Ilustrasi perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW | MOCH ASIM/ANTARA FOTO

Opini

Penghinaan terhadap Rasulullah dan Tradisi Maulid

Sungguh tak adil apabila negara dengan sembrono membiarkan ada pihak yang menghina Rasulullah.

NANANG SUMANANG

Guru Sekolah Indonesia Davao

Berita boikot produk-produk negara Perancis berseliweran di media massa dan media sosial untuk menunjukkan sikap masyarakat dunia memprotes Presiden Prancis Emmanuel Macron yang membiarkan poster berisikan penghinaan terhadap pembawa risalah Islam, Nabi Muhammad SAW. Suatu pandangan yang sejak ratusan tahun lalu diutarakan para orientalis yang banjir kebencian terhadap Islam.

Penghinaan terhadap Islam ini tentunya tidak akan terjadi apabila ada usaha untuk memahami konsep teologi Islam, terutama tentang penghormatan kepada nabi Muhammad SAW. Alquran Surah Al-Ahzab: 56 menerangkan bahwa Allah, Tuhan yang Mahapengasih, bershalawat kepada Rasulullah. Yang Mahapencipta saja menghormati Rasulullah...Maka sungguh tak pantas apabila ada manusia yang menghinanya. Dan semakin tidak pantas lagi apabila negara dengan ketangguhan militernya dan segala sumber dayanya, sengaja membiarkan penghinaan tersebut terjadi.

Bulan Maulid (Rabiul Awal) merupakan momentum sakral bagi umat Islam. Ini adalah bulan kelahiran Nabi Yang Mulia Nabi Besar Muhammad SAW. Biasanya dirayakan pada sebagian besar masyarakat Muslim dunia dalam balutan budaya yang sangat unik dan beragam. Kita mencoba untuk merenungi setiap nilai-nilai yang terdapat dalam simbol-simbol budaya perayaan Maulid, terutama dalam masa pandemi covid -19 ini. Setiap kegiatan yang mengundang kumpulan manusia tidak diperkenankan. Pandemi telah menyatukan kita dalam kesamaan perubahan gaya hidup, beragama, bersosialisasi dan sebagainya, tapi tidak secara bersama-sama.

Islam adalah agama yang sangat terbuka terhadap ruang dan waktu serta semangat merespon segala permasalahan sudah banyak dicontohkan oleh Baginda Rasul dengan para sahabatnya. Puasa asy- Syuro dan menghormati tamu contohnya, merupakan dialog Islam dengan budaya lokal. Bahkan ketika jaman Umar RA, banyak ijtihad yang dilakukan sebagi respon permasalahan Negara kota Madinah yang diadopsi oleh negara-negara modern sekarang; Lembaga pemasayarakatan, atthoriif (pembayaran resmi memasuki/ keluar dari suatu daerah) menjadi tarif, ad-Diwan (kantor keuangan) menjadi duane.

Meluasnya penyebaran agama Islam menyerap budaya-budaya lokal untuk ditauhidkan menjadikan permasalahan Islamisasi budaya atau budayanisasi Islam menjadi sesuatu yang tidak penting diperdebatkan kembali. Akulturasi dan asimilasi antara Islam dan budaya menyentuh hampir di seluruh lini kehidupan; Teologi, epistimologi, budaya/ kesenian, arsitektur, tata ruang, kuliner dan sebagainya.

Setiap muslim mepunyai kewajiban untuk berdakwah dengan hikmah dan suri tauladan yang baik. Masuknya Islam ke Indonesia, baik yang dibawa langsung oleh para penyiar agama Islam, maupun oleh para pedagang, bukanlah masuk ke suatu daerah yang hampa kepercayaan, dan hampa kebudayaan. Islam masuk ke Indonesia sudah ada peradaban dan kepercayaan para leluhur nenek moyang yang sudah bersinkritisasi dengan Hindu dan Budha. Memiliki sistim kepercayaan, tata kehidupan bermasyarakat yang sudah mapan.

Para penyiar agama Islam dan para pedagang Muslim yang datang dari negara-negara yang berbeda kultur sangat mengerti benar bagaimana cara berkomunikasi agar Islam sebagai rahmatan lil’alamiin bisa tersampaikan dengan baik. Edward Depari menyatakan bahwa, komunikasi adalah proses penyampaian gagasan, harapan, dan pesan yang disampaikan melalui lambang-lambang tertentu, mengandung arti, dilakukan oleh penyampai pesan ditujukan kepada penerima pesan dengan maksud mencapai kebersamaan/ common (Widjaja,2000). Artinya bahwa dakwah Islam  agar bisa dipahami harus melalui lambang-lambang dan simbol-simbol yang bisa dimengerti oleh masyarakat Indonesia.

Masyarakat Indonesia pra Islam sudah berbudaya, memiliki kebudayaan yang khas, mempunyai ukuran tingkah laku dan pandangan hidup, pandangan terhadap alam semesta dan pandangan yang Maha Kuasa (Transenden). Tingkah laku dan pandangan hidup itu diekspresikan dengan menggunakan simbol dan lambang-lambang.

George Ritzer yang dikutip Ali Mandan (1985) menyebutkan bahwa simbol dapat dianggap sebagai gambaran kelihatan dari realitas transenden, dalam pemikiran logis dan ilmiah. Simbol-simbol ini sangat diperlukan guna meminjam istilah Jawa digunakan sebagai memayu hayuning bawono, yaitu untuk mendapatkan keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan di dunia dan akherat. Bawono di sini adalah bawono alit/ jagat gumulung yang artinya pribadi dan keluarga, bawono agung/ jagat gumelar artinya bangsa, negara dan alam semesta. 

Terakhir adalah bawono langgeng/ abadi, yaitu alam akherat kelak. Manusia sebagai makhluk Allah SWT yang sempurna dengan akal, pikiran, keinginan dan rasa berkewajiban untuk menselaraskan hidupnya dengan alam besar dengan cara mengerti asal-usul, apa yang harus dikerjakan sekarang di dunia dan kemana tujuan hidup itu nanti kembali “Sangkan Paraning Dumadi”.

Para penyebar agama Islam menggunakan kebudayaan yang ada di masyarakat, dengan memanfaatkan simbol-simbol yang ada untuk digubah dengan menyisipkan nilai-nilai tauhid, sehingga Islam sebagai agama rahmatan lil ‘aalamiin bisa diterima oleh masyarakat Indonesia dengan sangat damai.

Ibnu Khaldun menulis “Suatu masyarakat akan menentang apabila ada sesuatu yang baru atau sesuatu yang datang kemudian dalam kehidupannya, terutama apabila sesuatu yang baru itu bertentangan dengan tradisi yang ada”Di daerah-daerah di Indonesia, Islam menyerap budaya lokal yang baik, ditauhidkan dan kemudian menjadi produk budaya yang sangat indah, penuh dengan nilai-nilai yang sangat baik, yang dikemas dalam simbol-simbol yang sangat universal.

Peran tarekat yang dibawa para penyebar agama Islam, serta kearifan para penyebar agama Islam yang sangat alim selain berpegang teguh kepada al-Qur’an, al-Hadits, juga kepada ijma ulama untuk menjaga persatuan.

photo
Ilustrasi perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW sebelum pandemi Covid-19. - (Republika/Putra M. Akbar)

Kebiasaan gotong royong, saling membantu, bersilaturahmi, saling memerhatikan, selalu bermusyawarah, yang dalam istilah Ferdinand Tonnies disebut Gemenschaft, kemudian diberi warna dengan puji-pujian Tauhid, kepada baginda Rasul, Sholawatan. Dan nilai-nilai kemanusiaan.

Di Aceh perayaan Maulod diadakan tiga kali, yaitu pada bulan Rabiul Awal (Maulod Awai), Rabiul Akhir (Maulod teungoh), dan Maulod Jumadil Awal (Maulod akhe), diman perayaan maulod pada tiga bulan tersebut disesuaikan dengan masa musim panen pada saat itu. Perayaannyapun bertingkat dari surau kampong, kemudian tingkat pemukiman, dan terakhir adalah tingkat Ulee Balang (keturunan Raja).Di Sumatera Barat, cabai mempunyai arti yang sangat penting dalam kehidupan masyarakatnya.

Para penyebar agama Islam yang waktu itu sebagian besar penganut Tarekat Syatariyah kemudian membuat tradisi yang disebut dengan “Bungo Lado”, sebuah tradisi memberikan uang dengan cara disangkutkan kepada ranting, yang kemudian dibawa ke surau. Sebelumnya dilaksanakan dulu acara Badikia, yang berisi pantun musyawarah untuk persiapan Bungo Lado.

Di Jawa ada Sekaten dengan gunungan yang terbuat dari hasil bumi yang diberikan kepada masyarakat banyek, yang merupakan kebiasaan para Raja Jawa sebelum pra Islam, yang kemudian diberikan nilai-nilai Islam berupaa Tauhid dan nilai-nilai kemanusiaan.Belum di Banyuwangi ada endog-endogan, di Kalimantan ada Baayun, di Sulawesi ada Maudu Lompoa, di Bali ada Bale Saji, dan tempat-tempat lainnya, dimana Islam masuk dengan damai karena sangat menghormati tradisi yang ada di masyarakatnya.

Dalam masa pandemi ini, dimana kegiatan Maulid Nabi Muhammad SAW tidak bisa dirayakan seperti sebelumnya, maka saat inilah kita jadikan momentum pandemi ini untuk menggali kembali nilai-nilai yang ada pada setiap kegiatan kebudayaan Peringatan Maulid yang biasa diselenggarakan oleh masyarakat di daerah-daerah: Hikmah yang bisa kita ambil adalah; pertama mari kita tingkat toleransi kita dengan cara menghormati kepercayaan dan adat tradisi yang ada.

Kedua mari kita tingkatkan juga rasa kemanusiaan kita untuk terus berbagi kepada orang-orang yang tidak mampu sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Muhammad, terutama di masa pandemic yang mengakibatkan banyak saudara-saudara kita menjadi mustadh’afiin. Ketiga mari kita tingkatkan rasa Nasionalisme kita dengan cara menghargai kemerdekaan yang merupakan pemeberian dari Allah, dan nilai-nilai luhur budaya bangsa kita. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat