Ilustrasi karya seniman Jakarta | ANTARA FOTO

Jakarta

Potret Ibu Kota di Mata Seniman Jakarta

Pasar Senen menjadi kantong seni yang banyak dikunjungi seniman Jakarta.

 

Jakarta memiliki karakter dinamis. Kota ini merupakan titik temu berbagai etnis dan budaya lokal yang saling bersinergi.

Beragam peristiwa budaya yang hadir melalui sinergisitas tersebut merupakan catatan sejarah penting bagi perkembangan seni rupa Indonesia. Setiap peristiwa tak dapat dipisahkan dari aspek lokus, peran tokoh yang terlibat, di mana, dan bagaimana peristiwa terjadi. 

Begitu pula ketika mencermati karya-karya besar pelukis Jakarta pada masa lampau. Hal tersebut memiliki histori menarik dalam konteks peristiwa.

Setiap peristiwa meninggalkan jejak-jejak yang menjadi penanda zamannya. Misalnya, peristiwa budaya masa lampau yang melibatkan peran seniman dalam merespons satu fenomena sosial, tentu menjadi penting dimaknai dalam konteks kekinian.

Kurator pameran daring Perupa Jakarta Raya bertajuk "JE|JAK|KARTA", Citra Smara Dewi, mencontohkan karya yang meninggalkan jejak pada zamannya. S Sudjojono melukis karya berjudul "Di Depan Kelamboe Terboeka" pada 1939 yang menggunakan cat minyak pada kanvas.

Lukisan tersebut menggambarkan seorang perempuan menggunakan kain dan kebaya sedang duduk di depan kelambu, tatapan mata tanpa ekspresi. "Perempuan tersebut menggambarkan kepedihan derita hidup yang teramat dalam,” kata dia dalam peluncuran pameran daring Perupa Jakarta Raya bertajuk "JE|JAK|KARTA", Rabu (28/10). 

Dalam bukunya, Aku dan Sudjojono, diceritakan sosok perempuan tersebut adalah salah satu wanita penghibur yang ditemui S Sudjojono di Pasar Senen. Krisis ekonomi berkepanjangan pada era 1930-an mengondisikan para perempuan mencari nafkah dengan menjadi wanita penghibur. Lukisan tersebut menjadi salah satu potret realitas sosial yang terjadi di Batavia saat itu.

Bagi seniman, memaknai Pasar Senen dalam konteks memori kolektif, di dalamnya terdapat berbagai perspektif. Misalnya seperti yang diungkapkan Misbach Yusa Biran. Sebagai kantong seni pada awal kemerdekaan, wilayah Pasar Senen, khususnya Kramat Bunder, memiliki peran penting bagi seniman era 1950-an.

Di sanalah para seniman dari berbagai disiplin seni berkumpul dan diskusi, baik pada aktor, sastrawan, pelukis, penyair, hingga sutradara. Pasar Senen merupakan kantong seni yang banyak dikunjungi seniman Jakarta sebelum berdirinya lembaga kebudayaan, seperti Balai Budaya (1954) dan Taman Ismail Marzuki (1968).

Kehadiran Pasar Senen pada era 1950-an memiliki spirit zamannya dalam konteks kontrol dan produk sosial. Begitu pula konteks kehadiran Perupa Jakarta Raya (Peruja) di Pasar Gembrong era 2020-an, tentu tak lepas dari pemaknaan sosial tersebut.

Pasar Gembrong bukan sekadar bangunan fisik berupa gedung bertingkat yang terletak di wilayah Kota Jakarta. Banyaknya aktivitas kesenian di sana membentuk pemaknaan baru Pasar Gembrong sebagai kebangkitan kembali semangat berkesenian berbasis spirit kesanggaran. Kondisi itu pernah jaya pada era 1970-an dan 1980-an.

Hal itu bisa dilihat dari keanggotaan Peruja yang bersifat lintas generasi, dari seniman generasi 1970-an hingga generasi milenial. "Spirit itu dapat dilihat pada pameran daring 'JE|JAK|KARTA' yang diselenggarakan Galeri Nasional Indonesia (GNI) bersama Perupa Jakarta Raya (Peruja)," kata Citra.

Pameran "JE|JAK|KARTA" yang dilaksanakan secara virtual di laman //galnasonline.id// pada penghujung Oktober lalu menampilkan 40 karya. Karya-karya tersebut berupa lukisan, patung (tiga dimensi), video seni, dan sketsa. Semuanya berasal dari 39 perupa yang tergabung dalam Peruja.

Kurator “JE|JAK|KARTA” Heru Hikayat menyatakan, Jakarta menjelma menjadi simbol yang gagah, agung, dan dalam banyak hal militeristik. Jakarta sebagai ibu kota negara sering kali ditautkan dengan narasi-narasi besar tentang bangsa. Inilah kota tempat proklamasi kemerdekaan dikumandangkan.

Di Jakarta, Monumen Nasional ditegakkan. Di Kota Jakarta pula kesaktian Pancasila dibuktikan. Semuanya seolah adalah simbol. Namun, di sisi lain, Jakarta sesungguhnya bisa dibayangkan sebagai rumah.

Rumah, yang berisi ruang yang menampung ingatan masa muda atau justru masa tua, harapan, kekecewaan, atau kenangan. "Kiranya, perupa yang sehari-hari berkiprah di Jakarta punya sangat banyak variasi pemaknaan bagi ruang bernama Jakarta ini," kata Heru dalam kesempatan yang sama.

Berangkat dari pertimbangan tersebut, kali ini Peruja diajak berkarya dengan memaknai kembali berbagai peristiwa yang terjadi di Jakarta. Tentu saja melalui kacamata kultural. Ini seperti upaya menelusuri jejak-jejak sejarah (rupa) yang pernah terjadi di Kota Jakarta.

Bagi Peruja, hal ini bisa diumpamakan seperti menengok kembali rumah sendiri. Menelisik bagian-bagiannya, detail yang dikenali dengan sangat baik; atau sebaliknya, detail yang cenderung terabaikan.

Terkait pameran ini, Kepala Galeri Nasional Indonesia, Pustanto, berharap pameran ini mampu melengkapi narasi tentang Jakarta sebagai kota yang penuh dinamika dan kompleksitas. Menariknya, Jakarta kali ini dipresentasikan melalui memori personal para anggota Peruja sehingga memungkinkan adanya temuan atau kisah menarik yang tidak diketahui secara luas.

Menurut Pustanto, sejarah terus hidup dari peristiwa yang terus dikisahkan. "Pameran ini berupaya untuk terus menghidupkan jejak-jejak Kota Jakarta dalam kacamata para perupa Jakarta," kata Pustanto.

Dia berharap pameran ini bisa membuat penikmatnya lebih mengenal Kota Jakarta. Tidak hanya dari predikatnya sebagai Ibu Kota dan Kota Metropolitan, tetapi juga dari segi-segi kehidupan yang telah mengisi Jakarta.

"Semoga pameran ini juga dapat memberikan semangat bagi para perupa, khususnya perupa Jakarta, untuk terus berkarya, berinovasi, dan menemukan narasi-narasi baru yang menarik," ujar Pustanto.

Dia ingin perupa di kota-kota lain terinspirasi untuk menelisik lebih jauh tentang sejarah kotanya sendiri. Perupa juga bisa menyelami peristiwa penting dan kehidupan masyarakatnya.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat