IKHWANUL KIRAM MASHURI | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Teror dalam Karikatur Nabi Muhammad 

Karikatur yang menghina Nabi Muhammad SAW bisa dianggap teror terhadap umat Islam.

Oleh IKHWANUL KIRAM MASHURI

OLEH IKHWANUL KIRAM MASHURI

Keren dan masih muda. Itulah Presiden Prancis Emmanuel Macron. Usianya baru 42 tahun. Karier politiknya pun moncer, bak meteor. Satu tahun mendirikan partai baru, En Marchel —gerakan rakyat—, mantan bankir ini pun terpilih menjadi presiden.

Ia mengalahkan calon presiden dari dua partai utama, Sosialis dan Republik (berhaluan kanan tengah), yang sejak Perang Dunia II selalu mendominasi perpolitikan di Prancis. Ketika dilantik pada 14 Mei 2017, usianya baru 39 tahun. Ia merupakan presiden termuda dalam sejarah Prancis.

Setelah berkuasa sekitar tiga setengah tahun, ia tentu ingin mencalonkan lagi sebagai presiden periode kedua. Namun, lembaga survei setempat menyatakan, popularitas Macron sangat menurun. Ia pun harus merancang agenda baru menjelang pemilu satu setengah tahun mendatang. 

Lawan utamanya adalah ekstrem kanan. Kelompok ini menggunakan kekerasan yang dilakukan para teroris Islam —begitu mereka menyebut— sebagai ‘barang dagangannya’, terutama serangan terhadap media Charlie Hebdo. Majalah satire mingguan ini beberapa kali menerbitkan kartun yang mengejek dan merendahkan Nabi Muhammad SAW.

 
Namun, menggambarkan Islam sebagai ‘dalam krisis di mana-mana di dunia’ tentu tidak tepat. Bahkan sembrono. Tidak didasarkan pada fakta.
 
 

Hal inilah tampaknya yang melatarbelakangi pidato Presiden Macron, awal Oktober lalu, ‘agama Islam sedang mengalami krisis di semua bagian dunia dan tidak hanya di negara kita’. Ia pun mengumumkan rencana pembuatan undang-undang yang lebih ketat untuk menangani apa yang ia sebut ‘separatisme Islam’ di Prancis. Ia mengatakan, minoritas dari sekitar enam juta Muslim Prancis berada dalam bahaya membentuk ‘masyarakat tandingan’. 

Ketika menggambarkan ‘Islam dalam krisis di mana-mana’, Presiden Macron tidak hanya bicara tentang Islam di Prancis, tapi secara umum. Benar, beberapa negara Islam (berpenduduk mayoritas Muslim) mengalami krisis dalam berbagai bentuk. Dari radikalisme, terorisme, konflik bersenjata hingga perang saudara. Namun, menggambarkan Islam sebagai ‘dalam krisis di mana-mana di dunia’ tentu tidak tepat. Bahkan sembrono. Tidak didasarkan pada fakta.

Karena itu tidak salah apabila seorang aktivis hak asasi manusia Prancis, Yasser al-Lawati, mengatakan, Presiden Macron ingin menjadikan umat Islam kambing hitam dari strategi politiknya. Tujuannya, untuk menutupi kegagalan dalam kebijakan dalam dan luar negeri, kegagalan dalam menangani wabah Covid-19, dan kegagalan dalam membangkitkan perekonomian negaranya.

Al Lawati mencontohkan, perkara separatisme yang disebut Macron adalah artifisial, tidak ada dalam fakta kehidupan sehari-hari masyarakat Islam Prancis. Tidak ada organisasi, kelompok, atau distrik yang menuntut separatis.

Istilah separatis, menurutnya, istilah yang digunakan di era kolonial Prancis untuk orang-orang terjajah yang ingin memerdekakan diri. Sekarang istilah itu digunakan Presiden Macron untuk menarget warga Prancis Muslim dari Arab, Afrika, dan Asia.   

 
Beberapa komunitas Muslim terbesar di Eropa Barat menuduh Macron berusaha menekan umat Islam. 
 
 

Beberapa komunitas Muslim terbesar di Eropa Barat menuduh Macron berusaha menekan umat Islam. Mereka mengatakan kampanyenya berisiko melegitimasi Islamofobia. 

Islamofobia yang dikampanyekan Presiden Prancis itu semakin menemukan momentum ketika terjadi dua serangan terorisme. Pertama, seorang guru di sebuah sekolah di luar Paris, Samuel Paty, 47 tahun, dibunuh oleh Abdoullakh Anzoruv, remaja Chechnya kelahiran Rusia, berusia 18 tahun.

Peristiwa itu terjadi pada 16 Oktober lalu. Sebelumnya guru sejarah itu menunjukkan kartun Nabi Nuhammad SAW dari majalah Charlie Hebdo kepada para muridnya di kelas.

Kedua, penikaman terhadap tiga orang jemaat di sebuah gereja di Kota Nice, Prancis Selatan, yang berlangsung dua pekan setelah pembunuhan sang guru. Presiden Prancis Emmanuel Macron mengatakan, dua periswiwa berdarah itu adalah ‘serangan teroris kelompok Islamis’.

Kita tentu mengutuk para pelaku dua serangan itu. Mereka adalah para teroris, harus ditindak tegas, apa pun agamanya. Tindakan teroris, apa pun tujuannya, tidak bisa dibenarkan. Tindakan mereka penuh kebencian dan bertentangan dengan ajaran Islam yang sangat toleran.  

 
Namun, juga perlu diingat menghubungkan ‘Islam dengan kekerasan dan terorisme’ serta pernyataan ‘agama Islam mengalami krisis di mana-mana’ sungguh menyakitkan.
 
 

Yang harus digarisbawahi, terorisme bukan hanya terjadi di Prancis. Terorisme, ekstremisme, radikalisme, dan intoleransi juga menjadi masalah besar di negara-negara Islam.

Berbagai serangan teroris telah berlangsung, bahkan masjid pun menjadi sasaran. Hingga kini negara-negara Islam masih menghadapi ancaman tindakan kekerasan dari kelompok-kelompok teroris seperti ISIS, Alqaidah, dan organisasi-organisasi pecahannya. Semua pihak perlu bekerja sama melawan kekerasan, ekstremisme, kebencian, dan intoleransi.

Namun, juga perlu diingat menghubungkan "Islam dengan kekerasan dan terorisme" serta pernyataan "agama Islam mengalami krisis di mana-mana" sungguh menyakitkan. Apalagi penerbitan karikatur yang menghina Nabi Muhammad SAW, dan itu didukung oleh Presiden Macron, bisa dianggap teror terhadap keyakinan dan akidah umat Islam.

Bagi Muslim, Nabi Muhammad SAW adalah teladan utama. Ia merupakan pemimpin yang paling dihormati. Bahkan perkataan, perbuatan, ketetapan, dan persetujuannya dijadikan landasan syariat Islam, yang disebut hadis atau sunnah. Dalam Islam, hadis merupakan sumber hukum Islam kedua setelah Alquran. 

Nabi Muhammad SAW pun menjamin umat Islam tidak akan sesat selama berpegang teguh pada Alquran dan sunnah. Dengan kedudukan seperti itu, umat Islam akan murka besar bila rasulnya direndahkan atau dihina. 

Benar, kebebasan berekspresi di Prancis dan negara-negara Eropa lainnya dijamin oleh undang-undang atau hukum. Dan, kita menghormati hal itu. Namun, kebebasan bukan berarti bebas sebebas-bebasnya.

Kebebasan tetap ada batasnya. Kebebasan harus digunakan secara hati-hati, tidak boleh untuk menjelekkan atau menyinggung perasaan orang lain. Kebebasan berekspresi tidak termasuk menghina lain pihak. Apalagi yang dijelekkan dan dihina adalah Nabi Muhammad SAW yang menjadi teladan dan junjungan bagi umat Islam.

 
Akankah perseteruan ini mengarah ke hal-hal yang lebih buruk dalam hubungan antara umat Islam dan Barat? Kita tentu tidak menghendakinya.
 
 

Kini, pernyataan dan sikap Presiden Macron yang menyinggung perasaan umat Islam telah disampaikan —yang kemudian juga didukung beberapa pemimpin Barat. Masyarakat Muslim, termasuk para pemimpin Islam, pun telah meresponsnya dengan sangat keras. Dari aksi-aksi unjuk rasa, pemboikotan barang-barang dan produk Prancis hingga pernyataan-pernyataan keras dan bahkan bersifat personal. 

Apakah perseteruan Presiden Prancis dengan satu setengah miliar lebih umat Islam ini akan terus berlanjut? Akankah perseteruan ini mengarah ke hal-hal yang lebih buruk dalam hubungan antara umat Islam dan Barat? Kita tentu tidak menghendakinya.

Untuk menutup tulisan ini, baiklah saya mengutip pernyataan Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau. Ia juga masih muda, 48 tahun. Katanya dalam merespons pernyataan Presiden Macron, "Dalam masyarakat yang majemuk dan beragam, kita harus saling hormat. Tugas kita untuk menyadari dampak perkataan, tindakan, dan sikap kita terhadap orang lain, terutama komunitas dan kelompok yang masih mengalami banyak diskriminasi". 

Trudeau yang lima tahun telah memimpin masyarakat majemuk Kanada ini juga mengatakan, "Tugas kita bertindak dengan hormat terhadap orang lain dan berusaha tidak menyakiti mereka yang berbagi komunitas dan dunia dengan kita. Tidak ada orang yang memiliki hak untuk menyalakan penerangan di bioskop yang penuh orang ketika film sedang berjalan. Kita selalu ada batasan". 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat