Akbar Zainudin penulis buku Man Jadda wa Jada mempunyai pengalaman dididik Kiai Syukri di Gontor. | dokpri

Opini

Sejuta Sentuhan Kiai Abdullah Syukri

Kiai Syukri adalah teladan membangun jaringan dalam dan luar negeri.

AKBAR ZAINUDIN

Penulis Buku Man Jadda wa Jada

 

 

Rabu, 21 Oktober 2020, keluarga besar Pondok Modern Gontor mengalami kehilangan besar, Dr. KH. Abdullah Syukri Zarkasyi, MA dipanggil kehadirat Allah SWT. Kiai Syukri wafat setelah kurang lebih 8 tahun mengalami penurunan kondisi kesehatan akibat aneurisma yang menyerang saraf otak. 

Saya masuk Gontor tahun 1986, periode pertama beliau diamanahi menjadi Pimpinan Pondok Modern Gontor bersama KH. Hasan Abdullah Sahal dan KH. Shoiman Luqmanul Hakim. Bagi saya, beliau adalah kiai, pendidik, manajer, leader, dan motivator yang luar biasa. Menariknya, bukan hanya pada saat menjadi santri, tetapi juga bahkan setelah menjadi alumni. 

Kata“sakti” Kiai Syukri

Kelas V di Gontor, tahun 1990-1991, saya beruntung diamanahi menjadi Bagian Penerangan Organisasi Pelajar Pondok Modern Gontor (OPPM). Salah satu tugas utama Bagian Penerangan adalah menyiapkan sound system untuk masjid, asrama, dan acara-acara besar Pondok di Auditorium Balai Pertemuan Pondok Modern (BPPM). 

Dulu, masih serba analog. Sekarang hampir semuanya sudah digital. Peralatan sound system di Pondok juga sudah canggih. Saya ingat, dulu sudah ada amplifier dan mixer yang cukup baik di Balai Pertemuan. Memadai untuk acara besar, bahkan saat para santri harus duduk di luar BPPM.

Saat pertemuan, ada dua lagu yang harus disiapkan; Lagu Indonesia Raya dan Hymne oh Pondokku. Sudah menjadi tradisi untuk menyanyikan dua lagu ini bersama sebelum acara dimulai, dipimpin seorang dirijen di panggung. 

Sekarang, semua file sudah berbentuk digital. Kalau dulu, kita masih menggunakan pita kaset. Kita menggunakan pemutar kaset yang juga berfungsi sebagai perekam (recorder) pada saat acara. Semua pidato direkam. 

Sebenarnya, persiapan sudah kita lakukan berulang-ulang. Kaset berisi instrumen lagu Indonesia Raya dan Oh Pondokku sudah kita coba. Namun memang, mungkin karena sudah terlalu banyak digunakan, pita kasetnya kemudian bermasalah. 

Pada saat MC mengumumkan acara “Menyanyikan Lagu Indonesia Raya dan Hymne Oh Pondokku”, hadirin dimohon berdiri. Dirijen sudah siap, giliran saya memainkan lagu dari kaset. Di situlah bencana terjadi. Bukan instrumen lagu yang keluar, tetapi suara kresek-kresek akibat pita kaset yang kusut. 

Semua orang terdiam. Kiai Syukri mengambil microphone. Bagian penerangan, “Guoblok!!!” Terdengar suara lantang beliau.  Saya berusaha tetap tenang. Kaset saya keluarkan, lalu menggunakan pensil saya perbaiki pita kaset yang kusut. Bismillahirrahmanirrahim, saya masukkan lagi ke pemutar kaset, dan Alhamdulillah, lagu itu berjalan dengan lancar. 

Kata “Guoblok” itu kata “sakti” yang tidak setiap orang beruntung mendapatkannya. Kiai Syukri dan Kiai Hasan juga jarang sekali menggunakannya. Pasti ada hal-hal khusus. 

Dan setelah itu memang, saya dan tim menjadi lebih berhati-hati. Persiapan kita lakukan dengan sempurna. Berikutnya kami rekam sekitar 10 kaset khusus untuk lagu Indonesia Raya dan Hymne Oh Pondokku. Tidak boleh digunakan kecuali pada saat acara. Dan kami pastikan benar sebelum acara dimulai pita kaset masih dalam keadaan baik. Tentu saja bawa back up kaset berisi dua lagu tersebut setiap ada acara di Balai Pertemuan. 

Begitulah Pak Kiai mendidik kami, kalau menyiapkan acara, jangan pernah setengah-setengah. Harus sempurna. Dan itu sangat berbekas, sampai sekarang.

Pengurus harus menguasai permasalahan

Kiai Syukri adalah orang yang sangat memahami setiap detail permasalahan. Bukan hanya hal-hal besar, tetapi Kiai Syukri mendidik kami untuk memahami persoalan, dan terutama data secara detail. Ada berapa kran di Pondok, berapa omset koperasi, ada berapa mik yang ada di Masjid Gontor, berapa jumlah santri saat ini, ada berapa koleksi buku di perpustakaan, dan sebagainya. 

Mengapa detail ini diperlukan, agar bisa mengukur dan menjalankan proses dengan baik. Kalau jumlah kran di masjid tidak memadai, pasti akan banyak santri yang terlambat untuk shalat berjamaah. Kalau omset di Koperasi Pelajar menurun, pasti ada yang salah dengan pengelolaan barang. Begitulah, data dan informasi yang tepat akan memudahkan proses mengetahui permasalahan dan mengantisipasi agar bisa berjalan lebih baik. 

Sebagai pengurus, kami sudah sangat mafhum akan hal ini. Kalau dipanggil Pak Syukri ke rumah pimpinan, kami harus menguasai data dan permasalahan. Hal ini berlaku bukan hanya kepada santri, bahkan kepada guru-guru juga sama. Harus menguasai permasalahan. 

Saat dipanggil, pasti ditanya tentang data-data ini. Kalau tidak bisa menjawab atau kita ragu, disuruh ke kamar dan balik lagi dengan data yang benar. Dan, kalau jawaban kita “ngawur” atau asal menjawab, beliau juga tahu. 

Begitulah, Kiai Syukri mendidik agar kita paham dengan apa yang kita kerjakan, bagaimana mengelolanya, dan tahu bagaimana cara memperbaiki proses sehari-hari. Menurut saya, ini adalah sebuah pendidikan manajemen dan pengembangan pribadi yang luar biasa. Dididik bukan dengan teori, tetapi langsung praktik. 

Saat kiai mendidik para alumni

Bukan hanya kepada mendidik para santri, sesuatu yang saya rasakan penuh pada saat belajar di Gontor pada tahun 1986-1991, namun juga pada saat sudah menjadi alumni. Saya ingin bercerita bagaimana Kiai Syukri mendidik para alumni pada saat menjadi pengurus Ikatan Keluarga Pondok Modern Gontor (IKPM) Jakarta. Tahun 2010, IKPM Jakarta mengadakan acara Silaturahmi Nasional bertempat di Jakarta Convention Centre (JCC). Saya waktu itu sebagai Bendahara IKPM Jakarta.

Tiga bulan sebelum acara, Kiai Syukri sudah mengumpulkan kita, para pengurus dan panitia. Beliau memang sering melakukan perjalanan ke Jakarta. Beliau biasanya memberi arahan di Hotel Marcopolo, sebuah hotel bintang 3 di kawasan Menteng. Beliau memberi wejangan, memotivasi, menggerakkan, sekaligus memberi kabar terbaru tentang Gontor. Kami sungguh merasakan hal itu sebagai “setruman” yang luar biasa. Teman-teman menjadi sangat termotivasi untuk menyukseskan acara. 

Satu bulan sebelum acara berlangsung, saat beliau ada acara lain, pengurus inti IKPM dipanggil kembali. Beliau bertanya, bagaimana persiapan acara. Pertanyaan paling penting: “Berapa kebutuhan acara, dan panitia sudah dapat berapa?” Saya jawab: “Perkiraan kebutuhan biaya adalah Rp 400 juta, dan saat ini panitia baru mendapatkan Rp 10 juta”, jawab saya dengan lirih. 

Nah ini dia, pertanyaan beliau yang paling penting: “Panitia sudah melakukan apa saja?”. Saya jelaskan, “Kami sudah menyebarkan proposal ke sekitar 50 instansi dan perorangan, tetapi belum banyak yang memberi respons”. Pesan beliau, “Terus dicoba, dan jangan lupa kabari saya perkembangannya”. Ternyata beliau terus memantau. Saya juga memberi kabar via SMS. 

Lima hari sebelum acara, beliau datang. Kami langsung merapat ke hotel Marcopolo bersama panitia. Ibu Syukri membelikan kami Nasi Uduk Ayam Goreng Gandaria yang sangat lezat. Kami makan bersama di teras bagian depan kamar beliau. 

Saya sudah deg-degan dari awal. Pasti akan ditanya. Selesai makan, beliau lalu bertanya kepada panitia, khususnya kepada saya: “Akbar, panitia sudah dapat berapa?”. Benar saja, pertanyaan itu akhirnya keluar. 

 

 

Kamu bekerja, diomongin. Apalagi kalau kamu tidak bekerja, tambah diomongin. Karena itu bekerja sajalah, tidak perlu menggubris omongan orang

 

KH ABDULLAH SYUKRI ZARKASYI (1942-2020)
 

Saya tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Saya sudah siapkan daftar dari proposal yang sudah diedarkan oleh teman-teman Panitia. Ini daftar proposal yang sudah kami edarkan Ustadz, tetapi belum banyak yang merespons. Alhamdulillah, kami baru dapat Rp 15 juta ustadz. Saya melaporkan sambil menunduk. 

Kiai Syukri melihat daftar, lalu tersenyum. Beliau melihat daftar tersebut sebentar, lalu berbicara. “Akbar, saya akan bantu hubungi mereka malam ini, yang sudah diberikan proposal oleh panitia. Besok, handphone kamu tidak boleh mati. Dalam dua hari harus siap menghadap kepada orang-orang ini. Kalau perlu, siapkan dua tim biar bisa menghadap secara bersamaan”. Setelah itu, beliau menutup daftar, memberikan kepada sekretaris untuk disimpan, dan berbicara selama kurang lebih 1 jam tentang hal-hal lain. Memotivasi kami, menggerakkan untuk berbuat yang terbaik. 

Satu pesan yang selalu saya ingat: “Kamu bekerja, diomongin. Apalagi kalau kamu tidak bekerja, tambah diomongin. Karena itu bekerja sajalah, tidak perlu menggubris omongan orang”. 

Akhirnya benar, malam hari itu Kiai Syukri menelpon instansi dan orang-orang yang sudah kita kasih proposal. Esok harinya beliau mengirim perintah via SMS untuk bertemu orang-orang tersebut. Saya dan tim panitia benar-benar berbagi ke beberapa tempat agar dalam dua hari itu, kami bisa mengunjungi orang-orang yang sudah dihubungi Kiai Syukri. 

Senang luar biasa, dua hari sebelum acara, pengurus dan panitia inti melapor kembali. “Kami sudah dapat sekitar Rp 550 juta Ustadz”. Kiai Syukri tersenyum dan kembali menyuntikkan semangat kepada kami. Alhamdulillah, acara berjalan dengan lancar. 

Begitulah Kiai Syukri mendidik kami, para alumni. Setelah Silaturahim Nasional pertama, terhitung dua kali IKPM Jakarta mengadakan acara besar, dan beliau sudah jatuh sakit. Kami yang sudah diajarkan beliau sebelumnya Alhamdulillah berhasil mengadakan acara secara baik. 

Dari beliau, saya belajar tentang apa yang disebut sebagai totalitas. Bekerja tidak boleh setengah-setengah kalau mau hasilnya baik. Direncanakan, dijalankan, dikontrol, dievaluasi, dan diperbaiki terus menerus. 

Selamat jalan Pak Kiai. Semoga Allah membalas semua jasa yang telah engkau berikan kepada kami. Semoga kami bisa meneruskan jalan perjuanganmu. Al-Faatihah. 

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat