Terdakwa kasus dugaan suap dan gratifikasi pengurusan fatwa MA Djoko Tjandra, Pinangki Sirna Malasari menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (9/11). | SIGID KURNIAWAN/ANTARA FOTO

Nasional

Siapa Backing Pinangki?

Pinangki penasaran karena Djoko adalah legenda buron yang sulit disentuh.

JAKARTA -- Saksi yang dihadirkan jaksa penuntut umum (JPU) Rahmat membeberkan kronologi skandal suap dan gratifikasi Djoko Sugiarto Tjandra dengan jaksa Pinangki Sirna Malasari. Rahmat yang memperkenalkan Pinangki dengan Djoko menyatakan, mantan kepala Subag Pemantauan dan Evaluasi II Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejaksaan Agung (Kejakgung) itu mengaku memiliki kenalan king maker dan mendapat perlindungan dari atasannya di Kejakgung.

Namun, hingga saat ini, keberadaan king maker di Kejakgung dan pelindung Pinangki tersebut belum terungkap. "Pada pertemuan 19 November 2019, apakah benar terdakwa Pinangki memberikan penjelasan ke Djoko Tjandra mengenai langkah-langkah yang harus dilalui Djoko Tjandra dengan mengatakan 'Nanti Bapak ditahan dulu sementara sambil saya urus dengan king maker, tapi Pinangki tidak menjelaskan siapa 'king maker' itu?" tanya jaksa KMS Roni dalam sidang Pinangki di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (9/11).

"Iya, benar," jawab Rahmat. Namun, ia mengaku tidak tahu siapa king maker tersebut.

Dalam perkara ini, Pinangki didakwa dengan tiga dakwaan, yaitu penerimaan suap 500 ribu dolar AS (sekitar Rp 7,4 miliar) dari terpidana kasus cessie Bank Bali Djoko Tjandra, pencucian uang, dan melakukan pemufakatan jahat bersama Andi Irfan Jaya dan Djoko Tjandra untuk menyuap pejabat di Kejakgung dan Mahkamah Agung (MA).

photo
Terpidana kasus cessie Bank Bali Djoko Tjandra (kiri) tiba untuk bersaksi dalam sidang kasus dugaan suap dan gratifikasi pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) Djoko Tjandra dengan terdakwa Pinangki Sirna Malasari (kanan) di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (9/11).  - (SIGID KURNIAWAN/ANTARA FOTO)

Rahmat juga mengatakan selalu mengikuti arahan Pinangki dalam pemeriksaan kasus tersebut, terutama saat diperiksa oleh Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan (Jamwas). Sebab, Pinangki mengaku sudah punya backing dari atasannya. "Kata Bu Pinangki, 'Sudah dikondisikan dengan atasan saya'."

"Siapa atasannya Bu Pinangki, tahu?" kejar Ketua Majelis Hakim Ignasius Eko Purwanto. "Tidak tahu," jawab Rahmat. Saat diperiksa di Jampidsus pada 10 Agustus 2020, Rahmat mengaku tidak mengikuti lagi arahan Pinangki.

Lobi-lobi Pinangki

Rahmat yang merupakan pebisnis CCTV dan perangkat robotik mengaku mengenal Pinangki di kejaksaan pada 2019. Pada 30 Oktober 2019, Pinangki meminta Rahmat memperkenalkan dirinya dengan Djoko Tjandra. Saat itu, Pinangki juga memperkenalkan advokat Anita Kolopaking kepada Rahmat.

"Lalu, saya sampaikan, 'Saya konfirmasi dulu, ya, Bu.’ Lalu, dua-tiga hari kemudian saya kirim nomor telepon Bu Pinangki ke Djoko Tjandra, lalu dijawab Pak Djoko Tjandra tanggal 12 November boleh ketemu di Malaysia," ungkap Rahmat.

Rahmat, Pinangki, dan Anita pun bertemu Djoko di gedung tertinggi di Malaysia, the Exchange 106. "Bu Pinangki bilang, 'Pak, gedungnya bagus sekali, Pak. Kenapa Bapak tidak investasi di Indonesia? Indonesia butuh ini, Pak," ucap Rahmat menirukan Pinangki.

"Pak Djoko mengatakan, 'Saya bagaimana mau bangun Indonesia kalau saya masih harus ditahan?' Lalu, mereka bicara masalah hukum, jadi saya menyingkir. Tapi, saya dengar Bu Pinangki menyampaikan, 'Bapak ikuti prosedurnya, ditahan dulu, nanti PK (peninjauan kembali—Red)-nya kita urusi," ungkap Rahmat.

Djoko, kata dia, kemudian memberikan dokumen soal perkara itu ke Pinangki untuk dipelajari. "Terdakwa mengatakan bagaimana cara terdakwa mengurus perkara itu?" tanya jaksa Roni.

Pinangki, kata Rahmat, menyampaikan, "Bapak masuk dulu, ikuti prosedur, nanti saya bantu bawa lawyer untuk bantu Bapak. Bapak ditahan kan cuma 1 tahun 8 bulan.”

"Terkait urusan ke MA, apakah ada untuk pengurusan peninjauan kembali atau pengeluaran fatwa MA?" kejar Roni. "Tidak dengar," jawab Rahmat.

Pertemuan kedua terjadi pada 19 November. Djoko saat itu menandatangani surat kuasa konsultasi hukum. "Apakah dalam pertemuan 19 November itu mendengar terdakwa dan Anita membahas biaya pengurusan perkara Djoko Tjandra?" tanya jaksa Roni. "Tidak," jawab Rahmat.

Satu pekan setelah itu, Djoko mengeluhkan biaya yang mahal sekali. "'Biayanya kok mahal sekali, Rahmat? Minta 100 juta dolar AS, sudah begitu saya ditahan juga.' Lalu, saudara mengatakan, 'Waduh, saya tidak tahu, Pak.' Apakah keterangan ini benar?" tanya jaksa yang langsung dibenarkan Rahmat.

Selain Rahmat, JPU juga menghadirkan Djoko Tjandra sebagai saksi. Djoko menangis saat memberikan keterangan tersebut. Menurut dia, dalam pertemuan pertama dengan Pinangki, dia lebih menjelaskan tentang kasusnya.

Kemudian, Pinangki bersama Rahmat dan Anita Kolopaking menemuinya pada 19 November 2019. "Saya di situ menunjuk Anita Kolopaking sebagai pengacara saya dan memberikan kuasa kepadanya untuk bertindak bagi kepentingan saya," tutur Djoko.

Namun, Djoko mengaku tidak terlalu yakin dengan Anita. "Tapi, karena saya tidak terlalu comfortable hanya dengan Anita sendiri, maka pada 25 November, seminggu kemudian, Pinangki datang lagi bersama Andi Irfan Jaya dan Anita ke kantor saya. Di situ Andi memperkenalkan diri sebagai konsultan dan saya katakan silakan," ungkap Djoko.

Dalam sidang tersebut, Pinangki membantah sebagian besar keterangan Rahmat. Soal meminta dikenalkan dengan Djoko, Pinangki mengaku penasaran dengan kedekatan Rahmat dan Djoko. "Dari awal saksi Rahmat mengatakan kenal Djoko Tjandra, tapi, menurut saya, tidak mungkin Djoko Tjandra karena Djoko Tjandra itu legenda buron yang tidak bisa disentuh sejak saya dari junior," ujar Pinangki. "Karena saya penasaran apa benar, jadi coba bawa ke saya."

Napoleon Sebut Kasusnya Direkayasa

Sementara, terdakwa suap-gratifikasi penghapusan red notice, Irjen Napolen Bonaparte, menuding Brigjen Prasetijo Utomo yang menyiapkan alat bukti penetapan tersangka. Dalam eksepsi setebal 195 halaman, mantan Kadiv Hubinter Mabes Polri itu menuding istri Prasetijo menyerahkan uang 20 ribu dolar AS (Rp 281 juta) kepada Divisi Propam Polri saat penyidikan berlangsung di Direktorat Tindak Pidana Korupsi (Dirtipikor).

“Bahwasanya uang 20 ribu dolar adalah uang milik sah dari istri Brigjen Pol Prasetijo Utomo. Di mana ketika itu, Divisi Propam Polri meminta kepada Brigjen Pol Prasetijo Utomo agar menyiapkan barang bukti uang sejumlah 20 ribu dolar,” kata anggota tim kuasa hukum Napoleon, Santrawan Paparang membacakan pembelaan kliennya di PN Tipikor Jakarta, Senin (9/11).

Dalam kasus penghapusan red notice Djoko Tjandra, Napoleon didakwa menerima uang sejumlah 200 ribu dolar Singapura dan 270 ribu AS. Sementara, Prasetijo didakwa menerima 150 ribu dolar AS.

photo
Terdakwa kasus dugaan suap penghapusan red notice Djoko Tjandra, Irjen Pol Napoleon Bonaparte, menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (9/11). Sidang mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri itu beragendakan pembacaan eksepsi atau nota keberatan yang dibacakan kuasa hukum terdakwa. - (SIGID KURNIAWAN/ANTARA FOTO)

Santrawan melanjutkan, keterlibatan istri Prasetijo terungkap saat Bareskrim Polri melimpahkan berkas perkara dan tersangka kepada Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan pada 16 Oktober. Pengacara Prasetijo, Petrus Bala Patyona, disebut menyatakan adanya permintaan dari Divisi Propam Polri agar Prasetijo menyiapkan uang 20 ribu dolar.

Permintaan Divisi Propam itu diteruskan Prasetijo kepada istrinya melalui surat. "Bahwasanya uang 20 ribu dolar AS adalah uang milik sah dari istri Brigjen Prasetijo Utomo dalam bentuk mata uang rupiah di mana ketika itu Divisi Propam Polri meminta kepada Brigjen Prasetijo Utomo agar menyiapkan barang bukti uang 20 ribu dollar AS, dan mengingat karena ia Brigjen Prasetijo tak memiliki uang, maka Brigjen Prasetijo menulis sepotong surat kepada istrinya dengan meminta uang sejumlah 20 ribu dolar AS," ungkap Santrawan.

Namun, istri Prasetijo, dikatakan tak punya stok dolar senilai yang dimintakan. Maka, istri Prasetijo menukar sejumlah rupiah ke dalam pecahan dolar yang dimintakan. Dengan begitu, kata Santrawan, penetapan Napoleon sebagai tersangka cacat hukum. Sebab, barang bukti yang dijadikan landasan merupakan rekayasa antara penyidik di Bareskrim, Propam, dan Prasetijo sebagai salah satu tersangka.

“Bahwa uang 20 ribu dolar yang oleh penyidik Bareskrim Polri dijadikan barang bukti dalam berkas perkara terdakwa Napoleon, cacat hukum dan melawan hukum, dan batal demi hukum,” kata dia.

photo
Terdakwa kasus dugaan suap penghapusan red notice Djoko Tjandra, Irjen Pol Napoleon Bonaparte (kanan), berjalan meninggalkan ruangan seusai sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (9/11). - (SIGID KURNIAWAN/ANTARA FOTO)

Selain itu, Napoleon juga menyebut, semua dakwaannya adalah rekayasa. Pasalnya, red notice Djoko Tjandra sudah terhapus di sistem Interpol sejak 2014. Napoleon memastikan akan membuktikannya semuanya dalam sidang selanjutnya.

"Kesempatan ini kami tunggu untuk menyampaikan tuduhan penerimaan uang. Saya siap untuk buktikan, didasari rencana untuk menzalimi kami sebagai pejabat negara," kata Napoleon dalam eksepsinya tersebut.

Menurut dia, kuitansi atau bukti penerimaan uang dari Djoko Tjandra tidak ada hubungannya dengan Napoleon. Jaksa menyebut, uang dari Djoko diterima Napoleon melalui Tommy Sumardi.

Pengacara Petrus Patyona, saat dihubungi Republika, Senin (9/11) hanya mengungkapkan, kliennya tak perlu mengajukan eksepsi. “Klien kami, Prasetijo Utomo, langsung pemeriksaan saksi-saksi hari ini (9/11),” terang dia.

Ketika ditanya terkait peran istri Prasetijo, Petrus menegaskan dirinya yang masih dalam pendampingan sidang untuk kliennya itu. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat