Oni Sahroni | Daan Yahya | Republika

Konsultasi Syariah

Bolehkah Istri Menggunakan Pendapatan Suami?

Saat ada kesepakatan, maka yang menjadi rujukan adalah kesepakatan termasuk kewenangan pengelolaan keuangan keluarga.

DIASUH OLEH DR ONI SAHRONI; Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia

Assalamu’alaikum wr wb. Bolehkah mengambil dan menggunakan pendapatan suami tanpa izin suami (tanpa persetujuan dan konfirmasi kepada suami)? Kadang istri menggunakan untuk kebutuhan pribadi atau keluarga juga. Mohon penjelasannya ustaz!-- Ilham, Tangerang

Wa’alaikumussalam wr wb.

Saat ada kesepakatan, maka yang menjadi rujukan adalah kesepakatan termasuk kewenangan pengelolaan keuangan keluarga. Tetapi saat tidak ada kesepakatan, maka harus ada konfirmasi dan izin suami, kecuali untuk keperluan ringan dan lazim. Coba kita jelaskan dalam poin-poin berikut.

Pertama, jika menelaah hadis-hadis Rasulullah SAW terkait, maka didapatkan hadis-hadis berikut. (a) Sebagian hadis menjelaskan, istri boleh menggunakan pendapatan dan aset suami tanpa izinnya. Di antaranya hadis, “Jika wanita menginfakkan dari penghasilan suaminya dengan tanpa perintahnya, maka suaminya mendapatkan separuh pahala”. (HR Bukhari)

Kemudian terdapat hadis, “Jika wanita menafkahkan dari makanan rumahnya tanpa menimbulkan mafsadah (masalah), maka ia mendapatkan pahala dengan apa yang dinafkahkannya dan bagi suaminya mendapatkan pahala dengan apa yang diusahakannya. Penanggung jawab gudang juga mendapatkan hal yang sama, masing-masing dari mereka tidak mengurangi pahala sebagian lainnya sedikit pun.” (HR Bukhari Muslim).

Dari Asma’ binti Abu Bakar bahwa ia mendatangi Nabi SAW dan bertanya, “Wahai Rasulullah, aku tidak punya apa-apa untuk disedekahkan selain yang diberikan Zubair kepadaku (untuk belanja rumah tangga). Berdosakah aku apabila uang belanja itu aku sedekahkan alakadarnya?”. Maka beliau menjawab: “Sedekahkanlah ala kadarnya sesuai dengan kemampuanmu...” (HR Muslim).

(b) Sedangkan beberapa hadis Rasulullah SAW lainnya menjelaskan bahwa istri tidak boleh menggunakannya kecuali dengan izin suami. Di antaranya, “Tidak boleh bagi seorang wanita memberikan sesuatu kecuali dengan seizin suaminya.” (HR Ahmad) Selain itu, terdapat hadis, “Janganlah seorang wanita menafkahkan sesuatu dari rumah suaminya kecuali dengan izinnya.” (HR. Tirmidzi).

Kedua, menurut Imam Nawawi, perbedaan makna hadis Rasulullah SAW tersebut karena perbedaan konteks. Setiap istri boleh mengambil dan memanfaatkan pendapatan (aset suami) untuk keperluan yang pada umumnya diizinkan suami, seperti kebutuhan dan biaya ringan. Sedangkan, saat peruntukan dan kebutuhan biaya besar, maka harus mendapatkan izin suami, baik lisan, tertulis, atau tradisi.

Imam Nawawi mengatakan, sesungguhnya ketentuan tersebut berlaku untuk biaya yang pada umumnya diizinkan suami. Jika melebihi kadar yang lazim tersebut, maka tidak diperbolehkan. Kesimpulan ini adalah makna sabda Rasulullah SAW, Jika istri menggunakan makanan milik suami dan tidak merusaknya. Kemudian an-Nawawi menjelaskan, hadis memberikan contoh dengan makanan karena pada umumnya diizinkan suami, berbeda dengan dirham dan dinar menurut kebanyakan personal/keluarga dan kondisi. (Syarh Sahih Muslim, 113).

Ketiga, berdasarkan penjelasan tersebut, bisa dirumuskan kaidah-kaidah penggunaan harta suami oleh istri. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Syekh ‘Athiyah Saqr (ketua komisi fatwa Al-Azhar Kairo di zamannya), yaitu sebagai berikut.

(a) Saat ada kesepakatan antara suami dan istri terkait dengan peruntukan dan penggunaan harta milik istri dan harta milik suami, maka kesepakatan itu yang menjadi rujukan. (b) Saat tidak ada kesepakatan, maka harus ada konfirmasi dan izin suami, kecuali untuk keperluan ringan dan lazim. (c) Saat suami kikir dan tidak menyediakan biaya cukup untuk kebutuhan asasi istri dan anak-anaknya, maka istri boleh menggunakannya sebagaimana hadis Hindun. (d) Berbeda kondisinya saat istri menggunakan pendapatan harta miliknya, maka ia boleh menggunakannya tanpa izin suami untuk peruntukan yang halal, sebagaimana Zainab yang membuat sesuatu dengan tangannya sendiri dan bersedekah dari hasil kerjanya kepada dhuafa. (Az-Zarqani ‘ala Mawahib 3/247). Wallahu a’lam

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat