersebut tidak sebatas menahan aset pokok wakafnya saja, tapi jenis usaha dan hasil yang dihasilkan dari pemanfaatan aset pokok wakaf tersebut adalah menyangkut hajat hidup masyarakat yang bersifat dharuri.

Poin-nya adalah kelanggengan atau keberlanjutan aset pokok wakaf mendukung keberlanjutan hidup masyarakat. Kebijakan Umar terbukti ampuh terkait peran wakaf dalam konteks menjaga keberlangsungan hidup masyarakat (himayah al-hayah) ketika terjadi wabah tha’un (sejenis wabah covid-19), di mana hasil pemanfaatan wakaf berhasil menutupi kekurangan logistik makanan selama wabah itu terjadi.

Wakaf berhasil mendukung sistem ketahanan pangan (pertanian) yang bisa menyelamatkan masyarakat dari ancaman kelaparan tanpa menciptakan beban utang pemerintah pada saat itu. Artinya bisa dibayangkan ketika Umar memanfaatkan wakaf untuk memastikan ketersediaan pangan tersebut, maka yang terlintas adalah bahwa faktor-faktor produksi dalam sebuah mata rantai produksi (daurah intajiyah) atau value chain produk pangan tersebut juga didukung oleh pemanfaatan dan pengelolaan wakaf tersebut.

Keberlanjutan sebuah negara (tidak sebatas keberlanjutan ekonomi semata) bisa tetap terjaga karena didukung oleh peran strategis wakaf dalam sistem jaminan sosial negara.

Paradigma pemanfaatan wakaf uang

Kebijakan wakaf Umar ini membawa pesan bahwa paradigma utilisasi atau pemanfaatan aset wakaf yang berdimensi sosial mesti diarahkan atau diprioritaskan untuk sektor-sektor yang secara langsung “menjamin” keberlangsungan dan keberlanjutan hidup masyarakat dalam konteks pemenuhan kebutuhan pokok atau menyangkut hajat hidupnya.

Fokus terhadap pemenuhan hajat hidup orang banyak, dalam konteks kebijakan publik, menjadi celah yang tidak dicover oleh Lembaga Pengelola Investasi (LPI) sebagai bentuk pengejawantahan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, terutama di bidang investasi yang bersifat komersial. Di dalam LPI menurut UU tersebut, untuk cabang- cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, seperti bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya, tidak dimasukkan di dalam penyertaan modal LPI.

Dalam konteks pemanfaatan wakaf uang, betul bahwa secara fikih instrumen keuangan sosial Islam (Islamic social finance) tersebut boleh diinvestasikan dalam bentuk yang variatif pada industri keuangan sehingga menghasilkan imbal hasil yang kemudian bisa digunakan untuk kemaslahatan umat. Namun yang perlu dipahami bahwa karakter dasar dari wakaf uang adalah sebagai instrumen keuangan sosial (social fund), sehingga prioritasnya adalah dimanfaatkan untuk investasi yang berdimensi sosial (sociopreneurs) dan memberdayakan masyarakat.

Contohnya seperti menciptakan dan membuka seluas-luasnya variasi bisnis pertanian (agriculture business) yang berdimensi sosial (sociopreneurs) dengan misi utama menciptakan social impact, yang meningkatkan harkat dan taraf hidup masyarakat kelas bawah sehingga pada gilirannya berdampak pada pengentasan kemiskinan dan perekonomian nasional. Laporan UNDP tahun 2016 dengan judul Social Finance & Social Enterprises: A New Frontier for Development in Indonesia mencatat bahwa Indonesia merupakan pasar yang sangat potensial untuk pengembangan keuangan sosial (social finance).

Dalam kerangka kebijakan publik, tantangannya adalah bagaimana melakukan ikhtiar untuk menjadikan wakaf sebagai instrumen strategis pemerintah dalam mendukung investasi yang berdimensi sosial sehingga berdampak pada keberlanjutan kehidupan masyarakat termasuk keberlanjutan ekonomi sebagaimana paradigma pemanfaatan wakaf yang dilakukan dalam kebijakan Umar.

Instrumen ini seyogyanya dimanfaatkan untuk membiayai berbagai proyek-proyek sosial yang ditujukan untuk mengatasi kemiskinan, kesehatan, pengangguran dan pengembangan ekonomi masyarakat, seperti sektor pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan dan lain-lain.

Dalam rangka “meredam” suara sumbang sekaligus menumbuhkan kepercayaan publik dalam konteks pemanfaatan wakaf uang, tugas dan wewenang Badan Wakaf Indonesia (BWI) memiliki posisi strategis sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 41 Pasal 49 Ayat 1 Tahun 2004. Oleh karena itu paling tidak ada isu strategis yang menurut penulis perlu ditindaklanjuti.

Pertama, penulis memandang bahwa rencana pengembangan wakaf dalam dokumen Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia 2019-2024 masih bertumpu pada isu literasi, membangun awareness dan tatakelola. Oleh karena itu, BWI dan para pemangku kepentingan lain (Kemenag, KNEKS, dll) perlu membuat roadmap termasuk database sebagai wujud konsolidasi nasional penghimpunan, pengelolaan dan pengembangan wakaf yang lebih konkrit dan spesifik khususnya keberpihakan pada pengembangan sektor-sektor sosial termasuk memetakan potensi- potensi pengembangan social enterprises sekaligus dengan rantai nilainya (social enterprises value chain).

Kedua, pola hubungan antara BWI sebagai “advisor” dan pemerintah perlu diarahkan untuk melahirkan kebijakan-kebijakan, misalnya dengan membuat lembaga semisal LPI yang didedikasikan untuk mempromosikan dan mengelola instrumen-instrumen investasi dana abadi sosial (termasuk wakaf, zakat, infaq) untuk mendukung proyek-proyek atau program-program yang berorientasi pada pemberdayaan ekonomi, berdampak sosial sesuai dengan kondisi mayoritas masyarakat Indonesia yang masih tergantung pada sektor pertanian, perkebunan, peternakan maupun perikanan.

Sebagai contoh, pemerintah bisa mendukung gerakan ini dengan melakukan kebijakan yang lebih konkrit, yaitu menjadikan tanah-tanah negara (termasuk tanah tidak bertuan) menjadi aset wakaf yang peruntukannya secara khusus mendukung terciptanya ketahanan pangan nasional dengan dukungan wakaf uang dalam rangkaian rantai nilainya (value chain). Dengan demikian, ikhtiar agar keuangan sosial Islam menjadi arus utama kebijakan nasional menjadi lebih jelas peran dan kedudukannya. Wallahu a’lam

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat