Sejumlah warga berdoa bersama pada Doa Damai Lintas Iman di Taman GOR, Palu, Sulawesi Tengah, Rabu (2/12/2020) malam. Doa bersama yang diikuti perwakilan seluruh agama dan diinisiasi Gerakan Perempuan Bersatu Sulawesi Tengah itu digelar sebagai sikap peno | ANTARA FOTO/Basri Marzuki

Laporan Utama

Redam 'Api di Dalam Sekam' Teror Sigi

Redam gerakan ekstremisme yang sudah ada, baca juga potensi gerakan teror baru.

Masyarakat di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, dibuat terkejut dengan aksi teror yang menyerang jemaat gereja. Empat warga tewas oleh gerombolan teroris pimpinan Ali Kalora. Pertanyaan pun muncul mengapa aksi teror kerap terjadi menjelang akhir tahun di bumi Sulawesi Tengah? Apakah benar ada pihak-pihak tertentu yang tidak ingin melihat kehangatan toleransi di bumi Sulawesi? 

Huber SP, warga Desa Lembantongoa, Kecematan Palolo, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, masih takut beraktivitas di kebun seusai penyerangan terduga teroris MIT yang menewaskan empat warga transmigrasi pada Jumat (27/11).

"Kami tidak berani pergi ke kebun, meski jaraknya tidak jauh dari rumah, sebab sangat khawatir dengan keamanan dan keselamatan jiwa kami," kata Huber.

Pengurus kelompok tani di Desa Lembantongoa itu mengatakan, peristiwa berdarah tersebut membuat warga transmigrasi maupun masyarakat di Desa Lembantongoa memilih untuk tinggal sementara di rumah. Padahal, dia menjelaskan, untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari, mereka selama ini dari hasil pertanian dan perkebunan.

Hasil panen setelah dijual, uangnya digunakan untuk membeli berbagai barang/bahan kebutuhan sehari-hari. "Tapi mau bagaimana lagi, lebih baik kami tidak ke kebun, daripada jiwa kami terancam dari serangan teroris," kata Huber.

Hal senada juga diungkapkan Jefri, salah seorang warga Dusun Tokelemo, Desa Lemban tongoa, Kecamatan Palolo. Setelah pembunuhan keji tersebut, masyarakat saat ini hanya tinggal di rumah. Mereka lebih memilih untuk tidak melakukan aktivitas di kebun, sebab masih takut akan ke selamatan jiwanya.

Memang, kata dia, sudah banyak aparat yang datang ke Desa Lembantongoa, tetapi masyarakat umumnya masih trauma berat dengan kejadian yang mengerikan tersebut.

photo
Sejumlah anak-anak bermain di sekitar perkampungan mereka di Desa Lembantongoa, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, Ahad (29/11/2020). Warga berharap aparat keamanan untuk dapat segera menangkap para pelaku penyerangan yang diduga dilakukan kelompok teroris MIT pimpinan Ali Kalora yang terjadi pada Jumat (27/11/2020) lalu yang menewaskan empat orang warga desa setempat - (ANTARA FOTO/Faldi/Mohamad Hamzah)

Pada Jumat (27/11) sekitar pukul 08.00 WITA, sekelompok orang tak dikenal (OTK) yang diduga kuat adalah anggota MIT Poso menyerang permukiman warga transmigrasi di wilayah tersebut. Ada empat warga transmigrasi yang dibunuh dan beberapa rumah dibakar habis rata dengan tanah.

Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, peristiwa Sigi mencoreng nama Indonesia yang dikenal sebagai negara penuh toleransi. Peristiwa yang menewaskan sejumlah jemaat gereja dinilai perlu ditelusuri lebih jauh akar permasalahan dan penyelesaiannya. Sebab, tak sedikit dari kelompok radikal itu yang mencatut nama Islam.

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulawesi Tengah, Sofyan Bahmid, menjelaskan, sejatinya setiap wilayah memiliki potensi konflik yang dapat terjadi kapan saja. Alasannya, di mana ada manusia, di situ pasti akan ada permasalahan sebab manusia memiliki pemikiran yang berbeda-beda.

Dia menjelaskan, tidak semua orang memahami bahwa keberagaman adalah sesuatu yang bisa menimbulkan kekuatan. Yang sering terjadi, kata dia, keberagaman masih kerap dianggap sebagai basis konflik yang harus diperangi. "Ada yang berperspektif bahwa keberagaman itu sebuah masalah, inilah yang dijadikan basis konfliknya," kata Sofyan saat dihubungi Republika, Rabu (2/12).

Sofyan menilai, aksi ekstremisme yang terjadi di Sulawesi Tengah ini terjadi, sebab adanya konflik utama yang bernafaskan sosial. Dia menilai, kondisi sosial masyarakat saat ini memunculkan ketimpangan yang pada akhirnya menimbulkan konflik sosial berkepanjangan.

Menurut dia, penyelesaian konflik sosial yang dilakukan pemerintah tidak sampai ke akar-akarnya. Operasi keamanan justru menyisakan konflik sosial yang kerap diwariskan sehingga menjadi masalah di kemudian hari.

photo
Kapolda Sulawesi Tengah Irjen Pol Abdul Rakhman Baso (kedua kanan) mengunjungi dan memberikan bantuan kepada warga korban serangan yang diduga dilakukan oleh kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT) di Desa Lemban Tongoa, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, Sabtu (28/11/2020) - (ANTARA FOTO/Humas Polres Sigi)

"Kalau itu masalahnya adalah konflik personal, selesaikan dengan personal. Kalau konfliknya besar, maka penyelesaiannya juga harus komunal. Dan harus diselesaikan sampai ke akar-akarnya. Ini kan tidak. Apakah kasus Poso selesai?" ujar dia.

Sofyan menambahkan, dalam kasus Poso terdapat penyelesaian konflik yang tak tuntas. Kasus-kasus perdata dalam peristiwa Poso dinilai menyisakan masa lah di masyarakat. Bak api di dalam sekam, kasus ini pun menjadi konflik sosial yang berkepanjangan. Untuk itu, dia meminta pemerintah dan aparat tegas dalam menyelesaikan kasus tersebut.

Di sisi lain, ia juga mengimbau kepada pemerintah untuk jeli memahami gerakan-gerakan radikal dan ekstrem yang terjadi akibat munculnya konflik sosial di masyarakat. Konflik ini dinilai bukan tidak mungkin dapat mengancam keamanan. Dia menduga terdapat segelintir pihak yang bermain dalam konflik sebagai mata pencaharian.

"Pemerintah bisa gunakan intel untuk melacak dengan tepat. Redam gerakan ekstremisme yang sudah ada, baca juga potensi gerakan baru, dan lakukan kegiatan-kegiatan preventif," kata dia.

Ketua Umum Persatuan Gereja Indonesia (PGI), Gomar Gultom, menilai, munculnya aksi teror tak lepas dari persoalan ketidaktuntasan penyelesaian sisa-sisa kombatan teroris dalam Mujahidin Indonesia Timur (MIT) oleh aparat kemanan.

Di sisi lain, Gomar menilai, sikap sebagian masyarakat yang toleran acap kali mendukung aksi-aksi kekerasan dengan sentimen agama. Hal ini, kata dia, secara tidak langsung berkontribusi terhadap bertahannya gerakan ekstremisme dan terorisme di Indonesia. Dia menilai, masyarakat Indonesia belum sepenuhnya bersatu secara hati dan melihat bahwa ekstremisme dan terorisme adalah musuh bersama.

Dia pun mengimbau pemerintah untuk bertindak tegas kepada segala bentuk ekstremisme dan terorisme. Pemerintah juga di nilai wajib memadamkan segala bentuk ujaran kebencian dan provokasi yang dapat menyulut aksi kekerasan.

photo
Terorisme di Sulteng - (Republika)

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat