Foto udara kawasan permukiman padat penduduk di Kelurahan Dasan Agung, Mataram, NTB, Senin (25/1). | ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi

Tajuk

Tantangan Negara 270 Juta Penduduk

Respons kebijakan pangan pemerintah dirasa selalu kurang cepat ketimbang permasalahan yang timbul.

Agak senyap dari sorotan, pekan lalu Badan Pusat Statistik (BPS) merilis hasil sensus penduduk terkini Indonesia 2020. Per September tahun lalu, jumlah penduduk Indonesia sudah sebesar 270,20 juta jiwa. Mengacu pada data Kementerian Dalam Negeri dua bulan kemudian, Desember 2020, jumlah penduduk Indonesia sudah bertambah satu juta jiwa, mencapai 271,35 juta jiwa.

Bahkan, sekilas saja hasil sensus penduduk memberikan tantangan besar bagi Indonesia. Besarnya penduduk negara ini menjadikan peluang, sekaligus permasalahan tersendiri ke depan. Apalagi, dari postur sensus BPS di atas menyatakan bahwa kelompok penduduk terbesar adalah kelompok usia produktif.

Bisalah kita memilah ada dua tantangan utama dari besarnya penduduk Indonesia. Pertama, konsekuensi logis dari jumlah penduduk yang besar adalah kesiapan pemerintah menyediakan pangan dalam jumlah yang cukup. Kesiapan pangan bersinggungan dengan kebijakan pertanian dan perdagangan. Pangan yang tidak cukup harus ditebus dengan kebijakan produksi lanjutan dan impor pangan. 

 
Respons kebijakan pangan pemerintah dirasa selalu kurang cepat ketimbang permasalahan yang timbul.
 
 

Ada beberapa pangan kunci, yang sayangnya, pemerintah masih harus mengimpor dalam jumlah besar, seperti beras, gula, garam, gandum, dan daging. Bisa kita bayangkan kalau tidak ada perbaikan tata produksi beras, daging, gula, dan garam, kita akan terus-menerus menjadi konsumen pangan impor.

Padahal, petani dan peternak lokal kita bisa menyiasati kekurangan ini, asal dibarengi dengan bantuan program dari pemerintah. Namun, kita melihat sampai sekarang justru program itu tidak pernah tuntas menyelesaikan masalah.

Respons kebijakan pangan pemerintah dirasa selalu kurang cepat ketimbang permasalahan yang timbul. Padahal, permasalahan itu selalu berulang saban tahun. Bisalah kita mengira, pemerintah masih kurang serius membenahi dan menyelesaikan masalah kedaulatan dan ketahanan pangan. Kita mendesak pemerintah lebih fokus dan lebih serius lagi menyelesaikan persoalan pasokan pangan, agar pangan lokal kita berdaulat di negeri sendiri, tidak memuja impor.

Tantangan kedua adalah sumber daya manusia. Akhir pekan lalu, Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) menggelar seri diskusi membahas potensi besar SDM nasional. Bonus demografi yang diperkirakan mencapai puncaknya 25 tahun lagi, harus disikapi dengan kebijakan yang tepat. ICMI mengusung kebijakan perbaikan kualitas pendidikan agar kualitas SDM meningkat.

 
Namun, di sinilah kita harus tegas mengkritisi. SDM berkualitas bukan berarti semata kita menjadi bangsa pekerja. 
 
 

Di tengah pagebluk Covid-19, imbauan ICMI ini terasa amat penting. Pemerintah pekan lalu, sudah memberi sinyal ada potensi generasi pendidikan yang 'hilang' akibat pembelajaran jarak jauh. Butuh solusi cepat dan tepat, juga tentu responsif di berbagai daerah yang berbeda, untuk mencegah meluasnya kemerosotan kualitas siswa tersebut.

Secara sederhana, bisalah kita rumuskan: Penduduk yang banyak akan menghasilkan tenaga kerja yang banyak, belum tentu produktif. Realitasnya memang inilah yang tengah terjadi. Realitasnya pula, pemerintah mendukung kebijakan postur besar tenaga kerja ini. Fokus kebijakan pemerintah di sektor SDM mengarah ke pendidikan vokasi untuk mencetak SDM pekerja lewat investasi asing dan dalam negeri.

Namun, di sinilah kita harus tegas mengkritisi. SDM berkualitas bukan berarti semata kita menjadi bangsa pekerja. Negara ini justru lebih membutuhkan SDM berkualitas untuk membuka lapangan kerja. Negara ini memang amat kekurangan pengusaha.

Rasio pengusaha per penduduk Indonesia masih yang terendah, bahkan di level ASEAN. Artinya apa? SDM berkualitas kita harusnya diarahkan untuk mampu mandiri menjadi pengusaha, bukan sekadar karyawan. 

Tren ekonomi digital bisa jadi pintu masuk SDM berkualitas menjadi pengusaha berkualitas. Ke arah inilah harusnya kebijakan SDM pemerintah difokuskan. Membuka pintu akses sebesar-besarnya setiap warga negara agar bisa menjadi pengusaha yang berkualitas.

Pemerintah harusnya menjamin SDM berkualitas bisa memiliki akses permodalan, akses teknologi, dan akses jejaring yang sama untuk menjadi pengusaha. Bukan malah membiarkan akses-akses ini hanya dikuasai kelompok-kelompok tertentu. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat