Petugas menggunakan masker saat melayani warga menunaikan pembayaran zakat fitrah di Masjid Nurul Huda, Kebagusan, Jakarta, Rabu (20/5). Panitia pengumpulan zakat fitrah setempat menggunakan tirai plastik pembatas, masker, dan cairan pembersih tangan dala | Republika/Thoudy Badai

Opini

Bertahan Saat Pandemi

Kolaborasi menjadi sangat relevan pada masa pandemi.

 

 

BAMBANG SUHERMAN, Ketua Umum Forum Zakat

Lembaga zakat pada dasarnya organisme besar. Dia tersusun atas berbagai karakter dan gagasan yang terbentuk oleh kesamaan tujuan.

Di tengah pandemi, dia harus mengumpulkan ciri unggulnya untuk mampu bertahan dari tekanan virus. Tantangan terbesar lembaga zakat dalam tekanan pandemi adalah tidak adanya pengalaman untuk dirujuk. Ini ujian dan pengalaman perdana.

Jika berhasil mengelola pandemi, akan menjadi karakter unggul baru bagi lembaga. Jika gagal, akan tersingkir dari gelanggang kebaikan.

Untuk itu, dibutuhkan desain survival. Salah satu yang dapat dirujuk adalah menerapkan konsep koeksistensi ekologi. Secara ekologi, organisme dimungkinkan hidup berdampingan dalam satu relung. Mereka mengelola sumber daya yang tersedia.

Dalam perspektif pengelolaan lembaga zakat, ada tiga modal lembaga untuk mengembangkan karakter koeksistensinya, yaitu kemapanan sebelum pandemi, kekuatan selama pandemi, dan modal baru yang adaptif.

Sebelum pandemi, sebagian besar lembaga fokus pada kemapanan yang dibangun selama ini. Di antaranya, kemapanan sistem SDM, lembaga, program, dan instrumen pendukung. Selama pandemi, semua kemapanan itu dievaluasi, mana yang masih relevan dan tidak.

Sebagai contoh, proporsi anggaran disusun untuk program pelayanan, pengembangan, dan pemberdayaan. Namun, pandemi yang menciptakan kemiskinan lebih besar memprioritaskan anggaran untuk program pelayanan.  

Tekanan pandemi memaksa beberapa kemapanan lembaga harus berubah. Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) membuat kantor dan lembaga menjadi kosong. Karyawan dan amil dipaksa bekerja dari rumah.

 
Tekanan pandemi memaksa beberapa kemapanan lembaga harus berubah.
 
 

Kerja tim dan struktural, mekanisme koordinasi, pengambilan keputusan, dan mekanisme pengukuran kinerja yang selama ini berlaku, sebagian menjadi tak relevan. Maka itu, lembaga perlu segera menemukan dan mengubah konsep bekerja beserta seluruh ukurannya.

Setelah sembilan bulan berjalan dalam tekanan pandemi, seharusnya lembaga sudah mampu mengidentifikasi kekuatan dan peluang baru untuk bertahan. Kekuatan baru inilah yang menjadi modal bagi lembaga terus berkontribusi dalam gerakan zakat.

Beberapa kekuatan baru itu adalah nilai lembaga, metode utama program, cara interaksi lembaga yang lebih adaptif, dan peluang baru yang muncul akibat pandemi. Ini harus menjadi kemapanan baru untuk menyongsong 2021 dan bertahan dalam tekanan pandemi selanjutnya.

Peran lembaga zakat

Memasuki kuartal ketiga, pemerintah menetapkan status resesi. Proyeksi PDB Q3 2020 yang minus 3,49 persen melengkapi dua kali minus pada kuartal sebelumnya. Katadata.id merilis grafis kemiskinan dan bidang prioritas pemerintah untuk mengelolanya.

Proyeksi terburuk Indonesia, pertumbuhan ekonomi minus berdampak pada naiknya kemiskinan menjadi 12,4 persen atau 33,2 juta jiwa. Pemerintah mengeluarkan enam paket program respons kemiskinan, yaitu kartu Prakerja untuk 5,6 juta pekerja dengan bantuan Rp 600 ribu per bulan selama empat bulan. Kartu sembako untuk 20 juta penerima dengan bantuan sebesar Rp 200 ribu per bulan selama sembilan bulan.

Bantuan langsung tunai untuk 1,2 juta KK di Jakarta dan 576 ribu KK di Bodetabek Rp 600 ribu per KK selama tiga bulan. Padat karya tunai pedesaan dengan alokasi anggaran Rp 10 triliun dan program keluarga harapan, dengan 10 juta penerima dan anggaran Rp 37,4 triliun.

Lembaga zakat dapat menguatkan sinergi terhadap program pemerintah dalam menyusun programnya. Saat pandemi, sumber daya lembaga tak banyak dan kemungkinan mengalami penurunan. Maka itu, sinergi membantu lembaga menghasilkan program berdampak kuat.

Tiga aspek adaptasi

Desain tata kelola lembaga selama pandemi setidaknya perlu memperhatikan tiga aspek utama adaptasi normal baru, yaitu sistem kerja, prinsip layanan, dan pola intervensi utama.

Selama pandemi, dengan pembatasan aktivitas fisik, sistem kerja yang praktis berkembang di lembaga zakat adalah sistem digital. Pola WFH internal lembaga dan transaksi digital muzaki membuat sistem digital harus mencakup fungsi komunikasi, transaksi, dan portofolio lembaga.

 
Pola WFH internal lembaga dan transaksi digital muzaki membuat sistem digital harus mencakup fungsi komunikasi, transaksi, dan portofolio lembaga.
 
 

Pandemi juga menuntut perubahan pola interaksi lembaga kepada muzaki ataupun mustahik. Sebelum pandemi, keterwakilan menjadi sesuai dalam pelayanan lembaga zakat. Muzaki menyetorkan. Lembaga mewakili muzaki menyalurkan ke mustahik.

Saat pandemi, jumlah mustahik bertambah dan terhubung secara langsung dengan muzaki. Muzaki harus memilih untuk menyetorkan zakat ke lembaga atau membantu langsung mustahik di sekitar mereka. Maka itu, pola keterwakilan menjadi tidak relevan.

Lembaga lebih sesuai memfasilitasi muzaki dalam membantu mustahiknya. Kemiskinan yang bertambah dan jumlah muzaki yang berkurang, menuntut lembaga zakat mengidentifikasi potensi baru sumber daya yang bisa dikelola.

Model intervensi program juga menjadi berkembang. Tidak hanya berbasis gagasan lembaga, juga model program pemerintah dan potensial donor yang lain. Dengan begitu, kolaborasi menjadi sangat relevan pada masa pandemi.

Diharapkan, 2021 menjadi tahun normalisasi lembaga-lembaga zakat, tidak sekadar bertahan, tetapi juga menumbuhkan keunggulan dan kekuatan baru.

 
Diharapkan, 2021 menjadi tahun normalisasi lembaga-lembaga zakat, tidak sekadar bertahan, tetapi juga menumbuhkan keunggulan dan kekuatan baru.
 
 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat