Asma Nadia | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Pelajaran Berharga dari Kerusuhan di US Capitol

Tentu, masih banyak remah pelajaran yang bisa dipungut mereka yang mencari hikmah dari berbagai kejadian.

Oleh ASMA NADIA

OLEH ASMA NADIA

Mata dunia seketika terbelalak. Betapa tidak? Sebuah aksi demonstrasi di Amerika Serikat sedemikian mudah menaklukkan gedung Kongres Amerika.

Padahal, dilihat dari jumlah, massa demo terbilang sedikit. Jauh lebih kecil daripada gerakan Black Lives Matter yang mengumpulkan sekitar setengah juta orang pada awal Juni 2020.

Terlepas dari jumlah peserta, aksi yang pencapaiannya mencengangkan ini memberi pelajaran demokrasi bagi warga dunia. Pertama, bagian dari demokrasi bukan sekadar menang atau kalah, juga keikhlasan menerima kekalahan dan legawa mengakui kemenangan lawan.

Mantan presiden AS, Barack Obama, menyebut peristiwa di atas sebagai, “…hasil hasutan presiden yang sedang menjabat dan terus berbohong soal hasil pemilihan…”. Mengingat, sebelumnya Presiden Donald Trump sering menyatakan dirinya dicurangi saat pemilu lalu.

Demokrasi juga berarti kesadaran pemimpin untuk mundur pada waktunya. Terkait  kasus Trump, ia seharusnya menarik diri sebab kekalahan kemarin merupakan pertanda tegas waktunya sudah berakhir.

 
Bagian dari demokrasi bukan sekadar menang atau kalah, juga keikhlasan menerima kekalahan dan legawa mengakui kemenangan lawan.
 
 

Namun, Trump tidak sendiri. Keengganan untuk mundur, bahkan mencari cara mengakali UU atau peraturan demi melestarikan kekuasaan, dalam catatan sejarah juga dilakukan pemimpin dunia lainnya.

Mereka tak malu mengajukan diri untuk periode ketiga, bahkan lebih, meski aturan hanya berlaku dua periode, misalnya. Ada yang bahkan mengangkat diri sebagai pemimpin seumur hidup meski sebelumnya kepemimpinan di negara itu dibatasi rentang waktu tertentu.

Kedua, terkait konflik kekuasaan, pada akhirnya selalu yang menjadi korban terbesar adalah rakyat biasa. Pepatah, jika dua gajah bertarung, pelanduk mati di tengah-tengah, terbukti.

Presiden Trump bisa saja menganggap dirinya hanya bermain kata. Namun, di akar rumput, empat nyawa terenggut dan 52 orang ditangkap akibat kekacauan di Gedung Capitol. Belum lagi kerugian materiel dan imateriel lain.

Ketiga, tidak mustahil justru untuk mengawal demokrasi dan konstitusi terkadang keputusan untuk sedikit menyimpang dari kelaziman hukum dibutuhkan. Sedianya Wapres AS Mike Pence diberi tugas Presiden Trump menolak hasil sidang Kongres.

Di atas kertas, sebagai wakil presiden, ia harus mematuhi atasan. Namun, ia memilih menolak dan bersikap berbeda dengan mengakui secara resmi hasil perhitungan suara yang memenangkan Joe Biden melalui perolehan suara elektoral 306 berbanding 232 untuk Trump.

 
Faktanya, tidak jarang pemimpin negara, hasil pemilihan demokratis sekalipun, bertindak atas dasar emosi, ego, atau kepentingan pribadi.
 
 

Faktanya, tidak jarang pemimpin negara, hasil pemilihan demokratis sekalipun, bertindak atas dasar emosi, ego, atau kepentingan pribadi serta melanggar konstitusi dan bukan menyandarkan pada kepentingan rakyat.

Dalam situasi seperti ini, jajarannya harus berani berkata tidak dan meluruskan sikap yang salah. Sebuah sumber sempat menulis, ada keengganan Trump  mengirimkan pasukan Garda Nasional untuk mengamankan situasi. Wallahu a’lam.

Namun, Wapres Mike Pence menghubungi Kepala Staf Gabungan Jenderal Mark Milley agar menempatkan Garda Nasional ke Washington DC sesegera mungkin. 

Meski menggerakkan pasukan militer bukan wewenang wapres, akhirnya perintah menerjunkan korps cadangan di militer AS justru diberikan penjabat Menteri Pertahanan Christopher Miller setelah berdiskusi dengan Pence. Intinya apa pun yang terbaik bagi rakyat.

Tak terbayang kekacauan yang terjadi jika semua lembaga di bawah Trump membabi buta mengikuti apa pun yang diperintahkannya. Syukurlah, dengan disahkannya hasil pemilu yang didukung wapres dan Republikan, Trump menjanjikan transisi kekuasaan secara damai.

Pelajaran keempat adalah soal keadilan dan kesetaraan di mata hukum terkait penanganan massa protes. Dari video dan gambar yang beredar di internet, terlihat mencolok perbedaan sikap aparat dalam menghadapi demonstran.

Jika dibandingkan dengan demo Black Lives Matter di bulan Juni, misalnya, tampak tentara berlapis memenuhi tangga utama. Namun, di demo Januari ini justru anak-anak tangga tersebut berhasil dipenuhi demonstran.

Saat menghalau demo pada Juni, tampak tiga lapis aparat menjaga arus demonstran agar tidak merangsek. Namun, dalam aksi lalu, polisi justru mundur dan melangkah searah dengan demonstran.

Bahkan, dalam kekacauan yang ada, aparat polisi seakan tidak menunjukkan kemarahan dengan ulah peserta aksi, malah sempat ada yang melakukan selfie bersama peserta demo, seolah melebur dengan massa protes.

 
Ketimpangan seperti ini justru akan memperkeruh kepercayaan rakyat pada aparat hukum yang tampak tebang pilih dan memihak.
 
 

Ketimpangan seperti ini justru akan memperkeruh kepercayaan rakyat pada aparat hukum yang tampak tebang pilih dan memihak.

Pelajaran kelima, Amerika selama ini dianggap mercusuar demokrasi, referensi nyata keunggulan demokrasi. Namun, peristiwa belum lama ini menunjukkan, bahkan di negeri tempat iklim demokrasi sedemikian kuat, konstitusi dan kehidupan demokrasi masih bisa tercemar.

Tentu, masih banyak remah pelajaran yang bisa dipungut mereka yang mencari hikmah dari berbagai kejadian, tetapi semoga peristiwa di atas sampai kapan pun tak perlu terjadi di negeri Merah Putih ini.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat