Suasana kampanye Partai Masyumi pada 1955. | istimewa

Opini

Masyumi, Demokrasi, dan Pluralisme

Kebesaran Masyumi juga terkait sikapnya yang mendukung demokrasi dan pluralisme.

FIRMAN NOOR, Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI

Meski mungkin sudah tak banyak lagi yang mengetahuinya, November memiliki nilai penting dalam sejarah pergerakan politik umat Islam di Indonesia.

Sebab, salah satu ikon partai Islam dalam sejarah bangsa, lahir pada bulan tersebut. Yakni, Partai Masyumi yang pernah menjadi partai Islam terbesar dalam sejarah Indonesia.

Pada 1948, Masyumi memiliki anggota sekitar 10 juta orang dan menjadi partai dengan jumlah anggota terbesar dibandingkan partai lain di Indonesia (Wolf, 1949: 57) bahkan di dunia (Madinier, 2013:1).

Namun, kebesaran partai ini tidak saja dari sisi jumlah, tetapi juga terkait sikapnya yang mendukung demokrasi dan pluralisme.

Jauh dari dugaan banyak kalangan, yang kerap melihat Masyumi sebagai sebuah partai eksklusif karena memperjuangkan Islam sebagai dasar negara, partai berlambang bulan bintang ini justru memiliki komitmen kuat terhadap dua hal tersebut.

 
Kebesaran partai ini tidak saja dari sisi jumlah, tetapi juga terkait sikapnya yang mendukung demokrasi dan pluralisme.
 
 

Demokrasi

Komitmen Masyumi pada demokrasi dapat dilihat dari beberapa aspek. Pertama, dari sikap resmi yang tecermin dari dokumen resmi partai.

Dalam Pedoman Perjuangan Masyumi (1955:60), disebutkan, bentuk negara ideal adalah republik sesuai asas demokrasi dalam Islam (Pedoman Perjuangan Masyumi 1955, 60). Artinya, Masyumi tidak menghendaki berdirinya pemerintahan otoritarian.

Lalu, dalam Draf Konstitusi versi Masyumi dinyatakan, kepentingan rakyat adalah fondasi bagi kehidupan bernegara.

“Kemauan Rakjat adalah dasar kekuasaan dalam Negara, jang dilakukan oleh Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan atau Dewan Daerah dengan djalan Musjawarah” (Draf Konstitusi Masjumi, Pasal 11 ayat 1).

Dalam “Tafsir Asas”, Masyumi menegaskan berjuang secara konstitusional, “Melalui jalan yang sah, sebagaimana yang terbuka jalannya dalam negara republik kita yang berdasar kedaulatan rakyat, melalui saluran-saluran yang lazim dalam negara demokrasi.” (Tafsir Asas 1955, 46).

 
Dalam konteks eksternal, tecermin dari sikap tegas menentang konsep “Demokrasi Terpimpin” yang disuarakan Presiden Sukarno dan pendukungnya.
 
 

Dalam aspek lebih praktis, komitmen pada demokrasi dicerminkan dalam kehidupan internal ataupun eksternal partai. Di internal partai, saat laporan pertanggungjawaban ketua partai, dia bebas dikritik atau diberi masukan oleh perwakilan pengurus daerah.

Dalam konteks eksternal, tecermin dari sikap tegas menentang konsep “Demokrasi Terpimpin” yang disuarakan Presiden Sukarno dan pendukungnya. Sebab, Masyumi menyadari bahaya otoritarian di balik konsep tersebut, yang belakangan terbukti benar.

Pluralisme

Sikap menghargai pluralisme itu terefleksi, di antaranya dari Anggaran Dasar Masyumi yang menyebutkan komitmen “Bekerja sama dengan lain-lain golongan dalam lapangan yang bersamaan atas dasar harga-menghargai” (AD Masjumi, Ayat (3), (4) Pasal IV).

Sebagai bentuk komitmen itu, Masyumi pernah menjadi “rumah besar” dari berbagai kelompok Islam di Indonesia. Dengan semangat itu pula, Masyumi membangun hubungan politik dan persahabatan dengan berbagai kalangan.

Partai ini kerap membentuk aliansi dengan partai berlatar belakang ideologi berbeda, termasuk sosialis (PSI) ataupun partai Kristen (Parkindo) dan Katolik (PKRI). Kedekatan personal elite Masyumi dengan partai berbeda ideologi itu juga tercatat dalam tinta emas.

 
Selain itu, sikap menghargai eksistensi kalangan lain, mendorong Masyumi tak menggunakan jargon Islam dalam programnya.
 
 

Dapat dikatakan, hanya dengan Partai Komunis, Masyumi benar-benar sulit untuk bisa toleran. Selain itu, sikap menghargai eksistensi kalangan lain, mendorong Masyumi tak menggunakan jargon Islam dalam programnya.

Soal pendidikan, misalnya, Masyumi bukan menyebut programnya “sistem pendidikan Islam”, melainkan “sistem pendidikan nasional” yang berlaku untuk setiap warga negara tidak hanya kaum Muslimin (Draf Konstitusi Masyumi, Pasal 23).

Pada pasal yang sama, Masyumi memiliki program memberikan subsidi kepada sekolah swasta, baik yang dikelola Muslim maupun non-Muslim. Hal yang dilakukan Masyumi mendapatkan perhatian dan penyikapan jujur dari beberapa kalangan.

Salah satunya, Jacob Oetama, pendiri koran Kompas yang mengapresiasi perilaku Masyumi, yang dipandangnya mau bersikap terbuka dan positif atas pluralisme.

Dalam tulisannya, pada buku biografi Prawoto Mangkusasmito, Jacob Oetama mengatakan: “Partai Masyumi bisa melakukan aliansi politik dengan serasi bersama Partai Katolik dan Partai Sosialis Indonesia. Partai Masyumi, lahan perjuangan aspirasi politik di mana Prawoto ikut mengembangkannya dan ketua umum terakhir ketika dibubarkan, memberikan pencerahan secara sincere bagi masyarakat. Partai Islam modern dengan ciri mengakui adanya pluralisme Indonesia ini kemudian dilanjutkan antara lain oleh KH Abdurrahman Wahid.” (Bajasut dan Hakiem, 2014: 545)   

 
Tinggal bagaimana mereka yang akan melanjutkan sepak terjang Masyumi dalam kancah politik saat ini, berkomitmen sama dengan pendahulunya.
 
 

Komitmen Masyumi terhadap demokrasi dan pluralisme, meski belum sempurna, tampak dalam masa hidupnya yang singkat (1945-1960).

Belum lama ini, Masyumi coba dibangkitkan para pendukung dan simpatisannya. Upaya itu tentu sah-sah saja. Tinggal bagaimana mereka yang akan melanjutkan sepak terjang Masyumi dalam kancah politik saat ini, berkomitmen sama dengan pendahulunya.

Hal ini, tidak saja sebagai bentuk penghormatan atas Masyumi, tetapi juga agar kehidupan demokrasi dan penghormatan terhadap pluralisme di negara kita, terus terjaga bahkan lebih baik. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat