Sejumlah pedagang daging sapi beraktivitas di los daging saat aksi mogok jualan di pasar tradisional Pasar Minggu, Jakarta, Rabu (20/1). Aksi mogok tersebut serentak dilakukan pedagang daging sapi di Jabodetbek sebagai bentuk protes melonjaknya harga dagi | Republika/Thoudy Badai

Opini

Redefinisi Swasembada Daging

Dalam konteks daging, tak lagi swasembada daging sapi, tapi swasembada daging.  

KHUDORI, Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) 

Masalah berulang: pedagang daging sapi mogok jualan. Masalahnya sama dengan perajin tahu-tempe yang mogok jualan awal Januari 2021: harga naik. Harga daging di tingkat eceran Rp 130 ribu per kilogram (kg), melonjak tinggi ketimbang tahun 2020.

Tatkala daya beli masyarakat belum pulih, pedagang dilematis. Jika tetap berjualan, pembeli sepi karena harga tak terjangkau. Jika tidak berjualan, dapur tidak mengebul.

Dampak ikutannya, pedagang kecil pengguna daging sapi sebagai bahan baku, seperti tukang bakso, penjual rawon, tak bisa berjualan. Ini berulang jika akar masalah tak diselesaikan: ketergantungan pada daging impor, baik daging beku maupun sapi hidup, ini berulang.

 
Swasembada daging sapi dicanangkan sejak tahun kedua Presiden SBY menjabat, yaitu pada 2005. 
 
 

Swasembada daging sapi dicanangkan sejak tahun kedua Presiden SBY menjabat, yaitu pada 2005. Sampai SBY lengser, belum tercapai. Target swasembada diteruskan Presiden Jokowi, tetapi juga belum bisa diraih. Ketergantungan impor masih tinggi, 30-39 persen.

Kenaikan harga daging kali ini terjadi karena dua hal. Pertama, harga sapi hidup di pasar dunia naik. Pada Juli 2020, rerata harga sapi hidup 3,6 dolar AS per kg, saat ini 3,95 dolar AS per kg, di luar biaya transportasi dan bongkar-muat di pelabuhan.

Australia sebagai pemasok utama daging ke Indonesia, sedang memulihkan populasi ternaknya. Di sisi lain, permintaan tinggi datang dari kompetitor Indonesia, yakni Cina. Ditambah guncangan rantai logistik global, harga sapi hidup pun terkerek tinggi.

Kedua, rantai pasok tidak efisien dan jauh dari keadilan. Menurut data Gabungan Pelaku Usaha Peternakan Sapi Potong Indonesia (Gapuspindo), memakai kurs referensi BI, harga sapi hidup saat ini setara Rp 55.556 per kg.

Daya beli yang sanggup diserap pemotong berkisar Rp 50 ribu per kg. Karena itu, Gapuspindo menjual rugi, rerata Rp 8.000 per kg. Di sisi lain, harga karkas di distributor Rp 125 ribu-Rp127 ribu per kg. Artinya, distributor mengambil margin amat tinggi: 25-27 persen per kg.

 
Ini penting untuk memastikan tak ada pihak mengeruk keuntungan besar di tengah kondisi susah karena pandemi.
 
 

Hal ini tak adil karena pelaku yang punya jasa paling besar justru menerima margin kecil, bahkan merugi. Karena itu, pada tempatnya Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan Satgas Pangan Polri turun tangan menyelidiki masalah ini.

Ini penting untuk memastikan tak ada pihak mengeruk keuntungan besar di tengah kondisi susah karena pandemi, juga memastikan margin keuntungan para pihak proporsional sesuai jasa dalam distribusi.

Idealnya, peternak dan pelaku usaha seperti Gapuspindo mendapat margin proporsional. Di luar itu, sepertinya kita mesti mendefinisikan swasembada daging. Selama ini, sebagai konsumen, kita menganggap daging sapi tak tersubstitusi.  

Padahal, konsumsi daging sapi rata-rata warga Indonesia rendah, yakni 2,61 kg per kapita per tahun. Jauh dibandingkan Filipina (7 kg), Singapura (15 kg), apalagi Argentina (55 kg). Konsumsi daging sapi tertinggal dari konsumsi daging ayam per kapita: 10-11 kg per tahun.

Sejauh ini, tingkat partisipasi konsumsi warga terhadap daging sapi juga rendah, yaitu 15,2 persen, bandingkan dengan daging unggas yang mencapai 65,56 persen dan telur ayam 80 persen. Ini karena daging sapi komoditas high income elastic.

 
Jika tujuan swasembada daging sapi memperluas akses masyarakat ke sumber protein dengan harga terjangkau, langkah itu tidak tepat. 
 
 

Daging sapi dikonsumsi golongan rumah tangga berpendapatan menengah ke atas. Jika diselami lebih dalam, angka 15,2 persen itu pun terkonsentrasi di Jabodetabek. Deretan fakta itu menuju satu hal, mendorong konsumsi daging sapi, langkah yang salah.

Daging unggas, plus telur ayam, terbukti mampu mendukung ketahanan pangan hewani daging asal ternak domestik, mudah diakses dan terjangkau masyarakat, serta sumber protein murah.

Jika tujuan swasembada daging sapi memperluas akses masyarakat ke sumber protein dengan harga terjangkau, langkah itu tidak tepat. Mendorong konsumsi daging sapi juga mengancam keseimbangan pangsa komoditas daging.

Keseimbangan pangsa komoditas daging (sapi, kerbau, domba, dan unggas) perlu dijaga untuk mempertahankan eksistensi setiap sumber daging. Kondisi seimbang akan mempertahankan diversifikasi pangan daging asal ternak.

Kalau orientasinya kelezatan, bukankah banyak jenis daging lain yang bisa diolah sebagai pengganti daging sapi? Satai ayam atau daging kelinci tak kalah lezat, bahkan lebih enak, ketimbang satai daging sapi. Lebih dari itu, harganya lebih murah.

 
Perubahan perilaku konsumsi ini, mengubah pola swasembada yang selama ini terjebak pada komoditas.
 
 

Kalau tujuannya kandungan gizi sumber protein, bukankah banyak sumber protein yang setara bahkan lebih tinggi daripada daging sapi, seperti daging ayam, telur, dan aneka jenis ikan (belut, gabus, dan lele misalnya), dengan harga yang tak membuat kantong jebol?

Ketika konsumen beralih ke komoditas lain, dengan sendirinya permintaan atas daging sapi turun. Sesuai hukum besi supply-demand, ketika demand menurun harga juga akan mengikuti. 

Perubahan perilaku konsumsi ini, mengubah pola swasembada yang selama ini terjebak pada komoditas. Dalam konteks daging, tak lagi swasembada daging sapi, tapi swasembada daging atau swasembada protein.

Setiap daerah dengan potensi khas lokal, bisa menyumbang target swasembada daging nasional. Ketika salah satu jenis komoditas daging harganya naik, tak membuat isi Republik ini resah karena warga bisa beralih ke aneka daging pengganti, tanpa terjebak daging sapi. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat