Foto udara bencana tanah longsor di Cimanggung, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Selasa (12/1). | ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi

Tajuk

Bencana Multirisiko

Bencana alam dengan multirisiko bisa diminimalisasi bila kita mengetahui peta bencana.

Serangkaian bencana alam mengguncang keprihatinan publik sepanjang awal tahun ini. Mengoyak-oyak rasa kemanusiaan kita karena rentetan bencana alam itu terjadi kala pandemi Covid-19 belum juga berakhir.

Bahkan, tren kenaikan kasus positif Covid-19 ini terjadi bersamaan dengan bencana alam, yang melanda sejumlah wilayah. Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada periode 1-20 Januari 2021, tercatat ada 177 kejadian bencana alam.

Banjir mendominasi kejadian bencana alam ini, yang diikuti angin beliung dan tanah longsor. Bencana alam ini menimbulkan 932.207 jiwa mengungsi, 166 jiwa meninggal, dan dua hilang serta 965 jiwa luka.

Berdasarkan data BNPB ini, ada 120 kejadian banjir dan 20 kejadian tanah longsor. Sebanyak 1.882 rumah rusak dan 38 fasilitas umum atau sosial yang rusak. Dua kantor dan 27 jembatan rusak. Kita berharap angka-angka tersebut tidak bertambah.

 
Apalagi, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memprakirakan, bencana hidrometeorologi masih menjadi ancaman hingga dua bulan mendatang.
 
 

Untuk itu, kewaspadaan terhadap bahaya bencana alam jangan sampai kendur. Apalagi, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memprakirakan, bencana hidrometeorologi masih menjadi ancaman hingga dua bulan mendatang.

Sepekan ke depan, BMKG memprakirakan bakal terjadi cuaca ekstrem di sejumlah wilayah Indonesia. Hujan lebat yang disertai petir dan angin kencang berpotensi memunculkan kerusakan bagi bangunan dan lingkungan.

Curah hujan di atas rata-rata inilah yang memicu longsor di Desa Cimanggung, Sumedang, Jawa Barat. Curah hujan tinggi ini pula yang disebut-sebut menjadi penyebab banjir yang melanda Kalimantan Selatan.

Tingginya curah hujan yang tak disertai infrastruktur lingkungan yang tertata baik, tentu memperparah bencana alam sebagai dampak ikutan. Boleh jadi mayoritas masyarakat kita memahami bahwa Indonesia berada di wilayah dengan potensi bencana alam.

Berada di ribuan pulau, dalam sabuk cincin api yang melingkar dari Jepang hingga Samudra Pasifik, pertemuan dua lempeng benua Indo-Australia dan Eurasia, serta dua musim hujan kemarau berimplikasi pada potensi bencana alam.

 
Bisa jadi, sebagian besar masyarakat kita memahami pengetahuan tersebut. Apalagi, sejumlah daerah memiliki kearifan lokal soal ini. 
 
 

Bisa jadi, sebagian besar masyarakat kita memahami pengetahuan tersebut. Apalagi, sejumlah daerah memiliki kearifan lokal soal ini. Namun, mungkin sedikit yang menyadari dan mencegah kerusakan akibat bencana alam yang berpotensi terjadi, diminimalisasi.  

Mulai dari hal sederhana tentang membuang sampah, membangun rumah di lokasi yang tak merusak alam, menentukan permukiman dengan mempertimbangkan daya dukung lingkungan, memelihara hutan dengan tak menebang pohon sembarangan, dan lainnya.

Dalam hal ini, masyarakat kita masih abai agar bisa berdamai dengan alam. Hidup berdampingan dengan alam tanpa merusaknya. Tengok saja di sejumlah tempat wisata pegunungan bagaimana permukiman dibangun.

Akankah mematuhi aturan tata ruang daerah yang ditetapkan? Kalaupun memenuhi tata ruang, bagaimana dengan pengaturan bangunan dan fasilitas umumnya?  Masih banyak pertanyaan mengenai ketaatan pada aturan yang dicurangi ini.

Bukan tak mungkin, elite masyarakat berkomplot dengan oknum birokrat sehingga pelanggaran aturan kewilayahan ini terjadi.

 
Bencana alam dengan multirisiko bisa diminimalisasi bila kita mengetahui peta bencana.
 
 

Tentu saja pemahaman masyarakat pada peta bencana adalah keniscayaan. Masyarakat akan bijak menentukan tempat tinggal bila mengetahui peta bencana: mana daerah gempa, longsor, banjir, dan seterusnya.

Peran pemerintah pusat ataupun daerah penting dalam hal ini. Ketegasan dan penegakan hukum tanpa pilah pilih, akan menentukan bencana alam itu tak memunculkan multirisiko bagi penghuninya.

Bencana alam dengan multirisiko bisa diminimalisasi bila kita mengetahui peta bencana; membuat tata ruang permukiman, perkantoran, ataupun kawasan bisnis yang disesuaikan dengan peta bencana tersebut.

Edukasi dan sosialisasi mengenai hal ini menjadi keniscayaan. Semoga, bencana dengan multirisiko itu bisa kita lalui dengan meminimalkan risikonya.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat