Petugas bersiaga di gardu transaksi Gerbang Tol Palimanan, Cirebon, Kamis (26/11). | Republika/Edwin Dwi Putranto

Tajuk

Mengkritisi Kenaikan Tarif Tol 

Alasan kenaikan tarif dipengaruhi inflasi juga harus lebih dikritisi.

Manajemen PT Jasa Marga (Persero) Tbk menyesuaikan tarif pada enam ruas tol yang dioperasikan anak usahanya mulai Ahad, 17 Januari 2021, pukul 00.00 WIB. Keenam ruas tol itu adalah Jakarta Outer Ring Road/JORR (E1, E2, E3, W2U, W2S, dan Pondok Aren-Bintaro Viaduct-Ulujami). Selan itu, ruas Cikampek-Padalarang (Cipularang), Padalarang-Cileunyi (Padaleunyi), Semarang Seksi A, B, C, Palimanan-Kanci (Palikanci), dan Surabaya-Gempol (Surgem).

Dalam jumpa pers secara daring, Kamis (14/1), Corporate Secretary PT Jasa Marga (Persero) Tbk Agus Setiawan mengatakan, payung hukum pemberlakuan tarif baru pada enam ruas tol tersebut telah ditetapkan oleh Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Basuki Hadimuljono. Menteri PUPR mengeluarkan keputusan menteri (kepmen) sejak 2020.

Rencana kenaikan tarif tol di enam ruas yang dikelola Jasa Marga tersebut, sesungguhnya akan diwujudkan pada tahun lalu. Namun, protes banyak berdatangan. Termasuk dari Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, untuk ruas tol Cikampek-Padalarang. Kenaikan tarif tol yang harusnya direalisasikan September 2020 pun ditunda.

 
Tapi pandemi Covid-19 belum berakhir. Ekonomi pun belum jelas, apakah akan segera membaik.
 
 

Saat ini protes tak lagi terdengar. Tapi pandemi Covid-19 belum berakhir. Ekonomi pun belum jelas, apakah akan segera membaik. Padahal, kita tahu soal Covid-19 dan ekonomi yang menjadi alasan utama terhadap penolakan kenaikan tarif tol tahun lalu, saat ini kondisinya tak jauh berbeda. Beberapa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) lain seperti PLN pun masih melanjutkan subsidi untuk tarif listrik buat masyarakat pada 2021 ini. Pertamina di sejumlah daerah menerapkan harga Pertalite seharga Premium. 

Seharusnya, sebagai BUMN, Jasa Marga bisa melakukan langkah serupa seperti yang dilakukan PLN ataupun Pertamina. Kalaupun dengan penundaan tarif pendapatan Jasa Marga akan terpangkas, pemerintah sebagai pemegang saham mayoritas di BUMN akan memahami. Pemerintah bisa memaklumi dividen dari Jasa Marga berkurang karena adanya sejumlah ruas tol yang tarifnya tidak dinaikkan. Pemerintah juga pernah memaklumi potensi dividen dari Semen Indonesia yang berkurang beberapa tahun lalu. Saat itu Presiden Joko Widodo meminta PT Semen Indonesia Grup menurunkan harga jual semennya.

Namun, Jasa Marga sepertinya tetap pada pendiriannya untuk menaikkan tarif tol saat ini. Mereka juga beralasan penyesuaian tarif tol telah diatur dalam Pasal 48 ayat (3) Undang-Undang (UU) Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan dan Pasal 68 ayat (1), Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol, sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan PP Nomor 30 Tahun 2017 tentang perubahan ketiga atas PP Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol. Berdasarkan regulasi tersebut, evaluasi dan penyesuaian tarif tol dilakukan setiap dua tahun sekali berdasarkan pengaruh laju inflasi.

 
Seharusnya Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) kembali melakukan evaluasi terhadap ruas yang akan dinaikkan tersebut.
 
 

Jikapun kenaikan tarif memang tetap diberlakukan, seharusnya Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) kembali melakukan evaluasi terhadap ruas yang akan dinaikkan tersebut. Setidaknya terpenuhinya Standar Pelayanan Minimal (SPM), antara lain dengan perbaikan jalanan berlubang. Para pengguna jalan tol harus memperoleh keuntungan ketika melintas di jalan tol dibandingkan di ruas jalan non-tol.

Cara mengukurnya melalui Besar Keuntungan Biaya Operasi Kendaraan (BKBOK), yakni selisih biaya operasi kendaraan dan nilai waktu pada jalan tol dan lintas alternatifnya maksimum 70 persen. Pemilik kendaraan yang melintas di jalan tol dengan membayar tarif maka keharusan komponen kendaraannya lebih lama. Karena itu, jalan tol harus mulus dan tidak boleh berlubang. Tapi, pada kenyataannya, sejumlah ruas yang tarifnya akan naik mulai 17 Januari 2021 masih ada yang berlubang di sana-sini.

Alasan kenaikan tarif dipengaruhi inflasi juga harus lebih dikritisi. Inflasi sepanjang dua tahun terakhir, yakni 2019 dan 2020 cukup kecil. Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS) inflasi tahun 2020 sebesar 1,68 persen dan 2019 sebesar 2,72 persen. Karena itu, angka kenaikan tarif tol juga harus sangat minimal persentasenya.

Kita juga berharap, pemerintah tidak lagi melakukan pembulatan saat menerapkan tarif baru. Sebelum ini pemerintah mematok di angka Rp 500 untuk memudahkan transaksi, khususnya untuk uang kembalian ketika transaksi tol masih dengan tunai. Apabila kenaikan tarif tol suatu ruas dihitung berdasarkan persentase ketemu di angka Rp 1.300, akan dibulatkan menjadi Rp 1.500.

Sebaliknya, jika kenaikannya ketemu angka Rp 1.200, akan dibulatkan ke bawah menjadi Rp 1.000. Masalahnya sebelum ini pembulatannya lebih banyak ke atas bukan ke bawah sehingga merugikan pengguna jalan. Karena transaksi di gardu tol tidak lagi menggunakan uang tunai maka berapa pun pecahannya, transaksi dapat dengan mudah dilakukan.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat