Azyumardi Azra | Daan Yahya | Republika

Resonansi

'Irreligiusitas' Agama dan Politik (4)

Reformasi politik di negara-negara Muslim sangat urgen untuk merespons peningkatan irreligiusitas.

Oleh AZYUMARDI AZRA

OLEH AZYUMARDI AZRA

Reformasi politik di negara-negara Muslim sangat urgen untuk merespons peningkatan irreligiusitas, non-practising menjadi ateis atau pindah agama di kalangan Muslim. Selama kekacauan politik dan konflik berlanjut, selama itu pula ada kalangan Muslim yang frustrasi dan terganggu keimanannya.

Selain itu, perlu mengadopsi dan mengembangkan Islam Wasathiyah. Penanaman Islam Wasathiyah dengan karakter tawasuth, tawazun, i’tidal, dan tasamuh amat urgen.

Jika setiap Muslim mengamalkan Islam Wasathiyah, bisa terwujud masyarakat Muslim yang hidup berkesesuaian antara cita Islam damai dan realitas; harmonis dan rukun sesama Muslim meski mazhab dan aliran berbeda sekaligus dengan umat agama lain.

Namun, tak mudah menumbuhkan Islam Wasathiyah. Kesulitan terkait sektarianisme keagamaan sudah akut, bermula tak lama pasca-Rasulullah Muhammad SAW. Sektarianisme terjadi tak hanya di antara dua kelompok besar Islam—Suni dan Syiah, tetapi juga intra-Suni dan intra-Syiah.

 

 
Jika setiap Muslim mengamalkan Islam Wasathiyah, bisa terwujud masyarakat Muslim yang hidup berkesesuaian antara cita Islam damai dan realitas.
 
 

Lebih parah, di masing-masing pihak ada kelompok sempalan dengan ajaran ekstrem dengan praksis kekerasan atas nama agama. Sektarianisme bernyala-nyala, tak pernah padam dan berlanjut sampai sekarang dengan intensitas berbeda di hampir seluruh wilayah dunia Muslim. Ada masa sektarianisme sangat meningkat, tapi juga ada masa sektarianisme mengendap ke bawah permukaan kehidupan keagamaan.

Peningkatan sektarianisme sering terjadi ketika sebagian kaum Muslim menganggap Islam dalam posisi defensif. Baik secara internal ketika berhadapan dengan kelompok Muslim lain yang hegemonik, tapi berbeda paham, maupun ketika kaum Muslim dianggap mengalami kemunduran sejak abad ke-17 dan seterusnya. Mereka berhadapan dengan kekuatan Eropa yang kian agresif menguasai wilayah Muslim.

Pada titik ini, di kalangan Muslim bangkit persepsi bahwa kemunduran Islam karena banyak penganutnya tidak lagi mengamalkan Islam murni.

Untuk membangkitkan kembali kejayaan kaum Muslim vis-a-vis ekspansi kekuatan asing, kaum Muslim harus kembali kepada Islam murni, yang mereka anggap Islam terbaik, yang diamalkan generasi sahabat Nabi dan tabiin yang secara kolektif disebut salaf.

Kebangkitan salafisme, mewakili revivalisme Islam yang menampilkan ‘konservatisme’ Islam literal dan kaku.

 
Sektarianisme bernyala-nyala yang berganda dengan sektarianisme yang ketat, membuat posisi Islam dan kaum Muslimin yang kian sulit ketika harus berhadapan dengan modernitas.
 
 

Paham ini tidak hanya menimbulkan kegaduhan di kalangan kaum Muslim sendiri, tetapi juga membawa Islam ke dalam ketidaksesuaian dengan perubahan zaman modern dengan modernitas yang terus meningkat.

Sektarianisme bernyala-nyala yang berganda dengan sektarianisme yang ketat, membuat posisi Islam dan kaum Muslimin yang kian sulit ketika harus berhadapan dengan modernitas. Penghadapan di antara kedua entitas ini tidak jarang melibatkan ekstremisme kekerasan.

Keadaan ini turut membawa banyak komunitas dan kawasan Muslimin ke dalam krisis berkelanjutan. Termasuk di antara krisis itu adalah kegoyahan keimanan-keislaman di kalangan Muslim. 

Sektarianisme bernyala dengan konservatisme yang terus dikobarkan sebagian penceramah agama, bukan memperkuat keimanan melainkan malah menimbulkan keguncangan. Sulit menemukan ketenteraman batin untuk memperkuat kembali keimanan. 

Berhadapan dengan krisis itu, Mustafa Akyol (How Islamists are Ruining Islam, 2018) menyarankan penguatan kembali pemikiran dan praksis modernisme Islam atau ‘progresivisme Islam’.

 
Jadi, adopsi kemodernan tidak harus mengorbankan Islamisitas.
 
 

Akyol percaya, paradigma ini paling aman bagi kaum Muslim dalam melangkah ke depan. Namun agaknya Akyol lupa, modernisme Islam telah lama dikritik karena kecenderungan yang terlalu kuat pada modernisme dan modernitas dengan mengorbankan akar dan tradisi Islam.

Karena itu, jalan paling tepat agaknya adalah dengan mengembangkan neo-modernisme atau pasca-modernisme. Dalam kerangka ini, modernisme dan modernitas dapat diadopsi dengan tetap berpegang teguh pada warisan (turats) dan tradisi Islam.

Jadi, adopsi kemodernan tidak harus mengorbankan Islamisitas. Namun, masyarakat Muslim tak hanya diwakili modernisme Islam atau kemudian neo-modernisme atau pascamodernisme, tapi juga terdapat sayap lain yang juga sangat besar, yaitu tradisionalisme Islam, yang kemudian berkembang menjadi neo-tradisionalisme atau pasca-tradisionalisme.

Kedua paradigma ini, di awal perkembangan pada dasawarsa awal abad ke-20 cukup terpisah satu sama lain.  

Namun, dalam masa kontemporer, dengan perubahan sosiologi masyarakat Islam karena mobilitas pendidikan dan ekonomi,  neo-modernisme atau pasca-modernisme dan neo-tradisionalisme atau pasca-tradisionalisme mengalami konvergensi. Konvergensi memperkuat Islam Wasathiyah. Inilah masa depan Islam. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat