Raden Ridwan Hasan Saputra | Istimewa

Opini

Guru Suprarasional

Selalu menambah ilmu merupakan salah satu wujud amal saleh bagi seorang guru.

RIDWAN HASAN SAPUTRA, Motivator Suprarasional dan Mantan Guru Honorer

Indonesia menjadi negara besar sepertinya masih impian. Sebab, besar tidaknya suatu bangsa bergantung pada kualitas pendidikannya dan kualitas pendidikan bergantung pada guru-gurunya.

Peran guru sangat penting dalam perjalanan bangsa. Sayangnya, Indonesia sudah lama dirundung beragam masalah yang berhubungan dengan guru, dari kuantitas, kesejahteraan, kualitas, hingga penghargaan sosial terhadap guru.

Jumlah guru sudah menjadi masalah nyata di dunia pendidikan Indonesia. Pernyataan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (5/10/2020) memprediksi sekolah di Indonesia kekurangan satu juta guru setiap tahun sepanjang kurun 2020-2024. 

 Angka tersebut ditaksir akan terus meningkat. Info databoks (29/1/2020) mengungkapkan, total guru di Indonesia sebanyak 3.357.935 orang. Adapun yang bukan sebagai guru PNS atau guru tetap yayasan sebanyak 937.228 orang.

 
Gaji sebesar itu lebih rendah daripada gaji seorang asisten rumah tangga. Di sisi lain, kualitas guru Indonesia masih rendah ditunjukkan dari uji kompetensi guru (UKG) 2019.
 
 

Angka ini terdiri atas 728.461 guru honor sekolah, 190.105 guru tidak tetap kabupaten/kota, 14.833 guru tidak tetap provinsi, dan 3.829 guru bantu pusat. Sebanyak 33,9 persen guru di Indonesia berstatus tidak tetap.

Gaji guru honorer seperti diinformasikan sebuah media daring (9/6/2020), awal masuk dunia pendidikan mendapatkan upah Rp 50 ribu, naik Rp 100 ribu, kemudian Rp 150 ribu dan sejak 2018 pekerjaan dari mengajar Rp 200 ribu per bulan.

Gaji sebesar itu lebih rendah daripada gaji seorang asisten rumah tangga. Di sisi lain, kualitas guru Indonesia masih rendah ditunjukkan dari uji kompetensi guru (UKG) 2019.

Nilai rata-rata untuk tingkat SD 54,8 persen, SMP 58,6 persen, SMA 62,3 persen, dan SMK 58,4 persen, padahal nilai standar untuk lulus uji kompentesi adalah 80.  Pimpinan organisasi guru (22/10/2019) mengatakan, sekitar 70 persen guru tak kompeten.

Penghargaan terhadap guru sebagai status sosial yang harus dihormati mulai luntur. Hal ini bisa dilihat dengan maraknya guru yang dipersekusi, baik oleh murid, orang tua siswa, maupun oknum-oknum tertentu untuk kepentingan pribadi dan politik.  

Problematika guru bukanlah masalah yang mudah diatasi. Terbukti, dengan bergantinya menteri dan pemerintahan, masalah guru belum bisa diselesaikan dengan baik. Perlu terobosan baru yang bisa memecahkan permasalahan guru.

Penulis mencoba untuk memberikan solusi, berfokus pada bagaimana menjadi guru berkualitas, sejahtera, dan dihormati. Ini dimulai dari cerita pada kehidupan penulis pribadi yang kebetulan mengenal banyak ustaz, yang mengajar di pondok pesantren tradisional.

 
Walaupun gaji kecil, sangat jarang kita dengar para ustaz ini mengeluh dan meminta bantuan ke pemerintah, apalagi berdemo untuk minta kenaikan gaji.
 
 

Para santri yang belajar di pesantren-pesantren tersebut, dipungut biaya sangat murah bahkan tidak dipungut biaya. Sebab, para santri dari pesantren tradisional biasanya dari keluarga tidak mampu.

Efek dari sistem pembayaran seperti itu, membuat para ustaz di pesantren tradisional gajinya sangat kecil. Walaupun gaji kecil, sangat jarang kita dengar para ustaz ini mengeluh dan meminta bantuan ke pemerintah, apalagi berdemo untuk minta kenaikan gaji.

Hal ini karena para ustaz menganggap proses menjadi guru di pesantren adalah ibadah. Faktanya memang, banyak ustaz yang hidupnya masih memprihatinkan, tetapi ternyata banyak pula ustaz yang hidupnya sejahtera dan dihormati masyarakat.

Penulis beruntung bisa mengenal para ustaz yang bisa hidup sejahtera dan dihormati di masyarakat walaupun dengan gaji sangat minim. Dari perkenalan ini, penulis banyak menyerap ilmu, bagaimana para ustaz mencapai kondisi tersebut.

Penulis mencoba mempraktikkan ilmu dari para guru pesantren itu dalam bidang matematika. Pada 2003, penulis berhenti jadi guru honorer di sebuah SMA di Bogor, lalu mencoba peruntungan dengan membuka les matematika dengan bayaran seikhlasnya.

Awalnya, banyak orang yang memprediksi bahwa lembaga yang penulis dirikan akan tutup dalam kurun enam bulan. Faktanya, sampai hari ini, alhamdulillah lembaga itu masih bertahan dengan jumlah murid ribuan walaupun pada masa pandemi.

 
Jika Allah sudah ridha kita menjadi karyawan-Nya, Allah akan menjamin hidup kita yang berprofesi sebagai guru.
 
 

Penulis pun saat ini merasa sebagai seorang guru yang hidupnya sejahtera dan dihormati masyarakat walaupun bukan pegawai negeri sipil. Ilmu yang sudah dipraktikkan dari para ustaz di pesantren ini coba penulis formulasikan sebagai berikut.

Agar kita bisa menjadi guru berkualitas, sejahtera, dan dihormati, pertama, niatkan menjadi guru adalah ibadah dalam upaya mendapatkan ridha Allah SWT dan kita pun harus menyatakan diri bekerja kepada Allah atau menjadi karyawan Allah.

Jika Allah sudah ridha kita menjadi karyawan-Nya, Allah akan menjamin hidup kita yang berprofesi sebagai guru.

Tentunya, guru yang dijamin Allah Yang Mahakaya, walaupun dirinya bukan guru PNS hidupnya akan jauh lebih sejahtera daripada kebanyakan guru yang masih bergantung pada manusia atau negara. Keyakinan ini merupakan wujud dari keimanan.

Kedua, seorang guru yang sudah berkomitmen menjadi karyawan Allah, harus berkomitmen pula untuk meningkatkan kualitas diri dan kualitas keilmuannya.

Peningkatan ilmu bisa melalui pendidikan formal sekolah S1, S2, S3 atau melalui pendidikan tidak formal, seperti kursus-kursus atau mengikuti pengajian. Selalu menambah ilmu merupakan salah satu wujud amal saleh bagi seorang guru.

Ketiga, seorang guru harus rajin memberi nasihat kepada murid-muridnya supaya mereka rajin beribadah serta mempunyai adab dan akhlak yang baik.

Jika para guru melaksanakan ketiga hal ini, akan menjadi guru berkualitas, sejahtera, dan dihormati. Seorang guru yang memiliki ketiga hal tadi akan dirasakan setelah menjalani prosesnya, yang sangat berhubungan dengan keimanan.

Penulis sudah menjalani prosesnya sehingga bisa menjelaskan hal ini. Guru yang melaksanakan tiga hal tadi, termasuk kategori orang yang beruntung atau tidak merugi. Hal ini sesuai dengan QS al-‘Ashr: 1-3.

Penulis menyebut, guru yang melaksanakan tiga hal tersebut adalah guru suprarasional atau guru yang bekerja dengan menggunakan hati. Para kiai yang memimpin pondok pesantren pada masa lalu adalah guru-guru suprarasional.  

Guru-guru suprarasional pada masa lalu tidak hanya berperan dalam membangun pendidikan, tetapi juga berperan dalam merebut kemerdekaan dari penjajah.

Jika kita membaca buku Api Sejarah karya Mansyur Suryanegara, banyak kiai yang menjadi komandan perang pada masa revolusi tahun 1945. Seharusnya, saat ini Indonesia memiliki banyak guru suprarasional.  

Jika guru-guru banyak yang berkualitas, sejahtera, dan dihormati, akan banyak orang berminat menjadi guru tanpa harus menjadi pegawai pemerintah. Dampak yang terasa, masalah guru akan jauh berkurang.

Lebih jauh lagi, di situasi negara seperti sekarang ini, rentan terjadi perpecahan antaranak bangsa. Guru suprarasional dengan kadar keimanan yang tinggi sangat dibutuhkan untuk mempersatukan bangsa.

Pemerintah bisa membentuk guru-guru suprarasional secara masif dengan mendidik guru yang sudah ada, calon guru dan orang yang peduli pendidikan, serta pelajar di Indonesia untuk belajar ilmu-ilmu tentang keguruan, adab, dan akhlak yang ada di pesantren, ikhlas dalam belajar dan mengajar.

Jika terjadi penolakan karena agama di Indonesia beragam, penulis sudah memformulasikannya dalam ilmu cara berpikir dan karakter suprarasional sehingga bisa diterima oleh semua agama. Mari bangkitkan guru suprarasional. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat