IKHWANUL KIRAM MASHURI | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Normalisasi Hubungan dengan Israel Diganjar Sahara Barat 

Ya, itulah yang namanya bahasa kepentingan. Yang lain adalah nomor kesekian, termasuk nasib bangsa Palestina.

Oleh IKHWANUL KIRAM MASHURI

OLEH IKHWANUL KIRAM MASHURI

Bukan Saudi, Oman, atau Kuwait. Tapi Maroko. Tepatnya Kerajaan Maroko atau al-Mamlakah al-Maghribiyah, sebuah negara Arab di Afrika Utara.

Ya, banyak pengamat memperkirakan tiga negara yang disebut pertama dan berada di kawasan Teluk itulah yang akan menyusul Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, dan Sudan, untuk menormalisasi hubungan dengan Israel. Ternyata, seperti diumumkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, Kamis lalu, Maroko-lah yang menjadi negara Arab terbaru yang setuju menormalisasi hubungan dengan Israel.

"Pencapaian bersejarah lainnya,’’ kata Trump di Twitter. "Dua dari teman terbaik kami, Israel dan Maroko, telah menyetujui hubungan diplomatik penuh.’’

Sebelum ini, Trump beberapa kali menyatakan akan ada beberapa negara Arab yang segera menyusul normalisasi hubungan dengan negara Zionis itu. Para pejabat tinggi AS — antara lain Menlu Mike Pompeo dan menantu Trump yang juga menjadi penasihat utamanya, Jared Kushner — pun mondar-mandir ke Saudi, Oman, dan Kuwait. Tiga negara ini juga dikenal mempunyai hubungan sangat dekat dengan AS.

 
Kebetulan Maroko mempunyai masalah dengan Sahara Barat, sebuah wilayah padang pasir yang luas dan kaya fosfat yang dipersengketakan dua entitas.
 
 

Para pengamat lalu memperkirakan tiga negara Teluk itu akan segera menormalisasi hubungan dengan Israel sebelum Presiden Trump lengser keprabon, terutama Saudi. Apalagi, seperti pernah dibocorkan media Israel Today, Saudi sempat ditawari mengelola Masjid al-Aqsa, kiblat pertama dan tempat suci ketiga umat Islam setelah Makkah dan Madinah.

Tawaran itu, menurut media Israel tadi, dibahas dalam sebuah pertemuan rahasia Israel-Saudi-AS, sebagai bagian dari 'the Big Deal of the Century', yang dirancang Presiden Trump dan timnya untuk menciptakan perdamaian di Timur Tengah.

Belum jelas bagaimana 'nasib' dari tawaran itu. Yang pasti Trump sang presiden yang pebisnis itu ternyata lebih mudah mendekati penguasa Kerajaan Maroko — sebuah pendekatan transaksional, tawar-menawar, imbal-balik, dan untung-rugi.

Kebetulan Maroko mempunyai masalah dengan Sahara Barat, sebuah wilayah padang pasir yang luas dan kaya fosfat yang dipersengketakan dua entitas — Front Polisario/Republik Demokratik Arab Sahrawi dan Maroko. Wilayah di barat laut Afrika ini diklaim Maroko sebagai bagian dari wilayahnya, tapi belum diakui masyarakat internasional.

Kesediaan Maroko menjalin hubungan dengan Israel itulah yang kemudian diganjar Presiden Trump dengan pengakuan AS bahwa 'Sahara Barat adalah bagian dari wilayah Maroko'. Sebuah pengakuan yang sangat mahal, apalagi dari negara super power nomor wahid di dunia.

Juru bicara Gedung Putih mengatakan, pengakuan AS terhadap klaim Maroko atas Sahara Barat merupakan bagian dari kesepakatan itu — normalisasi hubungan dengan Israel.

Proses imbal balik atau transaksional ini sebelumnya juga dilakukan Trump kepada Sudan. Atas kesediaan untuk menandatangani normalisasi hubungan dengan Israel, Presiden Trump juga telah mengganjar Sudan dengan pencabutan cap sebagai negara sponsor teroris plus mencabut embargo ekonomi terhadap negara itu.

 
Bagi Presiden AS, siapa pun itu, dukungan kepada Israel telah menjadi semacam kewajiban. Israel sudah seperti negara bagian dari AS.
 
 

Maroko kini merupakan negara keempat yang menormalisasi hubungan dengan Israel, setelah UEA, Bahrain, dan Sudan. Semua itu berlangsung dalam tahun keempat atau terakhir dalam pemerintahan Presiden Trump. Bila ditambah dengan Mesir dan Yordania, kini terdapat enam negara Arab yang telah menjalin hubungan resmi dengan Israel. 

Selain menjadi inisiator dan fasilitator normalisasi hubungan empat negara Arab tadi dengan Israel, selama bersinggasana di Gedung Putih Presiden Trump juga telah melakukan banyak hal yang menguntungkan negara Yahudi itu. Antara lain memindahkan Kedubes AS dari Tel Aviv ke Yerusalem, mengakui Yerusalem ibu kota Israel, dan menganggap legal pembangunan permukiman Yahudi di daerah pendudukan di Palestina. Juga mengakui Dataran Tinggi Golan yang direbut dari Suriah sebagai bagian dari wilayah Israel.

Bagi Presiden AS, siapa pun itu, dukungan kepada Israel telah menjadi semacam kewajiban. Israel sudah seperti negara bagian dari AS. Namun, Presiden Trump berbeda. Dukungannya mutlak, bahkan membabi buta, termasuk bila harus melanggar kesepakatan internasional.

Dalam proses normalisasi hubungan Maroko dengan Israel kali ini pun, yang lebih aktif adalah Trump dan timnya. PM Israel Benjamin Netanyahu hanya pasif, menunggu, menerima 'barang jadi'. 

Dukungan mutlak Trump kepada Israel ini, selain melaksanakan janji-janji kampanye, juga untuk menjaga loyalitas para penganut Kristen Evangelis, yang menjadi basis pemilihnya. Apalagi bila Trump ingin mencalonkan kembali sebagai presiden pada 2024, maka ia harus mewujudkan mitos-mitos Evangelis tentang Israel dan 'Tanah yang Dijanjikan'.

Bagi Presiden Trump — juga bagi Israel —, Maroko bisa jadi lebih penting ketimbang UEA, Bahrain, dan Sudan. Di negara inilah, tepatnya di Kota Rabat, para pemimpin dunia Islam bertemu untuk mendirikan Organisasi Konferensi Islam (OKI) — yang kemudian berganti nama menjadi Organisasi Kerja Sama Islam — pada 25 September 1969.

Pertemuan dan pembentukan OKI ini sebagai reaksi terhadap pembakaran Masjid al-Aqsa oleh orang-orang Yahudi. Jadi, Maroko adalah simbol. Dan, ketika Maroko menormalisasi hubungan dengan Israel, Trump dan Netanyahu pun berharap negara-negara Arab dan Islam lain akan menyusul.

 
Ya, itulah yang namanya bahasa kepentingan. Yang lain adalah nomor kesekian, termasuk nasib bangsa Palestina. 
 
 

Sementara itu, bagi Maroko, dukungan AS terhadap klaimnya bahwa Sahara Barat merupakan wilayahnya sangatlah penting. Konflik regional di Sahara Barat telah berlangsung selama beberapa dekade, antara Maroko dan Front Polisario yang berupaya mendirikan negara merdeka. Konflik itu mulai muncul sejak penjajah Spanyol meninggalkan Sahara Barat pada 1975.

Sahara Barat membentang di area seluas 266 ribu kilometer persegi di pantai barat laut Benua Afrika. Ia berbatasan dengan Maroko di utara, Aljazair di timur, Mauritania di selatan, dan Samudra Atlantik di barat. Penduduknya sangat kecil, hanya 567 ribu jiwa. Wilayah ini sangat kaya dengan cadangan fosfat dan diyakini mengandung cadangan minyak lepas pantai yang belum dimanfaatkan.

Sekitar 80 persen wilayah itu dikuasai Maroko. Mereka mengatakan Sahara Barat adalah bagian integral dari wilayahnya. Mereka juga menyatakan tidak keberatan wilayah itu memperoleh otonomi selama tetap di bawah kedaulatan Maroko. Klaim pihak Maroko hingga kini belum didukung masyarakat internasional.

Sebaliknya, Front Polisario yang memimpin pemberontakan selama 16 tahun berkeras pada referendum untuk penentuan nasib sendiri, sebagaimana ditetapkan dalam kesepakatan dalam gencatan senjata tahun 1991. Sikap mereka dukukung Aljazair dan Uni Afrika.

Bulan lalu, Front Polisario mengumumkan gencatan senjata yang berlangsung tiga dekade telah diakhiri dengan operasi militer Maroko di zona penyangga. Namun, hal itu disanggah pihak Maroko.

Mereka mengatakan tidak melanggar gencatan senjata. Militer mereka hanya menanggapi provokasi pemberontak Polisario yang telah memblokir jalan utama ke Mauritania.

Juru bicara Gedung Putih pada Kamis lalu menyatakan, AS percaya Negara Sahrawi merdeka bukanlah pilihan realistis untuk menyelesaikan konflik. Otonomi di bawah kedaulatan Maroko adalah satu-satunya solusi yang layak. Kerajaan Maroko mengatakan Washington akan membuka konsulat di Sahara Barat sebagai bagian dari kesepakatan normalisasi hubungan dengan Israel.

Ya, itulah yang namanya bahasa kepentingan. Yang lain adalah nomor kesekian, termasuk nasib bangsa Palestina.

Akibatnya, tuntutan mereka 'normalisasi dengan Israel tidak boleh terjadi kecuali mereka menarik diri dari tanah Palestina yang didudukinya tahun 1967, untuk memungkinkan pembentukan negara Palestina merdeka, dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya', semakin tidak didengar. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat