Kabar Utama
Indonesia Panggil Dubes Prancis
Gerakan boikot produk Prancis terus mendapatkan momentum di negara mayoritas Islam.
JAKARTA -- Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri akhirnya ikut bersikap seturut gelombang kecaman atas pernyataan Presiden Prancis Emmanuel Macron yang mendukung penerbitan karikatur Nabi Muhammad. Indonesia turut mengecam pernyataan tersebut.
Menurut Juru Bicara kementerian Luar Negeri RI, Teuku Faizasyah, pihaknya telah memanggil Dubes Prancis untuk Indonesia Olivier Chambard pada Selasa (27/10). Dalam pertemuan itu, kata Faizasyah, Indonesia menyayangkan pernyataan Macron.
“Ada dua posisi RI, pertama, Kemenlu telah memangil Dubes Prancis hari ini. Kedua, dalam pertemuan tersebut, Kemenlu RI menyampaikan kecaman terhadap pernyataan Presiden Prancis yang menghina agama Islam,” kata Faizasyah kepada Republika, Selasa (27/10).
Faizasyah juga menanggapi soal seruan boikot produk-produk Prancis yang mengemuka di berbagai negara mayoritas Muslim. Menurut dia, pemerintah terlalu jauh jika harus mengeluarkan sikap tersebut.
Ia menekankan, keputusan boikot sepenuhnya di tangan konsumen. “Terkait boikot, itu terlalu jauh. Soal itu, itu terkait konsumen, bukan pemerintah,” ujar dia.
Gelombang kecaman terhadap Presiden Macron terkait dengan pidatonya pada awal Oktober lalu. Saat itu, Macron menyatakan bahwa Islam adalah agama yang sedang dalam krisis dan pemerintahannya akan meluncurkan aturan lebih tegas untuk mencegah “separatisme” Islam.
Tak lama setelah pidato Macron, seorang guru, yang menampilkan karikatur yang menghina Nabi Muhammad SAW di sekolah saat menjelaskan tentang kebebasan berekspresi, dipenggal. Peristiwa itu kemudian digunakan Macron meneguhkan sikapnya yang tak akan melarang penerbitan karikatur terbitan majalah Charlie Hebdo tersebut. “Kita tak akan menyerah dengan kartun kita,” ujar Macron dalam aksi berkabung bagi guru tersebut di Paris, pekan lalu.
Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) mengecam keras pernyataan Macron yang mendukung penerbitan karikatur Nabi Muhammad SAW itu. Selain itu, LDNU juga memprotes pernyataan Macron yang menyudutkan Islam, seperti istilah melawan 'separatisme Islam' dan menyebut 'Islam dalam krisis di seluruh dunia'.
"Sebagaimana pun bebasnya, tetap ada koridornya tidak menghinakan, melecehkan, menyakiti perasaan lainnya," kata Wakil Ketua LDNU, KH Muhammad Nur Hayid, kepada Republika, Selasa (27/10).
Menurut Gus Hayid, panggilan akrabnya, Islamofobia di Eropa memang semakin akut. Ini sekaligus menjadi tantangan bagi pendakwah, tak terkecuali di Indonesia, untuk bisa mengomunikasikan tentang ajaran dan nilai-nilai Islam yang sesungguhnya.
Menurut Gus Hayid, salah satu faktor yang memicu lahirnya Islamofobia adalah pola-pola dakwah yang ofensif dan menggunakan kekerasan. "Bangsa Indonesia harus antisipasi agar Islamofobia tidak muncul di kita. Harus terus dakwah Islamiyah kita dengan dakwah yang toleran, moderat, yang bijak seperti yang dicontohkan Rasulullah," ujarnya.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah juga menyatakan kecewa atas pernyataan Macron. Ketua PP Muhammadiyah Anwar Abbas mengatakan, Presiden Macron perlu meminta maaf atas pernyataannya. "Saya melihat pimpinan seperti Presiden Prancis inilah contoh pemimpin yang akan bisa menyeret dunia pada kekacauan dan permusuhan yang dalam yang akan memunculkan dendam berkepanjangan yang tidak akan kunjung berakhir," kata dia.
Boikot meluas
Sementara itu, gerakan boikot produk-produk Prancis terus mendapatkan momentum di negara-negara mayoritas Islam. Di Dhaka, Bangladesh, puluhan ribu orang melakukan unjuk rasa mengecam pernyataan Macron pada Selasa (27/10) dan menyerukan boikot produk Prancis.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan juga meminta warganya berhenti membeli barang-barang Prancis. "Saya menyerukan kepada semua warga negara saya dari sini untuk tidak pernah membantu mereka Prancis atau membelinya," ujarnya dalam siaran di saluran televisi setempat.
Sebelumnya, boikot serupa telah dijalankan asosiasi koperasi di Kuwait serta supermarket di Qatar dan Yordania. Tak hanya produk-produk Prancis, gelar budaya Prancis dan pemesanan tiket perjalanan wisata juga dibatalkan.
Prancis dalam beberapa tahun belakangan memang mengalami sejumlah serangan mematikan dari ekstremis yang mengatasnamakan Islam. Meski begitu, pidato Macron memunculkan kekhawatiran bagi komunitas Muslim Prancis.
Collective Against Islamophobia in France (CCIF) menyatakan, sejak pidato Macron, pihaknya mendapat banyak ancaman. CCIF dikenal karena perjuangannya melawan sikap diskriminatif Pemerintah Prancis terhadap Muslim.
"Kami tidak lagi merasa dapat melakukan pekerjaan kami di lingkungan yang aman karena nyawa kami terancam dan pemerintah menetapkan kami sebagai musuh," tulis pernyataan CCIF, Selasa (27/10). Organisasi itu akhirnya memutuskan untuk beroperasi dari luar negeri untuk melindungi aktivitas mereka.
Sedangkan, Kedutaan Besar Prancis di Indonesia menegaskan kembali bahwa posisi Prancis adalah melindungi kebebasan fundamental dan menolak kebencian. Menurut Kedutaan Besar Prancis, pidato Presiden Macron semata bertujuan mengajak untuk melawan “Islamisme radikal”.
"Presiden Emmanuel Macron menyatakan dengan jelas bahwa tidak ada maksud sama sekali untuk menggeneralisasi dan secara tegas membedakan antara mayoritas warga Muslim Prancis dan minoritas militan, separatis yang memusuhi nilai-nilai Republik Prancis," tulis pernyataan kemarin.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.