Warga menggunakan alat pelindung diri (APD) kesehatan saat menggunakan hak pilihnya pada Pilkada Kabupaten Bandung di TPS 10, Desa Pangauban, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Rabu (9/12/2020). Penyelenggaraan tahapan pemilu nasional dan pilkada 2024 dinilai | NOVRIAN ARBI/ANTARA FOTO

Nasional

Pemilu 2024 akan Diuji di Mahkamah Konstitusi

Penyelenggaraan tahapan pemilu nasional dan pilkada 2024 dinilai bisa saling tumpang tindih.

JAKARTA — Kepastian hukum keserentakan pemilu dan pemilihan kepala daerah (pilkada) pada 2024 masih dipertanyakan. Sebab, ada dua UU yang akan dipakai untuk menerapkan keserentakan itu.

Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Ferry Kurnia Rizkiyansyah menilai kepastian hukum keserentakan pemilu dan pilkada pada 2024 perlu melalui uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK). "Kalaupun tetap di 2024, terkait dengan kepastian hukum, perlu ditempuh upaya judicial review ke MK," ujar Ferry kepada Republika, Ahad (14/2).

Padahal, menurut Ferry, revisi UU Pemilu menjadi momentum pembenahan aturan-aturan pemilu secara komprehensif. Sejumlah persoalan mengenai penyelenggaraan pemilu perlu dipertegas dalam perundangan-undangan, mulai dari pengaturan kelembagaan serta penataan siklus pemilu dengan penataan model keserentakan. 

Di samping itu, ia juga pesimistis pemerintah akan menyetujui perbaikan regulasi dalam UU melalui peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). "Kalaupun diusulkan perppu, tampaknya pemerintah (presiden) kemungkinan tidak menyetujui," kata Ferry. 

Ia menilai regulasi teknisnya, yakni peraturan KPU (PKPU), perlu mengatur secara lebih terperinci dan tegas sepanjang belum ada norma UU yang mengatur. Selain itu, kata dia, perlu ada simulasi pelaksanaan Pemilu 2024 dan Pilkada Serentak 2024 secara detail untuk memitigasi risiko yang ada. Sebab, penyelenggaraan tahapan pemilu nasional dan pilkada akan saling tumpang tindih.

 
Perlu ada simulasi pelaksanaan Pemilu 2024 dan Pilkada Serentak 2024 secara detail untuk memitigasi risiko.
 
 

Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) Aditya Perdana mengatakan, DPR harus memberikan kejelasan soal nasib UU Pemilu. Kejelasan itu penting untuk mempersiapkan semua hal mengenai pelaksanaan Pemilu 2024.

"Pertanyaan yang paling krusial itu, menurut saya, 2024 itu kita mau pakai undang-undang yang mana?" ujar Aditya saat dihubungi Republika, Ahad (14/2). 

Saat ini, UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada masih berlaku. Kedua UU itu pada awalnya akan direvisi dalam satu rezim UU Pemilu dengan masuk pada Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2021. Namun, muncul penolakan terhadap pembahasan Rancangan UU Pemilu oleh sebagian besar fraksi di DPR. 

Aditya menuturkan, meski dibatalkan pada 2021, pembahasan revisi UU Pemilu bisa saja muncul pada tahun berikutnya. Hal itu akan bergantung pada keputusan politis fraksi-fraksi partai politik di DPR.

 
Menurut KPU, tahapan penyelenggaraan Pemilu 2024 akan dimulai sekitar Agustus 2022.
 
 

Namun, UU 7/2017 yang masih berlaku mengatur agar tahapan pemilihan dimulai 20 bulan sebelum hari pemungutan suara. Menurut Komisi Pemilihan Umum (KPU), tahapan penyelenggaraan Pemilu 2024 akan dimulai sekitar Agustus 2022. 

Maka, kata Aditya, jauh sebelum waktu tersebut, semua regulasi peraturan perundangan-undangan harus sudah dapat dipastikan, baik itu akan menggunakan UU Pemilu baru ataupun tetap dengan UU 7/2016. Sebab, KPU pun membutuhkan kepastian hukum untuk mempersiapkan regulasi teknis pelaksanaan Pemilu 2024.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Bawaslu RI (bawasluri)

Catatan

Wakil Ketua Eksternal Komisi Nasional HAk Asasi Manusia (Komnas HAM) Amiruddin Al-Rahab menyarankan KPU dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) untuk menyampaikan catatan resmi kepada DPR dan presiden mengenai rencana pelaksanaan Pemilu 2024. Catatan itu terkait dengan kendala-kendala yang dikhawatirkan akan terjadi dalam pelaksanaan pemilu dan pilkada serentak. 

"Catatan itu adalah pelajaran dan pengalaman nyata selama menyelenggarakan pemilu serentak di 2019 dan pikada serentak 2020," ujar Amiruddin. 

Ia mengatakan, KPU sebagai pelaksana UU tidak bisa sekadar mengeluhkan beban penyelenggara atas pelaksanaan Pemilu 2024 nanti. Akan tetapi, KPU perlu mengemukan secara rasional dan resmi mengenai tantangan-tantangan dalam melaksanakan Pemilu 2024 dengan lima kotak suara, dan pada tahun yang sama juga ada Pilkada 2020.

"Jika ada catatan resmi, itu perubahan UU Pemilu bukan sekadar utak-atik politik, tapi sungguh-sungguh untuk menjawab tantangan riil di lapangan," kata dia.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat