Asma Nadia | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Covid-19 Antara Tren, Bosan, dan Terbiasa

Buat yang sudah bosan dan menganggap masa berhati-hati sudah lewat, waspadalah virus Covid-19.

Oleh ASMA NADIA

OLEH ASMA NADIA

Ada fenomena unik pada masa pandemi ini. Data-data menujukkan, situasi tidak membaik. Angka kasus naik nyaris setiap hari, jumlah kematian menanjak. Lebih dari 500 ribu kasus ditemukan di Indonesia. Namun, anehnya makin lama justru keberadaan virus ini seolah makin diabaikan.

Sebagian mulai  menanggalkan masker, tidak sungkan  berkerumun, atau mengadakan acara kumpul-kumpul dan kegiatan yang menghimpun keramaian masyarakat. Seolah tak sedikit orang yang saat ini memperlakukan virus korona sebagai tren belaka.

Ketika awal kemunculan, trennya dianggap menakutkan. Sebagian besar masyarakat tak berani keluar rumah. Mereka rajin mencuci tangan. Lockdown lokal diberlakukan di mana-mana. Rumah ibadah ditutup. Sekolah dilakukan jarak jauh. Bekerja selama mungkin, tetap dari rumah saja.

 
Mereka menganggap virus seperti tamu yang bisa disuruh pergi kapan saja sesuai jadwal yang ditentukan.
 
 

Namun, belakangan pembatasan wilayah dilonggarkan, bahkan dihentikan, rumah ibadah dibuka, mal dibuka, bioskop sebagian kembali beroperasi, dan kini santer dibicarakan usulan memulai aktivitas sekolah. Ada yang bilang nanti Januari, Juli, atau awal tahun depan.

Mereka menganggap virus seperti tamu yang bisa disuruh pergi kapan saja sesuai jadwal yang ditentukan.

Jika kita mau jujur, situasi penyebaran virus korona saat ini jauh lebih parah daripada saat rumah ibadah ditutup, sekolah diliburkan, pekerja kantor dipekerjakan di rumah, atau saat mal-mal tutup, atau ketika pembatasan wilayahnya sepenuhnya diberlakukan.

Dulu, saya tak kenal langsung satu pun orang yang terjangkit virus korona. Kini, teman baik, kolega, bahkan tetangga satu keluarga sudah ada yang menderita Covid-19. Semua menjadi makin dekat. 

Sayangnya, karena sebagian menganggap tren, seakan rasa takut terhadap korona sudah lewat. Mereka lupa masalah utamanya adalah keberadaan virus. Mau tren atau tidak, kalau virus itu masih ada, kita semua harus berhati-hati dan tetap menjalankan protokol kesehatan.

 
Sekarang pertanyaannya, apakah sudah begitu memaksa sehingga sekolah harus dibuka dan diberlakukan pengajaran tatap muka biasa?
 
 

Selama pandemi belum teratasi, rumah sakit masih penuh, kasus terus bertambah, tak satu pun boleh merasa ini perkara sepele. Saya tahu, kegiatan ekonomi harus digulirkan karena situasi akan lebih parah jika masyarakat tidak berpenghasilan.

Hanya, kita harus menyadari satu hal, semua itu, termasuk pelonggaran yang terjadi, dilakukan karena terpaksa bukan sebab keadaan telah membaik. Jadi, jika masih mungkin dihindari atau tidak terpaksa, sebaiknya hindari hal-hal yang tidak perlu. 

Sekarang pertanyaannya, apakah sudah begitu memaksa sehingga sekolah harus dibuka dan diberlakukan pengajaran tatap muka biasa? Apakah mau coba-coba dulu, bertaruh dengan kemungkinan? Apakah sekolah baru ditutup kembali jika muncul klaster baru menghinggapi anak-anak dan generasi muda kita? 

Apakah tidak lebih bijak menunggu sampai situasi benar-benar memungkinkan? Ingat, korona tak bisa diberi tengggat tanggal, jadwal, atau tahun ajaran, semua terkait situasi dan keadaaan.

Kapan saja kita bias memberlakukan kembali tatap muka untuk sekolah atau lembaga pendidikan, tapi jangan buat parameter berdasarkan waktu, terutama tidak dalam waktu dekat ini, melainkan bergantung keadaan.

Jika kita lihat sekeliling, satu-satunya hal yang lebih baik sekarang dari masa awal pandemi adalah masker mudah didapatkan, harga terjangkau, hand sanitizer siap di mana-mana.

 
Ancamannya nyata dan situasi serta keadaan saat ini masih amat berbahaya, dari saat pertama korona menyapa negeri tercinta. 
 
 

Jadi, untuk kelengkapan proteksi minimal, semua kelengkapan sudah tersedia di pasaran. Sayangnya, justru saat semua kelengkapan tersedia, masyarakat mulai lupa dan sebagian terkesan tidak lagi rutin membutuhkannya.

Padahal pandemi masih berlangsung, pasien yang meninggal pun masih berjatuhan. Belum waktunya merasa sudah saatnya santai saja. Tidak jarang, di antara mereka yang semula sangat ketat menjaga diri kini sudah dilanda bosan.

Bosan di rumah terus, bosan tidak bertemu siapa-siapa, bosan begini-begini saja. Masalahnya, apakah sebanding bila upaya menghilangkan kebosanan kelak harus dibayar dengan gangguan kesehatan yang bisa merusak tidak hanya kesehatan, bahkan menyebabkan kematian?

Tidak sendiri tapi secara berjamaah sebab sekaligus membahayakan anak, pasangan, orang tua, dan  lingkungan. Atau kita mulai terbiasa dengan berita buruk? Sakit dan kematian jadi kabar harian, meski korban seseorang yang kita kenal hingga akhirnya merasa tidak perlu bekerja keras untuk melindungi diri

Toh, kalau takdirnya kena, ya kena saja. Gitu saja kok pusing?” Buat yang sudah merasa bosan, menyepelekan, dan menganggap masa berhati-hati sudah lewat, waspadalah, virus ini bukan tren selewatan karena ia masih ada. 

Ancamannya nyata dan situasi serta keadaan saat ini masih amat berbahaya, dari saat pertama korona menyapa negeri tercinta. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat