Seorang guru menerangkan materi pelajaran saat kegiatan belajar mengajar secara tatap muka di SMK Muhammadiyah 5 Tello Baru, Makassar, Sulawesi Selatan, Selasa (17/11). | ANTARA FOTO/Arnas Padda

Opini

Muhammadiyah dan Moderasi Pemikiran

Persoalan moderasi pemikiran keagamaan menjadi perhatian utama aktivis Muhammadiyah.

BIYANTO, Guru Besar Filsafat UIN Sunan Ampel dan Wakil Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur

Hari ini, Muhammadiyah genap berusia 108 tahun (18 November 1912-18 November 2020).

Hal yang patut disyukuri sejak kelahirannya, Muhammadiyah tetap konsisten menempuh perjuangan melalui jalur kultural. Karena itulah, Nurcholish Madjid (Cak Nur) memberikan testimoni yang sangat positif kepada Muhammadiyah.

Menurut Cak Nur, Muhammadiyah merupakan organisasi Islam modern terbesar di dunia, lebih besar daripada organisasi mana pun di dunia Islam. Dilihat dari segi kelembagaan, Muhammadiyah sangat mengesankan, lebih dari organisasi Islam di mana pun dan kapan pun.

Muhammadiyah juga memiliki ribuan amal usaha, terutama bidang pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial. Di kalangan aktivis Muhammadiyah, tiga bidang garap tersebut dikenal dengan trisula abad pertama.

 
Dengan rekam jejak yang mengagumkan itulah, Cak Nur menyatakan, Muhammadiyah merupakan salah satu cerita sukses di kalangan organisasi Islam.
 
 

Sementara pada abad kedua ini, Muhammadiyah mengembangkan trisula yang meliputi pengelolaan lembaga amil zakat, infak, dan sedekah (Lazismu), pemberdayaan masyarakat, dan penanggulangan bencana melalui Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC). Kiprah Muhammadiyah melalui MDMC pun telah diakui dunia.   

Dengan rekam jejak yang mengagumkan itulah, Cak Nur menyatakan, Muhammadiyah merupakan salah satu cerita sukses di kalangan organisasi Islam, yang bukan saja secara nasional melainkan juga internasional.

Pernyataan Cak Nur merupakan sebagian dari pandangan, yang bernada memuji kiprah Muhammadiyah dalam panggung sejarah pergerakan organisasi Islam. Aktivis Muhammadiyah seharusnya menjadikan testimoni Cak Nur tersebut sebagai penyemangat dalam berdakwah. 

Pada level praksis sosial, semua ahli bersepakat mengatakan, Muhammadiyah layak disebut sebagai gerakan pembaru. Melalui teologi al-Ma’un, Muhammadiyah telah membuktikan diri sebagai gerakan yang menekankan pentingnya beramal saleh.

Dengan menekuni wilayah praksis sosial keagamaan, berarti Muhammadiyah telah melaksanakan prinsip a faith with action.

 
Pada konteks itulah, Muhammadiyah perlu melakukan revitalisasi ideologi agar mampu menampilkan diri sebagai gerakan amal, sekaligus gerakan ilmu.
 
 

Prinsip tersebut diwujudkan melalui ajaran sedikit berbicara banyak bekerja, kedermawanan atau welas asih, kesukarelaan, dan tepat waktu. Dengan prinsip itulah, amal usaha Muhammadiyah terus berkembang.   

Namun, justru dengan amal usaha yang semakin banyak Muhammadiyah dihadapkan pada berbagai persoalan. Energi Muhammadiyah nyaris habis mengurus amal usaha. Dampaknya, kontribusi pemikiran Muhammadiyah terasa kurang menonjol.

Pada konteks itulah, Muhammadiyah perlu melakukan revitalisasi ideologi agar mampu menampilkan diri sebagai gerakan amal, sekaligus gerakan ilmu.

Melalui upaya menyeimbangkan antara gerakan praksisme dan intelektualisme, Muhammadiyah pasti mampu berkiprah pada abad kedua secara lebih cemerlang.

Harus disadari, intelektualisme dapat memberikan energi yang luar biasa bagi Muhammadiyah. Dengan menjadi gerakan intelektualisme, Muhammadiyah dapat memberikan pencerahan pada tantangan keberagamaan era kontemporer.

Sebab harus diakui, wajah Islam Indonesia akhir-akhir ini telah diwarnai persaingan, sekaligus perebutan pengaruh antara kelompok Islam fundamentalis dan liberalis.

Kelompok Islam fundamentalis dengan dalih ingin mengembalikan amalan keagamaan sebagaimana dicontohkan generasi awal Islam, telah mengalami distorsi yang luar biasa.

Sebagai contoh, terjadi simplifikasi identitas keislaman melalui simbol pakaian bercadar, berjubah, memakai celak, berjenggot, dan bercelana cingkrang.

 
Menghadapi perdebatan dan persaingan dua mazhab pemikiran Islam yang secara diametral berhadap-hadapan itu, Muhammadiyah seharusnya menampilkan diri sebagai mediator.
 
 

Meski beberapa ekspresi budaya agama itu memiliki rujukan dalam ajaran Islam, penyederhanaan Islam dengan hal-hal yang bersifat kategoris seperti itu, jelas melenceng dari substansi ajaran Islam.

Sebaliknya, kelompok Islam liberal yang mengusung tema reaktualisasi ajaran juga sering memicu kontroversi. Kelompok Islam liberal dikatakan telah mengotak-atik ajaran yang dianggap mapan oleh umat.

Menghadapi perdebatan dan persaingan dua mazhab pemikiran Islam yang secara diametral berhadap-hadapan itu, Muhammadiyah seharusnya menampilkan diri sebagai mediator.

Muhammadiyah dapat menjalankan fungsi sebagai management of ideas di antara berbagai mazhab pemikiran.

Langkah yang perlu dilakukan Muhammadiyah pada berbagai mazhab pemikiran adalah mengajak mereka untuk bergerak ke posisi tengah. Pada konteks itulah moderatisme pemikiran keagamaan penting digelorakan.

Ajakan bersikap moderat akan efektif jika ditempuh melalui dialog yang tulus dan tidak saling mengeklaim kebenaran. Jika dialog ini dilakukan secara berkelanjutan, pada saatnya kita akan menyaksikan wajah Islam Indonesia yang moderat dan toleran terhadap berbagai keragaman.

Dalam hal ini, dengan berfungsi sebagai mediator berarti Muhammadiyah telah merekat jalinan hubungan pemikiran (silatul fikr) berbagai mazhab pemikiran keagamaan.

Posisi tersebut penting dijalankan Muhammadiyah untuk merevitalisasi ideologi keagamaan umat sehingga berpikiran terbuka dan moderat. Semoga, persoalan moderasi pemikiran keagamaan menjadi perhatian utama aktivis Muhammadiyah. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat