Suasana saat pekerja beraktivitas di tempat penumpukan sementara batu bara, Muarojambi, Jambi, Rabu (1/7/). | Wahdi Septiawan/ANTARA FOTO

Opini

Hilirisasi Batu Bara

Inilah peluang bagi hilirisasi produk batu bara. Membuat dia menjadi pupuk.

RADEN UMAR HASAN SAPUTRA, Penemu, Pemilik, dan Pemegang Kuasa Penggunaan Paten Pupuk Batu Bara Dunia

Segala yang ada di bumi, Tuhan yang ciptakan. Menciptakan emas atau batu bara sama mudahnya bagi Dia. Penciptaan yang Dia lakukan, pastinya berdasarkan nilai guna bagi kehidupan. 

Tidak ada yang Dia ciptakan sia-sia. Ketika sesuatu yang diciptakannya banyak, pasti gunanya atau kebutuhannya pun banyak. Demikian juga sebaliknya. Inilah falsafah dasar penciptaan. Batu bara diciptakan sangat banyak dan relatif merata di seluruh dunia.

Walaupun sebelumnya menjadi sumber utama energi, saat ini tidak demikian. Batu bara mulai ditinggalkan karena dianggap dirty energy. Bisnis batu bara saat ini dianggap sudah sunset. Bahkan, di beberapa negara dianggap mati.

Sepertinya, ini bertentangan dengan falsafah dasar penciptaannya. Dia diciptakan banyak. Harusnya manusia menggunakannya dalam jumlah banyak dan untuk sesuatu yang sangat penting. Ketika terjadi masalah luar biasa, cara kita mengatasinya tidak selalu harus berpikir luar biasa.

 
Sayangnya, basis pemikirannya saat ini belum berubah. Batu bara merupakan sumber energi.
 
 

Cobalah berpikir di luar kebiasaan. Contohnya, dalam pengembangan teknologi hilirisasi batu bara, yang insentifnya untuk ini telah digulirkan pemerintah. Tujuan utama hilirisasi batu bara adalah meningkatkan nilai tambah.

Baik ditinjau dari kacamata bisnis maupun keramahannya terhadap lingkungan. Sayangnya, basis pemikirannya saat ini belum berubah. Batu bara merupakan sumber energi.

Di antara teknologi pengolahan atau hilirisasi yang ada, terdapat dua yang dianggap luar biasa. Pertama, mengubah batu bara menjadi bahan bakar cair. Kedua, teknologi coal gasification, batu bara diubah menjadi gas.

Untuk teknologi pertama, saat ini hanya Afrika Selatan yang menggunakannya. Investasi teknologinya sangat besar. Banyak negara termasuk Indonesia tidak menggunakannya karena dianggap tidak sebanding dengan manfaat yang diperoleh.

Teknologi kedua atau coal gasification masih memungkinkan diterapkan di Indonesia. Produk utama teknologi ini adalah gas sintetis. Konversinya dapat menjadi pupuk urea, methanol, dimetil eter, polypropylene, dan bahan bakar gas.

Walaupun tidak sebesar teknologi pertama, investasi teknologi kedua pun tidak kecil. Dibutuhkan sekitar Rp 3 triliun untuk membangun pabrik yang kapasitas produksi per tahunnya 500 ribu ton urea, 400 ribu ton dimetil eter, dan 450 ribu ton polypropylene.

 
Batu bara tidak hanya sebagai bahan baku untuk energi, tetapi bisa dimanfaatkan menjadi produk lain dengan biaya yang murah, juga dengan nilai bisnis yang tak kecil.
 
 

Ketika investasinya sudah mencapai triliun, pasti tak banyak pengusaha batu bara yang mampu. Apalagi, ketika produk yang dihasilkan berada pada red ocean dan tidak punya ekosistem bisnisnya, yang mampu pun mungkin menjadi tidak mau.

Di sinilah para pengusaha dan pengambil kebijakan harus membuka wawasan baru. Batu bara tidak hanya sebagai bahan baku untuk energi, tetapi bisa dimanfaatkan menjadi produk lain dengan biaya yang murah, juga dengan nilai bisnis yang tak kecil.

Pemanfaatan tersebut, membuat batu bara menjadi pupuk. Namun, teknologinya bukan gasification, melainkan nutrients activation. Teknologi ini tidak mengubah batu bara menjadi bentuk berbeda. Dia hanya melepaskan unsur hara pada batu bara lalu mengaktifkannya.

Dengan ini, unsur-unsur tersebut dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Jadilah dia pupuk.

Pada Juni 2020, teknologi ini mendapat paten dari Pemerintah AS. Ini satu-satunya teknologi di dunia. Saat ini, dianggap teknologi terbaik karena investasi pabriknya relatif murah serta dapat dibuat dalam skala besar dan masif.

Walaupun mungkin tidak sebesar bisnis batu bara sebagai sumber energi, nilai bisnis pupuk dunia tidak kecil. Pada 2020, diperkirakan mencapai 180 miliar dolar AS atau sekitar Rp 2.700 triliun per tahun. Di Indonesia, kemungkinan mencapai Rp 100 triliun per tahun.

Ditinjau dari produksi dan kebutuhan. Hanya beberapa negara yang tercukupi kebutuhan pupuknya. Mayoritas negara kekurangan. Salah satu penyebabnya, sulitnya mendapatkan gas untuk memproduksi pupuk. Indonesia adalah salah satu contohnya.

 
Teknologi pertanian dunia saat ini, telah melakukan kesalahan sistematis yang menyebabkan rusaknya kesuburan lahan di seluruh dunia. 
 
 

Indonesia memiliki lahan pertanian dan perkebunan sekitar 42 juta hektare. Lahan untuk pangan utama, yakni sawah sekitar 7,463 juta hektare dan kebun sawit sekitar 14,724 juta hektare. Rata-rata kebutuhan pupuk kedua komoditas ini sekitar satu ton per tahun.

Jadi, diperlukan 22 juta ton pupuk untuk memenuhi kebutuhan keduanya saja. Produksi pupuk Indonesia pada 2019 hanya 11,838 juta ton. Selama tidak ada pembangunan pabrik pupuk baru, jumlah ini dipastikan tidak akan bertambah signifikan.

Apa yang dialami banyak negara, dialami Indonesia, kekurangan pupuk. Inilah peluang bagi hilirisasi produk batu bara. Membuat dia menjadi pupuk. Teknologinya sudah ada dan berasal dari Indonesia. Dia pun sudah mendapatkan paten dari AS.

Secara produk, kandungan pupuk batu bara lengkap. Bahkan saking lengkapnya, pupuk ini menyempurnakan pupuk yang ada saat ini sehingga seluruh kebutuhan tanah dan tanaman terpenuhi.

Teknologi pertanian dunia saat ini, telah melakukan kesalahan sistematis yang menyebabkan rusaknya kesuburan lahan di seluruh dunia. Untuk memperbaiki kesalahan ini, tidak ada pilihan lain, dunia harus menggunakan pupuk batu bara dalam sistem pertaniannya. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat